Pilarmabda.com |
Oleh : Bunda Hanif
Jumlah pencari kerja di Indonesia tidak sebanding dengan lowongan kerja yang tersedia. Bila diibaratkan seperti bumi dan langit. Menurut data dari BPS pada 2022, jumlah pencari kerja sebanyak 937,176 orang, sedangkan lowongan kerja hanya berjumlah 59,276. Artinya 1 lowongan kerja diperebutkan oleh sekitar 16 orang. Belum lagi dengan datangnya para pekerja asing yang jumlahnya cukup banyak.
BPJS mencatat pengangguran di Indonesia pada Februari 2023 berjumlah 7,99 juta orang. Walaupun dari tahun ke tahun jumlah pencari kerja semakin turun, tetapi jumlah lowongan kerja pun makin menurun. Kondisi ini menyebabkan jumlah keluarga miskin semakin bertambah setiap tahunnya yang berimbas pada tingkat kesejahteraan bangsa. (Muslimahnews.com 24/5/2023)
Kesenjangan pencari kerja dengan jumlah lapangan pekerjaan diklaim oleh pemerintah akibat perubahan teknologi informasi. Tenaga kerja Indonesia didominasi oleh unskilled workers yang tidak menguasai teknologi digitalisasi. Kondisi ini menyebabkan jumlah pengangguran di Indonesia semakin meningkat.
Sri Mulyani mengatakan, di satu sisi, perubahan teknologi informasi yang cepat membawa manfaat bagi kehidupan manusia berupa meningkatnya efisiensi dan perluasan skala produksi, namun di sisi lain, juga menghadirkan tantangan berupa penghematan tenaga kerja manusia (labor saving) secara masif, persoalan privasi, dan keamanan siber (cyber security). (Kontan.co.id/19/5/2023)
Pertanyaan yang mungkin terbersit dalam benak kita mengapa jumlah pengangguran makin meningkat? Kenapa jumlah lowongan kerja semakin langka? Dan mengapa negara tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya agar tidak makin banyak rakyat yang miskin? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya harus diketahui dulu akar permasalahannya agar segera ditemukan solusinya.
Untuk mengatasai permasalahan tersebut pemerintah memberikan solusi yaitu dengan mengadakan pelatihan-pelatihan untuk menekan pengangguran. Pengangguran di Indonesia didominasi oleh lulusan SMK dan SMA, karenanya pemerintah menggencarkan pelatihan vokasi.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi, mengatakan saat ini pelatihan vokasi akan memainkan peran yang semakin strategis dalam menekan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia, mengingat dari sisi pendidikan TPT didominasi oleh tingkat pendidikan SMK (9,42%) dan SMA (8,57%). (Liputan6.com,5/5/2023)
Untuk memperkuat pelatihan vokasi, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Presiden RI (Perpres) Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi. Prepres tersebut menekankan kolaborasi dan sinergi kerja antar kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan dunia usaha/dunia industri dalam pelaksanaan pendidikan vokasi dan pelatihan vokasi. Ke depan, diharapkan pendikan vokasi dan pelatihan vokasi dapat berjalan beriringan.
Namun kenyataan di lapangan pelatihan vokasi belum mampu mengatasi pengangguran, bahkan menghabiskan anggaran yang tidak sedikit. Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya pengangguran yang didominasi oleh lulusan SMK padahal program pendidikan dan pelatihan vokasi sudah lama berjalan.
Tingginya pengangguran adalah persoalan klasik yang tidak bisa diselesaikan olehn sistem ekonomi kapitalisme. Persoalan ini tidak hanya dialami oleh negara berkembang, tetapi juga oleh negara-negara maju. Contohnya AS dan Cina yang saat ini sedang dihantam tingginya pengangguran.
Ada tiga sebab pengangguran terus menjadi persoalan di sistem kapitalisme. Pertama, sistem ini fokus untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi individu pemilik. Untuk mencapai keuntungan yang maksimal, perusahaan akan terus menekan biaya produksi. Biaya produksi yang paling mudah ditekan adalah upah pekerja. Upah rendah dan PHK merupakan bentuk efisiensi perusahaan. Inilah yang menyebabkan makin berkurangnya jumlah lowongan kerja.
Kedua, persaingan bebas antar perusahaan. Perusahaan yang memiliki modal besar akan “mencaplok” perusahaan kecil. Dunia usaha hanya dikuasai oleh segelintir orang, yaitu mereka yang memiliki modal besar. Perusahaan kecil pada akhirnya akan mengantre untuk menjadi pekerja.
Contoh yang bisa kita lihat adalah fenomena bangkrutnya warung tradisional akibat menjamurnya pasar modern/supermarket. Supermarket bisa menjual barang dengan harga murah karena memiliki modal besar. Berbeda dengan warung tradisional yang modalnya terbatas, tentu tidak akan bisa menjual barang dengan harga murah.
Sebagai konsumen tentunya akan mencari barang dengan harga murah, apalagi konsumen yang pendapatannya pas-pasan. Lama kelamaan warung tersebut bangkrut dan pemiliknya tidak punya pilihan lain selain mengantri untuk menjadi pekerja.
Ketiga, negara abai dengan urusan warganya. Di dalam sistem kapitalisme, seluruh urusan umat diserahkan kepada swasta termasuk lapangan pekerjaan. Kebijakan untuk menyerap tenaga kerja fokus pada pertumbuhan satu perusahaan. Contohnya, saat pemulihan ekonomi pasca Pandemi Covid-19, pemerintah justru menggelontorkan dana yang sangat banyak kepada perusahaan besar dengan alasan agar perusahaan mampu bertahan dan tidak mem-PHK karyawannya ketimbang menggelontorkan dana untuk rakyat yang butuh dana untuk modal usaha.
Kondisi tersebut menyebabkan rakyat sulit menciptakan wirausaha karena iklim usahanya tidak mendukung. Dengan keterbatasan modal tentu saja rakyat akan kesulitan bersaing dengan perusahaan besar. Walhasil, kesenjangan antara jumlah pencari kerja dan tersedianya lapangan pekerjaan semakin parah. Negara seharusnya sebagai pihak sentral yang berperan besar dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Bagaimana Islam Menyikapi Masalah Tersebut?
Sistem ekonomi Islam telah terbukti mampu menyejahterakan rakyatnya hingga berabad-abad lamanya. Dalam sistem Islam ada empat faktor untuk menyelesaikan masalah pengangguran.
Pertama, Islam mengharamkan barang milik umum dikuasai individu. Barang tersebut harus dikelola oleh negara dan dikembalikan kepada rakyat. SDA yang melimpah akan dikelola negara dan semua rakyat harus bisa menikmati. Dengan begitu persoalan kemiskinan akan terselesaikan. Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme, setiap manusia berhak memiliki apapun sehingga barang milik umum boleh dikuasai oleh siapapun termasuk asing. Contohnya, SDA yang melimpah di negeri ini seperti barang tambang justru lebih banyak jatuh ke tangan asing.
Kedua, pengelolaan SDA dikelola oleh negara agar mampu menyerap banyak tenaga kerja. Eksplorasi bahan mentah sangat membutuhkan tenaga kerja. Kondisi saat ini, pengelolaan SDA justru diserahkan ke swasta, sehingga swasta bebas mengambil tenaga kerja darimana pun, termasuk tenaga kerja asing. Hal ini tentunya akan menyebabkan rakyat di negeri ini banyak yang menganggur. Posisi mereka tergantikan oleh tenaga kerja asing.
Ketiga, pengaturan upah dalam sistem Islam berbeda dengan sistem kapitalisme. Upah bukan merupakan biaya produksi, melainkan kesepakatan antara pekerja dan majikan. Walhasil, tidak akan ada demonstrasi penuntutan kenaikan upah karena sudah disepakati sebelumnya. Kesejahteraan pekerja bukan tanggung jawab majikan, melainkan negara. Jika upah yang diterima pekerja tidak mampu menyejahterakan dirinya, maka negaralah yang bertanggung jawab.
Keempat, negara sebagai pihak sentral dalam menyeselesaikan seluruh persoalan umat, teermasuk menciptakan lapangan pekerjaan. Para laki-laki dipastikan bekerja semua dan mampu memenuhi kebutuhan tanggungannya. Laki-laki yang tidak mampu bekerja karena lanjut usia atau ada faktor lain yang menyebabkan tidak mampu bekerja, negara akan memenuhi kebutuhannya dan keluarganya.
Demikianlah upaya yang dilakukan dalam sistem Islam untuk mengatasi pengangguran. Dengan begitu akan lahir kesejahteraan bagi semua. Dan ini sudah terbukti selama kurang lebih tiga belas abad lamanya. Tidakkah kita merindukannya?
Wallahu ‘alam bisshowab
Post a Comment