Oleh : Sumiyah Umi Hanifah
Member AMK dan Pendidik Generasi
Dilansir dari laman (republika.co.id, Sabtu, 28/10/2023), Densus 88 menangkap setidaknya 27 orang terduga teroris di tiga wilayah, yakni: Jakarta, Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah. Juru bicara Densus 88 Anti Teror Mabes Polri Komisaris Besar (Kombes) Aswin Siregar, membenarkan adanya peristiwa penangkapan tersebut. Salah satu terduga teroris yang berhasil ditangkap adalah seorang laki-laki berusia 40 tahun, yang ditangkap di rumah kontrakannya, di Kampung Setiajaya, Dusun 1, Dusun Setiadarma, Tambun Selatan, kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Selain itu ada juga seorang pria berusia 30 tahun, barang bukti disita berupa buku-buku, handphone, dan dua buku kuning tipis bertuliskan huruf Arab. Ada pula yang berupa buku-buku yang menurut seorang saksi bentuknya mirip dengan buku tuntunan pelajaran. (republika.co.id, Sabtu, 28/10/2023).
Seorang warga berinisial P, menceritakan kronologis penangkapan tersebut, saat itu dirinya didatangi anggota Binmas Pol setempat, kemudian diajak ke rumah kontrakan salah satu terduga teroris. Petugas menanyakan identitas terduga teroris, lalu menangkap dan menggelandangnya ke Polres setempat. Adapun alasan penangkapan karena tersangka diduga terlibat dengan Jaringan teroris kelompok Anshar Daulah, Jamaah Islamiyyah, dan ISIS. Pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengklaim bahwa penangkapan ini merupakan tindakan preventif mengamankan Pemilihan Umum (Pemilu). Ia mengaku pihak kepolisian telah mendapat imbauan dari salah satu kelompok yang mengatasnamakan dirinya Jaringan Muslim Madani (JMM). Peneliti JMM, KH. Aang Munawar, mengingatkan kepada pihak kepolisian agar waspada terhadap segala bentuk ancaman pemilu, diataranya yaitu radikalisme dan terorisme.
Begitu masifnya tindakan aparat penegak hukum terhadap mereka yang dicurigai sebagai kelompok terduga teroris. Ironisnya, sering kali kita mendengar berita salah tangkap yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap warga masyarakat. Tidak jarang orang yang belum terbukti bersalah, tiba-tiba ditangkap dan ditembak, lalu dijebloskan ke penjara tanpa melalui pendalaman kasus dan proses hukum yang tepat. Perilaku gegabah semacam ini menggambarkan betapa buruk kinerja aparat penegak hukum di negeri ini.
Terlebih istilah "terorisme" itu sendiri masih dimaknai dengan standar ganda, sesuai dengan kepentingan pihak yang berkuasa. Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia konon menjadi negeri yang diincar untuk mendukung Amerika Serikat dalam perang melawan terorisme. Menurut KBBI, arti terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha untuk mencapai tujuan tertentu, seperti tujuan politik dan lain sebagainya. Namun istilah ini kini telah berubah menjadi rancu, sebab banyak aksi terror yang dilakukan oleh pihak tertentu namun pelakunya tidak disebut sebagai teroris. Anehnya lagi, ketika dunia melemparkan isu terkait radikalisme dan terorisme, maka mereka akan langsung mengaitkan dengan Islam dan umatnya. Barat senantiasa menarasikan ajaran Islam jihad fisabilillah dengan sebutan radikal dan teroris. Umat muslim yang dibantai tidak pernah disebut sebagai korban dari aksi teror, tetapi sebaliknya, selalu disebut sebagai tersangka (teroris). Contohnya, serangan brutal Amerika Serikat ke Irak, Afghanistan, atau Suriah yang telah menewaskan jutaan manusia tak berdosa beberapa tahun yang lalu. Bahkan pembantaian massal atau genosida Israel laknatullah terhadap warga Palestina di Gaza, tidak disebut teroris. Namun ketika pelaku adalah non Muslim, maka hanya dianggap penjahat. Demikian pula teror yang dilakukan oleh Operasi Papua Merdeka (OPM) yang jelas-jelas merupakan tindakan separatis, ternyata hanya disebut sebagai kelompok bersenjata, bukan teroris.
Isu radikalisme dan terorisme menjelang pemilu seolah sudah menjadi lagu lama dan basi. Pasalnya, dari tahun ke tahun setiap kali menjelang pemilu tiba, gorengan renyah ini kembali dijajakan. Pertanyaannya, mengapa isu ini tiba-tiba mencuat pada saat solidaritas umat manusia untuk membela Palestina menguat? Ada apa dengan pemerintah kita? Bukankah seharusnya kita bangga dengan aksi solidaritas umat di seluruh dunia?
Sudah dapat dipastikan bahwa gencarnya penangkapan terduga teroris akhir-akhir ini menunjukkan kuatnya program deradikalisasi dan moderasi beragama di negeri ini. Terlebih setelah disahkannya PP No 58 Tahun 2023 Tentang Penguatan Moderasi Beragama. Dengan kata lain, ada pihak-pihak yang ingin menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya. Dalam hal ini kaum kafir Barat tidak henti-hentinya menyebarkan stigma teroris pada kaum Muslim yang berjuang menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi.
Penerapan sistem kapitalisme-liberalisme yang sekuleris membuat umat Islam semakin phobia dengan Islam. Inilah proyek besar kaum kapitalis. Menjauhkan agama dari kehidupan. Tidak jarang mereka menggunakan cara-cara licik dan jahat untuk memerangi Islam, seperti menangkap dan mengkriminalisasi para ulama. Mereka menuduh orang yang taat kepada syari'at Allah dan berjuang untuk kebangkitan Islam sebagai bibit-bibit teroris yang musti diberangus. Sungguh tidak bisa diterima oleh nalar, ketika jihad yang notabene adalah perintah Allah SWT, justru dianggap kriminal.
Firman Allah SWT,
"Dan berjihadlah kamu di jalan Allah, dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutlah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam Alquran ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah salat dan tunaikan zakat, dan berpegang teguhlah kepada Allah. Dialah pelindungmu, Dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. (QS. Al-Hajj [22] : 78)
Demikianlah, akibat propaganda busuk kaum sekuler Barat, kata jihad dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif. Musuh-musuh Islam tidak pernah berhenti mendiskreditkan ajaran Islam dan umatnya. Barat selalu melontarkan tuduhan teroris kepada Islam. Parahnya lagi definisi Barat inilah yang justru dijadikan 'pedoman' oleh pemerintah kita. Seolah-olah ajaran Islam adalah musuh negara yang perlu dicurigai dan disingkirkan. Sejatinya ajaran Islam adalah ajaran mulia, yang apabila diterapkan akan mewujudkan "rahmatan lil'aalamiin", yaitu kebaikan bagi seluruh alam.
Oleh karena itu sudah seharusnya kita kembali mengambil aturan (hukum) yang diturunkan oleh Allah SWT. Sebab, sangat tidak layak bagi manusia menandingi Sang Khaliq, yaitu mengganti hukum Allah (Al-Qur'an dan As-Sunnah) dengan hukum buatan manusia. Dengan kata lain, haram menerapkan hukum (aturan) selain hukum Islam.
Firman Allah SWT,
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang yang meyakini (agamanya). (QS.Al-Maidah [5] : 50)
Wallahua'lam bishawab.
Post a Comment