Oleh : Naila Zahra Salsabila
Pelajar
Jakarta - Pemerintah akan melakukan impor gula kristal putih sebanyak 215.000 ton untuk tahun ini. Badan pangan nasional atau National Food Agency (NFA) menugaskan kepala BUMN pangan dalam hal ini ID FOOD dan PTPN Holding untuk mengimpor gula tersebut.
Kepala Badan Pangan Arief Prasetyo Adi, mengatakan kedatangan impor gula tersebut akan bertahap, pertama untuk kebutuhan bulan Ramadhan akan datang sebanyak 99.000 ton gula kristal putih ( GKP). Targetnya, gula impor tersebut sudah masuk Maret atau April. Gula impor tersebut dari sejumlah negara yakni Thailand, India, dan Australia.
"Prosesnya sudah berjalan dan ditargetkan sudah ada yang masuk pada Maret-April ini untuk menambah stok dan menjaga harga di tengah puasa dan lebaran," ujarnya dalam keterangan dikutip Sabtu (25/3/2023).
Berdasarkan data Food dan Agriculture (FOA) Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tebu terbesar di dunia, produksi tebu di tanah air menempati posisi ke sembilan dengan total 28,8 juga ton pada 2020.
Juga sejarah mencatat, industri gula telah menjadi industri tertua dan unggulan sejak jaman kolonial. Diketahui, pada era sebelum perang dunia II tahun 1930-1940, pulau Jawa adalah salah satu penghasil gula terbesar di dunia sekaligus pengekspor gula terbesar kedua setelah Kuba. Puncak produksi dicapai pada 1931 dengan produksi sebesar tiga juta ton per tahun dan 2,40 juta ton diantaranya di ekspor. Saat itu, sebanyak 179 pabrik gula beroperasi di wilayah Indonesia dengan tingkat produktivitas mencapai 14,80 ton gula per hektare atau 130 ton tebu per hektare. Potensi besar ini dimiliki antara lain karena adanya dukungan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, teknologi yang efektif, peraturan dan undang-undang kolonial.
Jika dibandingkan negara produsen gula dunia lainnya, tingkat efisiensi industri gula Indonesia pada saat ini menepati urutan ke- 15 dari 60 negara produsen gula dunia. Hal ini menarik bagi dunia bisnis di Indonesia sendiri. Permintaan gula dalam negeri terus meningkat, Baim untuk konsumsi rumah tangga maupun sebagai bahan baku industri makanan, minuman dan farmasi. Tak pelak, hal ini membuka peluang bisnis baru di bidang per gulaan, baik bisnis skala besar atau bisnis skala kecil. Maka, tentu sangat tragis ketika negeri kita ini pada akhirnya harus menjadi negara penggila impor gula.
Juga tak dimungkiri, atmosfer sistem ekonomi kapitalisme mendasarkan setiap barang dan jasa dianggap memiliki nilai guna (utility) selama masih ada orang yang menginginkannya. Menilik potensi gula, terlebih posisinya sebagai komoditas strategis dan acap kali sarat politis, nilai guna gula dipastikan sangat tinggi.
Dengan kata lain, bagi kapitalisme, potensi keuntungan yang dapat dikeruk dari komoditas gula, juga sangat tinggi. Wajar jika lika-liku impor turut kental mewarnai ekonomi gula, karena para importir tentu memperoleh rente impor ketika kebutuhan gula nasional sebagiannya telah berbasis impor. Ramadan dan Idulfitri sebagai momentum tepat jamuan makan kemudian menjadi ajang bisnis yang manis, yang mana gula menjadi komoditas primadona di berbagai lapisan masyarakat.
Melirik Ideologi Alternatif
Memang berbahaya jika pengusung kapitalisme itu adalah penguasa dan negara yang bersangkutan. Semestinya, penguasa memberi proteksi berlapis agar nilai guna gula yang tinggi tersebut tidak serta-merta dibajak kacamata bisnis. Melainkan dialokasikan demi sebaik-baiknya kebutuhan masyarakat. Karena itu, urgen bagi penguasa untuk mengambil ideologi alternatif selain kapitalisme, agar gula sebagai komoditas khalayak tidak dikapitalisasi para pemburu rente impor.
Ideologi alternatif yang dimaksud adalah ideologi Islam, yang kemudian diterapkan secara menyeluruh. Negara memahami gula adalah salah satu bahan pangan pokok yang menjadikannya komoditas strategis. Maka, penguasa Khilafah akan mengurusnya sebagai bagian dari urusan masyarakat secara keseluruhan. Rasulullah saw. bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)
Melalui mandat ini, negara akan menjamin terpenuhinya kebutuhan gula rakyat, baik skala rumah tangga maupun industri. Islam akan memastikan pelaksanaan aspek hulu hingga hilir industri gula, yakni pengelolaan pertanian tanaman tebu serta jaminan peremajaan dan pembangunan pabrik gula.
Islam juga memfasilitasi riset teknik produksi gula. Jika memang ada tanaman selain tebu yang juga berpotensi menghasilkan gula, Islam tentu akan mendorong riset di sektor ini. Pun riset medis dan nutrisi terkait konsumsi gula per individu. Penting bagi Khilafah untuk memastikan gula tak hanya berakhir sebagai kambing hitam penyakit degeneratif. Andai memang memerlukan impor gula, Islam tentu harus memastikan sifatnya sementara, sehingga impor tidak menjadi basis kebutuhan gula di dalam negeri.
Wallahua'lambishawab.
Post a Comment