Oleh: Ummu Aidan (Penulis)
Budaya/kultur menurut wikipedia.com, berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budia atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Sedangkan para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda. Edward Burnett Tylor misalnya, mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan, serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Moh Hatta, dalam sebuah pidato, beliau menuturkan gagasannya terkait kebudayaan.
"Kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. Kebudayaan banyak sekali macamnya. Menjadi pertanyaan apakah agama itu suatu ciptaan manusia atau bukan. Keduanya bagi saya bukan soal. Agama adalah juga suatu kebudayaan karena dengan beragama manusia dapat hidup dengan senang. Karenanya saya katakan agama adalah bagian daripada kebudayaan..."
Masih banyak lagi pendapat dari para pakar soal budaya. Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, jelas sekali bahwa budaya merupakan produk pemikiran atau keberadaannya diciptakan oleh masyarakat baik murni dari pemikiran maupun hasil dari kebiasaan. Ini yang kemudian melahirkan kebudayaan yang berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Orang Jawa adat istiadatnya akan berbeda dengan orang Sunda. Orang Timur akan berbeda kulturnya dengan orang Barat. Hal ini bisa diterima dengan akal sehat sebab sudah menjadi sunatullah. Allah sendiri mengonfirmasinya dalam Al-Qur'an.
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti." (TQS. Al-Hujurat ayat 13)
Juga dalam kalamullah lainnya;
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (TQS. Ar-Rum ayat 22)
Kebudayaan yang merupakan produk buah pikir ini sering kali menjadi sumber konflik di tengah-tengah masyarakat general, namun bisa juga mengantarkan pada persatuan, kesatuan, dan keharmonisan jika disikapi dengan cerdas dan tepat. Sebagai contoh dalam pernikahan, tradisi lusan (adat Jawa) melarang anak pertama menikah dengan anak ketiga. Ini sering mendatangkan gesekan, sebab tidak ada yang tahu seseorang akan berjodoh dengan anak keberapa dalam keluarganya. Oleh sebab itu adat seperti ini seharusnya direformasi.
Untuk bisa menyikapi perbedaan dengan cerdas dan tepat, manusia memerlukan tolak ukur/standar. Dan standar ini tidak boleh berasal dari manusia, sebab rawan subjektifitas. Di sinilah letak pentingnya peranan Sang pengatur kehidupan. Dialah Allah Subhanahu wata'ala sebagai Al-Khaliq Al-Mudabbir (pencipta sekaligus pengatur).
Allah subhanahu wata'ala juga sebagai Assyari' (pembuat hukum). Hukum-hukum dari Allah lah yang seharusnya menjadi standar dalam menerapkan budaya, bukan sebaliknya. Budaya akan menjadi pemersatu umat manusia serta tidak akan memicu konflik jika disetir oleh syariat Islam. Sebaliknya jika Islam yang disetir oleh budaya, pasti akan menimbulkan konflik, lebih dari itu akan membawa malapetaka di tengah-tengah kehidupan manusia.
Allah sebagai pencipta manusia, alam dan kehidupan menghendaki manusia menjadi pribadi yang taat. Menitipkan misi untuk menyelamatkan dan memakmurkan bumi, maka Allah Yang Maha tahu menitipkan juga petunjuk agar sampai kepada misi tersebut. Maka dengan menjadikan syariat Islam sebagai setir kehidupan termasuk setir kebudayaan insyaAllah dengan izin-Nya akan membawa negeri ini menjadi negeri baldatun thayibatun warabbun ghafur serta menjadikan bumi ini sebagai bumi yang diberkahi. Aamiin.
Wallahu a'lam bisshawab.
Post a Comment