Kitab suci di atas konstitusi |
Oleh: Mahdiah, S. Pd (Aktivis Muslimah Kota Cilegon)
Setelah statement kontroversialnya menimbulkan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat. Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi kembali mengeluarkan statemen yang kurang lebih serupa. Padahal tujuan statementnya adalah untuk klarifikasi.
"Saya menghimbau kepada orang Islam, mulai bergeser dari kitab suci ke konstitusi kalau dalam berbangsa dan bernegara. Sama, semua agama. Jadi kalau bahasa hari ini, konstitusi di atas kitab suci. Itu fakta sosial politik,” kata Yudian saat ditemui Tempo di Kantor BPIP (13/02/2020).
Ia juga melontarkan statement bahwa orang-orang yang beragama dalam bernegara harus beralih dari kitab suci menuju konstitusi.
"Sekarang kita yang beragama ini, dalam bernegara harus beralih dari kitab suci menuju konstitusi. Jadi kalau kita tidak bisa mengelola agama maka dia akan menjadi musuh terbesar kita. Seperti yang saya katakan, karena dia mayoritas yang masuk ke semua lini kehidupan, " kata Yudian (13/2/2020).
Statement-statement Kepala BPIP tersebut dianggap berpotensi memancing kegaduhan di tengah masyarakat. Melansir dari fajar.co.id (14/02/20), Anggota Komisi Vlll DPR RI, Muhammad Fauzi mengatakan bahwa pernyataan tersebut semestinya tidak perlu dilontarkan. Sebab, dalam konteks bernegara, umat beragama di Indonesia patuh pada konstitusi.
"Justru pernyataan seperti ini bisa menimbulkan bias dan memancing reaksi masyarakat karena terkesan selalu menghadapkan agama dan Pancasila," kata Fauzi.
Statement demi statement yang keluar dari lisan Kepala BPIP, disadari atau tidak, menjelaskan kepada seluruh masyarakat Indonesia tentang sikap rezim yang sesungguhnya terhadap umat beragama khususnya Islam.
Menjadikan konstitusi berada di atas kitab suci adalah upaya melepaskan agama dari negara, Inilah yang disebut dengan sekularisme.
Sekularisme adalah ideologi yang akidahnya dibangun di atas dasar solusi jalan tengah, yaitu solusi yang muncul sebagai akibat dari konflik berdarah antara Gereja dan para raja yang mengikutinya di satu sisi, dan antara pemikir dan filsuf Barat di sisi lain.
Mereka melihat bahwa agama Kristen tidak mampu memberikan solusi atas semua urusan kehidupan, bahkan ia dianggap sebagai penyebab kedzaliman dan keterbelakangan. Maka mereka pun melakukan perlawanan agar otoritas Gereja digantikan dengan hasil penggalian akal yang dalam pandangan mereka mampu menetapkan sebuah sistem yang dapat mengatur semua urusan kehidupan.
Pihak Gereja tidak begitu saja memberikan otoritas kepada para pemikir dan filsuf. Pertarungan sengit antara kedua pihak pun tak terelakkan. Klimaksnya mereka menyepakati jalan tengah, yakni pengakuan bahwa agama hanya mengatur hubungan antara manusia dengan penciptanya, dan agama sama sekali tidak memiliki peran di dalam kehidupan. Mereka menjadikan ide pemisahan agama dari kehidupan sebagai akidah bagi ideologi mereka. Agama dibiarkan tetap ada tetapi perannya dikerdilkan.
Dilihat dari sejarah kemunculannya saja, sekularisme sudah sangat bertentangan dengan Islam. Namun inilah realita yang terjadi saat ini. Upaya sekulerisasi agama demikian massif digaungkan oleh rezim. Upaya mencabut peranan agama dari kehidupan berbangsa dan bernegara sangat kentara. Hal tersebut merupakan pengejawantahkan agenda besar pemerintah lima tahun ke depan, yakni pengarusutamaan moderasi beragama.
Jika hal ini dibiarkan, dapat membahayakan eksistensi Indonesia. Negeri ini akan semakin terpuruk. Cengkeraman kapitalisme dan neo liberalisme sudah sangat dalam di tubuh Indonesia. Jika Islam yang sejatinya ingin menyelamatkan malah dijadikan kambing hitam dan dijauhkan dari konstitusi, maka negeri ini benar-benar menuju kebinasaan.
Islam bukan sekadar agama namun Islam juga sebagai Ideologi yang memiliki seperangkat aturan. Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki cara pandang yang menyeluruh terkait semua aspek kehidupan. Di dalamnya terpancar aturan paripurna sebagai problem solving bagi seluruh problematika kehidupan.
Termasuk didalamnya mengatur urusan bernegara. Para ulama telah menjelaskan pentingnya agama berdampingan dengan kekuasaan:
"Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak berpondasi akan hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap," (Abu Abdillah al-Qal'i, Tadrib ar-Riyasah wa Tartib as-Siyasah, 1/81).
Bahkan andil agama yang begitu besar terhadap jalannya konstitusi, pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW yang kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin.
Sistem pemerintahan Islam menerapkan ekonomi syariah, hudud, jinayat, sistem pergaulan Islam, dan sebagainya. Umat Islam menggunakan
sistem pemerintahan Islam sejak tahun 622M hingga 1924M. Berkat sistem inilah, Islam meluas hingga menguasai 2/3 dunia. Bahkan tanah Jawa yang begitu jauh dari Makkah, tersinari oleh cahaya Islam.
Maka, sudah semestinya kita merindukan cahaya Islam yang saat ini mulai redup. Cahaya Islam yang terang benderang hanya akan terpancar saat syariat Islam diterapkan secara menyeluruh dalam institusi negara, yakni Khilafah Rasyidah. Sistem inilah yang harus diperjuangkan oleh seluruh umat Islam, agar kitab suci tak lagi dinista, agar kitab suci tak diletakkan dibawah konstitusi.
Wallahu a'lam bishowab...
Post a Comment