pilarmabda.com |
Oleh : Aghniarie (penulis)
Yang benar tampak salah dan yang salah tampak benar, inilah realitas akhir zaman. Saat kekuasaan dipegang oleh golongan yang tidak menyukai agama, agama dianggap candu yang harus dihindari bahkan dihancurkan.
Demikianlah yang terjadi saat ini, nilai-nilai luhur agama yang sudah menjalar baik di kalangan para istri anggota TNI dan Polri. Menjadikan mereka semangat mengkaji Islam dan berbenah diri untuk kebaikan diri sendiri, keluarga juga negeri ini. Sayang seribu sayang aktivitas mulia tersebut harus di hentikan sebab ada dari perintah presiden agar TNI dan Polri jangan sampai disusupi oleh penceramah radikal dalam kegiatan agama. (Suara.com 6/3/2022)
Akibatnya pengajian para istri TNI dan Polri harus diwaspadai serta dicurigai. Bahkan pemerintah membuat daftar para penceramah yang radikal versinya. Daftar tersebut dijadikan acuan agar nama-nama yang terdaftar di dalamnya tidak diundang dalam berbagai kegiatan beragama. Karena rezim saat ini menganggap hal tersebut akan mengganggu kedaulatan negeri.
Ada Apa Dibalik Narasi Nasionalisme?
Sungguh bebal rezim ini, saat harga berbagai kebutuhan pokok semakin melangit. Fenomena kepanikan untuk mendapatkan minyak goreng murah semakin menggila. Belum lagi ketergantungan kedelai pada negara lain, membuat para pengrajin tempe dan tahu kembali menjerit gegara harga melonjak lagi. Ditambah gas elpiji yang juga ikut melambung, harga telur pun turut naik, dan berbagai barang komoditas pangan lainnya tak kalah semakin mahalnya.
Namun, yang terjadi bukannya berupaya maksimal agar rakyat bisa menjangkau harga-harga kebutuhan pokok. Yang terjadi rezim malah berteriak ancaman para penceramah radikal pada kedaulatan negara. Rezim menuding para penceramah yang telah memberikan ilmu Islam terkait wawasan politik dan kebangsaan kepada para jemaahnya dituding sebagai anti nasionalisme dan tidak mencintai negeri, bahkan difitnah telah mengancam kedaulatan negara dan tudingan-tudingan lainnya. Para penceramah menjadi bulan-bulanan rezim.
Para penceramah yang tidak memiliki otoritas kekuasaan, tidak punya kewenangan membuat undang-undang dan berbagai regulasi terkait kedaulatan dan kekayaan negeri juga bukan pembuat serta pemutus kebijakan yang diterapkan negeri ini. Bagaimana bisa menjadi ancaman dan menjual kedaulatan negara? Padahal faktanya justru merekalah para penuduh itu yang telah menjual kekayaan alam dan kedaulatan negeri kepada asing-aseng.
Dengan dalih karena minimnya SDM berketerampilan yang dimiliki negeri. Rezim 'memberi karpet merah' pada TKA Cina di masa pandemi saat WNI diminta untuk PPKM. Bukankah ini bentuk hilangnya kedaulatan negeri? Tidak hanya pada masalah TKA yang terus-menerus berdatangan di kala negara-negara lain menutup wilayahnya karena pandemi. Kebijakan ekonomi pun tampak jelas keberpihakannya pada asing. Dengan banjirnya barang-barang impor hingga terjadi gelombang tsunami barang impor.
Dan berbagai perseteruan pemerintah dan rakyat dari berbagai kebijakan yang labih mementingkan para korporat dari pada rakyat seperti UU omnibuslaw, juga kelahiran paksa UU IKN yang memakan dana sangat besar di tengah sulitnya kehidupan rakyat akibat pandemi dan inflasi. Bukankah itu merupakan hilangnya kedaulatan negeri karena tersandera oleh kepentingan para korporat?
Yang sebenarnya terjadi adalah kedaulatan negara sudah terjual. Akibat dari kepemimpinan rezim yang tidak mampu memimpin. Bukan dari ceramah para ustaz di masjid dan majelis taklim.
Naluri Cinta Negeri
Gaung nasionalisme sebagai bentuk keberadaan cinta pada negeri. Hakikat yang sebenarnya jelas berbeda antara nasionalisme dengan cinta negeri. Setiap manusia pasti punya rasa cinta terhadap tanah kelahirannya. Ke manapun pergi pasti ada rindu untuk kembali ke negerinya, ini adalah fitrah. Wajar terjadi, bahkan Rasulullah saw beserta para sahabat pun mengalaminya. Kala hijrah ke Madinah betapa mereka merindukan Mekah.
Jauh dari tanah kelahiran dalam kurun waktu yang lama mengukir derita tersendiri di hati. Apalagi di negeri tersebut terdapat keluarga, sanak dan saudara yang membuat semakin membumbung tingginya kecintaan pada negeri. Ini pula lah yang dijadikan hukuman oleh para penjajah bagi pejuang kemerdekaan dengan mengasingkannya dari tempat kelahirannya, bahkan hingga wafat. Seperti Cut Nyak Dien dari Aceh yang kemudian diasingkan ke Sumedang hingga beliau wafat, dan banyak lainmya.
Demikianlah hakikatnya negeri yang berdaulat tentu harusnya tidak ingin negerinya terjajah baik secara fisik, politik, ekonomi maupun budaya dan jajahan lain yang semisalnya. Negeri yang berdaulat bukanlah negeri yang tidak bisa bebas bergerak karena terikat perjanjian ini dan itu, bukan negeri yang mudah di atur-atur oleh bangsa lain. Negeri yang berdaulat ialah negeri yang mempunyai sikap mandiri dan mengatur negerinya dengan kemampuannya sendiri tidak tersandera atau diintervensi oleh pihak lain.
Cinta pada negeri berbeda dengan nasionalisme. Jika cinta negeri merupakan bagian dari fitrah yang keberadaannya wajar dan memiliki ikatan kekuatan yang kuat. Lain halnya dengan dengan nasionalisme ia adalah paham kebangsaan yang dibuat oleh manusia. Menyandarkan loyalitas tertinggi pada bangsanya. Akan membela mati-matian bangsanya meskipun salah.
Nasionalisme yang hanya berlandaskan pada emosional sesaat. Emosi yang kuat karena ikatan sebangsa dan seluluhur, yang akan menguat jika ada ancaman dari luar dan kembali redup jika ancamannya hilang. Ini ikatan yang rendah dan lemah demikian kata syekh Taqiyuddin an-Nabhani.
Bagi golongan yang culas, mereka menggoreng isu nasinolisme untuk menutupi ketidakmampuan rezim menangani berbagai problematika negerinya. Rezim memahami kekuatan nasionalisme akan menguat jika terdapat ancaman. Ancaman secara fisik para penjajah sudah tidak ada. Meskipun sebenarnya negeri ini terjajah secara pemikiran, budaya, politik, dan ekonomi namun itu malah ditutupi karena rezim menikmati serpihan keuntungan dari penjajahan non fisik.
Kejinya para agen penjajah non fisik itu, tega mengorbankan anak-anak bangsa dengan "common enemy" atau musuh bersama. Atas komando negara adidaya musuh bersama yang ditetapkan adalah Islam dan para penyerunya. Inilah yang diseru rezim saat ini sebagai agenda dari moderasi beragama harus mengikuti arahan barat untuk melakukan politik belah bambu.
Pandangan Islam
Dalam firman-Nya, Allah SWT menjelaskan:
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (TQS.Al-Hujurat: 13).
Dari ayat di atas jelas atas kehendak Allah-lah manusia hidup bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Akan tetapi Allah melarang ashabiyah terhadap golongan atau bangsanya. Menganggap golongan atau bangsanya selalu benar, kefanatikan ini jelas sebuah ke haraman. Bahkan tatkala seorang muslim yang mati dalam keadaan berperang jika didasari atas bangsa dan negara kematiannya bukan kematian yang syahid. Dalil haramnya ashabiyah termaktub dalam hadis Rasul. Dari Jubair bin Muth’im bahwa Rasulullah saw. bersabda;
“Bukan termasuk golongan kami, orang yang mengajak kepada ashabiyah, berperang karena ashabiyah dan mati karena ashabiyah.” (HR Abu Dawud. Dinilai daif oleh Syekh Albani)
Demikianlah paham nasionalisme dilarang dalam Islam karena merupakan bagian dari seruan jahiliyah, dalam hadis lain Rasulullah saw menjelaskan kebusukan ikatan ashabiyah.
“Sungguh hina kaum yang membangga-banggakan nenek moyang mereka; atau mereka itu akan menjadi lebih hina di sisi Allah daripada seekor ju’al (sejenis hewan) yang mengais-ngais sampah dengan menggunakan hidungnya.” (HR Ahmad dan ath-Thabrani)
Kaum muslimin harus mengetahui bahwasanya ide nasionalisme merupakan strategi musuh Islam dalam menghancurkan kesatuan kaum muslimin di bawah daulah Khilafah Utsmaniyah kala itu. Startegi jahat barat itu berhasil, daulah Islam tumbang tepat di bulan Rajab.
Akibatnya, penjajahan atas negeri-negeri muslim dalam berbagai bentuknya makin kukuh, baik di lapangan ekonomi (melalui pemberian utang luar negeri dan sebagainya), politik (melalui sekularisme, demokrasi, HAM, dan sebagainya), maupun gelombang budaya asing yang menggerus karakter Islam pada pribadi muslim. Ide nasionalisme ini masih berpengaruh di negeri-negeri muslim saat ini. Dampaknya satu negeri muslim dengan negeri lainnya, tidak boleh saling mencampuri, membantu dan menolong, meski saudaranya di negeri yang lain itu terzalimi, dibantai dan dibunuh hingga terjadi genosida.
Kembali Pada Islam
Jelas Islam melarang nasionalisme. Perbuatan baik harus dilandaskan pada Allah Swt semata tidak boleh karena alasan nasionalisme. Ikatan ashabiyah (nasionalisme) yang lemah harus diganti dengan ikatan yang kuat. Yakni ikatan akidah yang berlandaskan pada cinta dan benci karena Allah Swt, kebenaran dan kesalahan berpatokan pada hukum syara.
Jika kedaulatan negeri ingin kembali digenggam maka tak ada cara lain, selain harus menjadikan Islam sebagai aturan kehidupan. Para ulama adalah para penyeru Islam, penerus para nabi yang harusnya diberikan tempat terbaik agar umat mendengarkan dan kembali pada syariat Islam. Bukan didiskriminasi dan dijadikan bulan-bulanan tudingan yang tidak berdasar apalagi diposisikan sebagai musuh.
Wallahu'alam bishshawab.
Post a Comment