Di bulan Desember selain booming harbolnas 12:12 biasanya booming juga istilah toleransi. Iya nggak sih?
Mereka yang belum faham makna toleransi dalam pandangan Islam, akan melabeli "Nggak toleran" kepada Muslim yang tidak mengucapkan selamat di hari perayaan agama Nasrani tanggal 25 Desember, Natal yang satu paket dengan tahun baru Masehi.
Millenial kadang keblinger soal ini. Merasa sudah menjadi millenial paling toleran dengan memberi ucapan selamat pada teman yang merayakan Natal. Padahal salah kaprah! Di sinilah pentingnya memiliki pemahaman Islam agar cerdas dalam bersikap dan bertindak. Yang cerdas biasanya tidak gampang terbawa arus. Karena sudah punya bekal pemahaman.
Millenial mungkin pernah mendengar celetukan begini, "Ya elaa...cuma ngucapin selamat Natal doank ko dipermasalahkan! Nggak bakal ngurangin keimanan kita kok."
Ucapan seperti itu hanya akan diucapkan oleh orang yang belum memiliki pemahaman. Oleh sebab itu, harus diluruskan terlebih dahulu persepsi tentang agama Islam yang kita yakini. Bahwa agama Islam adalah satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah Subhanahu Wata'ala. Hanya Islam yang memiliki aturan kehidupan terlengkap, sempurna dan paripurna. Saking lengkapnya aturan Islam, masalah seperti ini pun tak luput dari aturan-Nya.
Mengucapkan selamat Natal sama saja dengan mendoakan sekaligus membenarkan perayaan orang yang diberi selamat. Padahal kita, sebagai muslim harusnya tahu bahwa perayaan Natal adalah peringatan kelahiran anak Tuhan dan Tuhan anak. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan perayaan atas kesyirikan (menyekutukan Allah SWT).
Itu sebabnya, haram bagi umat Islam memberikan dukungan pada mereka yang menyekutukan Allah SWT. Allah sendiri telah menjelaskan secara langsung dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 72-75.
"Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. (TQS Al-Maidah [5]: 72)
Dan seterusnya hingga ayat ke 75.
Lalu bagaimana dengan hubungan sosial kita dengan mereka yang tidak seakidah? Ya jelas boleh. Silahkan bertetangga, berteman, dan bermuamalah. Perlakukan mereka dengan sebaik-baiknya selama aktivitas sosial dengan mereka tidak menyangkut perkara akidah.
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam memberikan teladan kepada kita agar rukun dan saling menghormati meskipun berbeda keyakinan, namun tegas saat menyangkut perkara akidah.
Imam al-Qurthubi di dalam Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (20/225) mengungkapkan: Ketika masih di Makkah, suatu ketika beberapa tokoh kafir Quraisy menemui Nabi saw. Mereka adalah Al-Walid bin Mughirah, Al-‘Ash bin Wail, Al-Aswad Ibnu al-Muthallib dan Umayyah bin Khalaf. Mereka menawarkan toleransi kepada beliau, “Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (kaum Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Jika ada sebagian ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan mengamalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada sebagian ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” Kemudian turunlah Surat al-Kafirun [109] ayat 1-6 yang menolak keras toleransi kebablasan semacam ini. Buletin Kaffah (18/12/2020).
Toleransi dalam pandangan Islam adalah membiarkan umat agama lain menjalankan ritual agamanya, termasuk perayaan agama yang diyakininya. Kita sebagai umat Islam cukup dengan membiarkan dan tidak mengganggu.
So, bagi muslim baik generasi Panji Manusia Millenium maupun generasi millenial, jelas ya bagaimana harus bersikap saat tetangga, sahabat bahkan saudara merayakan Natal. Tidak perlu mengucapkan selamat, cukup dengan membiarkan dan tidak mengganggu. Millenial yang cerdas adalah yang tahu batasan, bukan yang latah.
Wallahu a'lam bishowab...
Post a Comment