Member AMK dan Pendidik Generasi
Sembilan belas tahun yang lalu, seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib "dibunuh" di udara, dalam perjalanan menuju Belanda. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 7 September 2004, dimana negeri ini tengah sibuk menyambut Pemilihan Umum (Pemilu) yang kala itu dilakukan secara langsung untuk pertama kalinya. Menurut saksi-saksi di persidangan, almarhum Munir dikabarkan meninggal setelah dibunuh dengan menggunakan racun senyawa arsenik saat dalam penerbangan dengan pesawat Garuda Indonesia GA974.
Proses pengadilan telah beberapa kali dilakukan, namun anehnya hingga 19 tahun berselang, motif dan dalang pembunuhan masih belum ditemukan. Padahal, kasus pembunuhan yang menimpa aktivis HAM ini dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa (ekstra ordinary crimes) atau pelanggaran HAM yang berat (gross violations of human rights), yang pelakunya harus dihukum berat. Hingga kini kematiannya masih terus menjadi misteri.
Lantas, bagaimana tanggung jawab negara akan hal ini?
Ibu Ita Fatia Nadia, seorang Peneliti di Ruang Arsip dan Sejarah (RUAS), mengungkapkan, setelah masuk ke zaman reformasi, negara semestinya terus melakukan pengusutan dan mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran berat di masa lalu. Menurutnya, pemerintah tidak melakukan hal itu, bahkan seolah pemerintah terkesan menutupi fakta sejarah kejahatan kemanusiaan, serta menghindari kewajiban melindungi warga negaranya. Bukan hanya Munir, puluhan kasus lain yang termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat lainnya juga terkatung-katung nasibnya. Diantaranya yaitu Peristiwa Gerakan 30 S PKI (Partai Komunis Indonesia), peristiwa Talangsari, Lampung, tahun 1989, Rumah Geudong dan Pos Sattis di Aceh, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Semanggi 1998, peristiwa Semanggi 2 tahun 1999, pembunuhan dukun santet, peristiwa Wamena, Papua, tahun 2003, dan masih banyak lagi. (voaindonesia.com, Ahad, 10/12/2023)
Menyingkapi fakta ini
Setara Institute bersama International NGO Forum on Indonesia Development (INFID), yang menyebut bahwa skor Index HAM Indonesia 2023 mengalami penurunan 3.2 dari 3.3. Ia menyebut bahwa Presiden Jokowi memiliki kinerja paling buruk dalam melindungi dan memenuhi hak warga atas tanah dan kebebasan berpendapat. Sejak menjabat sebagai presiden di tahun 2019, Jokowi disebut tidak pernah berhasil mencapai skor Index di angka 4. Sementara peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) dilakukan setiap tahun (yakni setiap tanggal 10 Desember), namun kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan penegakan hukum di Indonesia masih belum tampak. (cnnindonesia.com, 10/12/2023).
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), Mahfud MD menepis anggapan miring terkait kinerja pemerintahan Jokowi. Mahfud memastikan penyelesaian kasus HAM berat terus berjalan. Ia mengklaim bahwa Pemerintah telah menanganinya secara serius, yaitu dengan cara non yudisial, misalnya seluruh korban dari pelanggaran HAM berat dipastikan mendapatkan pemulihan dari negara, kompensasi, seperti; pengobatan gratis, pemberian kartu Indonesia sehat, beasiswa dan dukungan dana wirausaha. (lau.ac.id, Ahad, 10/12/2023)
Bagi keluarga korban pelanggaran HAM berat seperti istri mendiang Munir, tentu saja tunjangan semacam ini belumlah cukup. Sebab hal ini terkait dengan nyawa manusia yang tidak bisa ditukar dengan barang, atau apapun di dunia ini. Banyaknya kasus pembunuhan misterius yang hingga kini tidak bisa ditemukan siapa pelaku pembunuhan tersebut, mengindikasikan bahwa negara tidak mampu melindungi hak-hak warga negaranya. Sebagaimana dinyatakan oleh Ita Fatia Nadia yang menyayangkan sikap pemerintahan Jokowi. Iya kecewa karena pemerintah tidak mengategorikan pembunuhan aktivis HAM, Munir, sebagai pelanggaran berat, padahal menurutnya kasus Munir ini secara tidak langsung telah membungkam suara rakyat, menjadi alat teror agar tidak ada lagi pihak-pihak yang berani bersuara, tentang penyalahgunaan kewenangan oleh negara. Seharusnya negara memberitahukan atau mengklarifikasi sejarah atau menulis kembali sejarah tentang pelanggaran HAM berat, agar masyarakat mengetahui fakta sesungguhnya dan bisa dijadikan sebagai program untuk membangun kesadaran bersama.
Inilah yang terjadi, apabila menjadikan HAM sebagai standar dalam menyelesaikan berbagai persoalan umat manusia. Sebab, HAM merupakan produk dari sistem Demokrasi-Kapitalis, yang lahir pada tahun 1947, melalui kesepakatan Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hukum atau aturan-aturan yang diterapkan oleh para pengusung HAM bukan berasal dari wahyu (kitabullah), melainkan berasal dari hawa nafsu manusia itu sendiri. Berbagai kalangan menilai prinsip yang diadopsi oleh HAM adalah prinsip yang salah, karena menjadikan manusia bebas tanpa aturan, sementara fitrah manusia adalah lemah dan terbatas.
Dalam Islam, manusia tidak berhak membuat hukum, tetapi hanya memiliki kewajiban melaksanakan hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Allah SWT, yaitu hukum Islam, baik yang bersumber dari Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma' sahabat, dan qiyas. Penerapan HAM dalam kehidupan akan bertabrakan dengan fitrah manusia dan melawan hukum Allah SWT. Di dunia internasional, keberadaan HAM juga dinilai belum mampu mewujudkan perdamaian dan keamanan dunia.
Lihatlah, saat ini dunia menyaksikan secara langsung, bagaimana rakyat Palestina yang dibantai dan diusir oleh Isr4el laknatullah, sedangkan para aktivis HAM hanya diam seribu bahasa. HAM menjadi mandul ketika berhadapan dengan Amerika Serikat dan sekutunya.
Hal ini disebabkan karena HAM lahir dan didesain hanya untuk berpihak kepada Amerika dan negara-negara sekuler Barat lainnya. Wajar, jika HAM seringkali menabrak kepentingan kelompok-kelompok yang berseberangan dengan prinsip sekuler mereka. Mempercayakan segala persoalan kemanusiaan kepada HAM sepertinya bukan solusi yang tepat. Sebab nantinya kemungkinan akan menambah persoalan baru, yang dapat membahayakan kehidupan.
Islam telah memberikan petunjuk kepada manusia, bahwasanya seluruh persoalan (perkara) hendaknya diselesaikan menurut hukum sarak.
Firman Allah SWT,
"Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka, dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memberdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka, dan sungguh kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (TQS. Al-Maidah [5]: 49).
Dengan melaksanakan kewajiban kita kepada Allah SWT, yaitu tunduk dan patuh kepada hukum Islam, maka keamanan, kesejahteraan, kedamaian, dan keadilan akan terwujud. Dengan kata lain, hak-hak dasar manusia akan terpenuhi, begitu juga terpenuhinya "maqasid syariah" (alasan/landasan bahwa seseorang tidak boleh disakiti, dizalimi), sehingga manusia dapat hidup tenang. Hanya syari'at Islam yang diterapkan secara kaffah yang mampu mengatasi seluruh problematika umat manusia.
Sejarah memberikan bukti ketentraman hidup dalam naungan sistem Islam, yakni dengan menerapkan seluruh aturan (hukum-hukum) Allah di muka bumi.
Wallahu a'lam bishawab.
Post a Comment