Oleh : Rita Handayani
Praktisi Dakwah, Pemerhati Umat.
Cita-citaku....uu......uu
Ingin jadi profesor
Bikin pesawat terbang
Kubuat sendiri.
Siapa yang masih ingat lagu di atas? Bagi generasi 90-an lirik lagu tersebut pasti sangat familiar di memori. Lagu yang dipopulerkan oleh Joshua ini mampu membuat anak seumuran anak TK (Taman Kanak-kanak) saat itu bermimpi, punya cita-cita dan harapan untuk diwujudkan.
Tentulah ya setiap insan yang bernyawa pasti punya impian, cita-cita dan harapan. Itu tandanya ia masih hidup, karena masih punya target yang ingin diraih. Bahkan, orang yang sedang sakit keras dan terkapar di atas kasurpun jika masih bernyawa pasti memiliki cita-cita. Cita-cita ingin sembuh, harapan ketemu sanak saudara, impian khusnul khatimah (mati dalam kondisi beriman).
Cita-cita juga menunjukkan kita sebagai seorang visioner. Seperti halnya pendiri bangsa negeri ini. Berdirinya negara yang merdeka lepas dari kezaliman para penjajah adalah cita-cita tertinggi para pahlawan kemerdekaan. Iya kan?
Setelah merdeka, tidak lantas merasa cukup lho. Impian, Cita-cita, dan harapan masih terus berkembang untuk diperjuangkan. Seperti saat ini nih. Seluruh komponen bangsa harus kembali memperjuangkan cita-cita pendiri bangsa. Kenapa? alasannya karena, cita-cita pendiri bangsa Indonesia, yang tertuang dalam pancasila. Seperti persatuan, keadilan, keberadaban, kebijaksanaan juga kesejahteraan rakyat Indonesia, belum berhasil diraih. Meski negeri ini telah merdeka 75 tahun yang lalu.
Bahkan sejahterapun hanya sebatas impian angka-angka yang dimanipulasi. Kenyataannya rakyat yang mati kelaparan dan gizi buruk itu masih banyak terjadi.
Terlebih lagi masalah persatuan negeri menjadi ujian tersendiri. Perpecahan atau bahasa nyentriknya disintegrasi lagi-lagi membara. Bahkan Gerakan Papua yang dimotori oleh Benny Wenda, berani mendeklarasikan sepihak kemerdekaannya. Ini sangat ngeri-ngeri sedap bukan?
Lebih ngeri lagi, ternyata sinyal dukungan untuk kemerdekaan Papua mengalir dari dunia internasional. Sedangkan penguasa negeri yang berkuasa atas Papua tidak mampu membujuk rayu anak negerinya dan mencari solusi, demi memberantas tuntas benih disintegrasi.
Ini sih, membuktikan kalau kepemimpinan negeri ini lemah dan mudah diintervensi para cukong bermodal besar alias kapitalisme. Sehingga, anak wilayah selalu tersulut api disintegrasi bangsa. Cukuplah, Timor-Timor menjadi pengalaman pahit NKRI dalam kepengurusan wilayah kesatuan, yang mengekor pada kepentingan korporatokrasi.
Ini diduga , efek dari sistem politik yang diadopsi dari penjajah. Kemudian dianut penguasa pascamerdeka yakni demokrasi. Yang menjadi sumber penjajahan gaya baru yang lebih masif, penjajahan dari dalam yang lebih menyeramkan.
Juga sistem ekonomi yang dipungut dari peninggalan penjajah yaitu kapitalisme neoliberal mampu melegalkan dan menghalalkan aset milik rakyat dikuasai oleh pengusaha kelas kakap dalam negeri dan asing.
Selain itu, pola pikir dan pola sikap masyarakat yang didesain untuk ikut kepribadian barat seperti pluralis, individualis, konsumtif, liberalis, dan materialistik menjadikan masyarakat lemah dan cuek terhadap sekitar, tidak bermoral, miskin visi, dan cenderung pragmatis. Hal ini diperparah dengan hukum negara warisan penjajah yang tumpul keatas sedang ke bawah tajam. Menjadikan kondisi negara dan masyarakat menjadi komplit rusaknya.
Rasa-rasanya sistem hidup yang berasal dari sekularisme (harus terpisah agama dari kehidupan) ini, sudah tidak layak dipertahankan. Sistem yang rusak dari akar ini telah sukses menyengsarakan dan memiskinkan rakyat tanah air. Hingga isu pelepasan dari NKRI seolah menjadi cahaya bagi wilayah yang tertinggal.
Dan ternyata Islam yang banyak dianut oleh penduduk negeri ini punya pengalaman sejarah yang gemilang. Sehingga pujian keberhasilan penerapan hukum Islam yang membawa keadilan dan kesejahteraan itu tidak hanya dirasakan dan diakui oleh kaum muslim saja. Penulis Barat, Will Durantpun dengan jelas menggambarkan dalam tulisannya:
“Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.” (Will Durant – The Story of Civilization).
“Agama Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan hingga Maroko dan Spanyol. Islam pun telah memiliki cita-cita mereka, menguasai akhlaknya, membentuk kehidupannya, dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan urusan kehidupan maupun kesusahan mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka, sehingga jumlah orang yang memeluknya dan berpegang teguh padanya pada saat ini [1926] sekitar 350 juta jiwa. Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hatinya walaupun ada perbedaan pendapat maupun latar belakang politik di antara mereka.” (Will Durant – The Story of Civilization).
Pernyataan dari Will Durant, seorang penulis barat ini, menegaskan kalau penerapan Islam sebagai hukum negara itu menjadikan negara kuat dan berdaulat. Hal ini karena dalam Islam nampak visi menyatukan dan mencegah kezaliman serta menghapus penjajahan juga haram takluk pada kekuasaan asing.
Menjadi negara yang mandiri dan mapan dari segi ekonomi adalah buah dari negara yang kuat dan berdaulat. Pun takwanya seorang pemimpin kepada Allah Swt, menjadikan kepemimpinan dalam Islam menjadi amanah dan berorientasi akhirat. Sehingga hukum Islam ditunaikan secara sempurna sebagai aturan negara.
Dalam negara yang memakai hukum Islam, itu ternyata menjamin hak-hak dasar warga negara baik muslim maupun non muslim seperti, agama, jiwa, harta, akal, kehormatan, kesejahteraan, pendidikan, keamanan, kesehatan. Semuanya diurus dan dilindungi, tidak boleh ada yang menciderai.
Itulah kiranya rahasia mengapa selama belasan abad Islam mampu menjadi adidaya. Tercatat hampir 2/3 dunia dipersatukan meski berbeda agama dan budaya. Di bawah sistem Islam mereka hidup rukun dan sejahtera.
Jika dengan berhukum buatan manusia seperti demokrasi yang masih menguasai negeri telah gagal meraih cita-cita para pendiri negeri. Maka sudah seharusnya umat manusia kembali berhukum dengan hukum Tuhannya yakni hukum Islam, agar kehidupan yang berkeadilan dan tentram jauh dari diskriminasi serta hidup sejahtera bisa kembali dirasakan oleh penduduk bumi, tidak hanya bagi warga negara Indonesia.
Penduduk Papua harus menyadari bahwa ketertindasan, ketidakadilan dan ketidaksejahteraan yang dirasakan adalah akibat dari tidak diberlakukannya hukum Tuhan semesta alam yakni syari'at Islam. Yang sudah terbukti mampu menyelesaikan setiap permasalahan dan menjadikan negerinya kuat juga berdaulat.
Terpisahnya Timor-Timur dari NKRI cukup menjadi pelajaran berharga bahwa disintegrasi bukanlah solusi. Juga terpecahnya umat Islam menjadi lebih dari 50 negara hanya menjadi jalan mulus bagi para penjajah yang sebenarnya.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment