Aktivis Dakwah
Tahun 2024 merupakan tahun politik. Seluruh rakyat Indonesia merasakan euforia pesta demokrasi ini tentunya. Namun, faktanya dalam pesta demokrasi ini banyak sekali terjadi kejanggalan–kejanggalan. Salah satunya dalam hal penggelontoran aliran dana pemilu. Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana sebesar 195 Miliar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik/parpol. (media online Cnbcindonesia, 12 Januari 2024).
Aliran dana dari berbagai pihak termasuk aliran dana asing itu begitu fantastis. Menandakan bahwa dalam politik demokrasi itu membutuhkan biaya besar. Lalu ada apa di balik dana besar yang digelontorkan? Rakyat seharusnya bisa menganalisa, karena di sistem kapitalis tidak ada makan siang yang gratis. Pastilah dana–dana itu syarat akan kepentingan, intervensi asing dan bahkan akhirnya menimbulkan konflik kepentingan. Rakyat haruslah waspada terhadap pendanaan ini. Karena akhirnya tergadai sudah kedaulatan negara,dan pemimpin yang terpilih kelak akan lebih mementingkan urusan para pemberi modal dibandingkan urusan umat dan memuluskan agenda–agenda asing.
Jika berkaca dari pengalaman, arah pembangunan saat ini lebih mementingkan kepentingan asing dan para pemilik modal dibandingkan kepentingan rakyat. Proyek kereta cepat, Proyek Rempang Eco City, dan proyek lainnya. Ditambah dengan pengukuhan Undang–Undang Minerba yang makin liberal. Sehingga kekayaan alam habis dikeruk oleh pihak swasta pribumi, asing dan aseng. Lalu kemanakah para penguasa dan parpolnya? Mereka kehilangan power dan idealismenya karena harus berhutang budi kepada para penyokong dana yang membuat mereka menjadi para penguasa. Begitulah pemilu di kancah demokrasi kapitalisme yang hanya akan melahirkan para penguasa oligarki.
Lalu bagaimana pemilu dalam Sisten Islam?
Pemilu dalam Sistem Islam bukanlah cara yang mutlak dalam mengangkat seorang pemimpin tapi hanya sebagai uslub jika diperlukan. Seorang pemimpin (khalifah) diangkat atau baiat syar’i oleh umat. Imam An–Nawawi dalam kitab Nihayah Al-Muhtiy Ila Syarh Al Minhaj (VII/390) telah berkata “Akad Imammah atau khilafah sah dengan adanya baiat atau lebih tepatnya baiat dari Ahlul Halli Wal’ Aqdi yang mudah untuk dikumpulkan.” Hal itu pernah dilakukan ketika pengangkatan Ustman sebagai seorang khalifah. Pada saat itu ada 6 orang yang dicalonkan untuk menggantikan khalifah Umar. Dilakukanlah pemilihan (ikhtiar) dengan jalan pemilu (intikhab) dan terpilihlah Ustman bin Affan sebagai seorang khalifah, lalu umat membaiat dengan bait in iqad kepada calon khalifah dan bait taat oleh umat secara umum sebagai bentuk ketaatan umat kepada khalifah. Begitulah proses pemilihan seorang pemimpin dalam Islam. Mudah, cepat dan hemat tanpa berdasarkan kepentingan siapa pun. Seorang khalifah pun harus memenuhi syarat–syarat diantaranya muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu mengamban tugas–tugas kekhilafahan. Tugas seorang pemimpin dalam Islam adalah bagaimana bisa menegakkan hukum Allah dimuka bumi. Bukan hukum yang berdasarkan kepentingan dan pesanan seperti termaktub dalam Quran Surat Al–Maidah ayat 48 dan 49. “……….hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka.
Wallahualam bissawab
Post a Comment