Oleh Atik Sukarti
Pemerhati Lingkungan Hidup
Melihat berbagai pemberitaan terkait banjir yang melanda sejumlah daerah di Indonesia seperti Kalimantan, Jember, dan Semarang, sungguh sangat memprihatikan. Tentunya tak sekedar kerugian material, namun juga mengakibatkan terancamnya nyawa manusia serta dampak psikologis bagi warga sekitar yang menjadi korban bencana. Banjir yang melanda daerah-daerah tersebut hampir setiap tahun terjadi dan tidak ada tindakan penyelesaian yang tepat.
Badan Meteorologi klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan siklus hujan lebat 50 tahunan dan intensitas curah hujan yang tinggi selama bulan Februari, mengakibatkan meluapnya Kali Baringin Mangkang dan Kali Plumbon di daerah Kaligawe.
Gubernur Jawa tengah, Ganjar Pranowo mengatakan bahwa penyebab banjir di kota Semarang adalah masalah administrasi yang mengakibatkan sejumlah pompa penyedot banjir tidak berfungsi secara optimal. Hanya satu di antara tiga pompa yang dioperasikan oleh petugas. Dua pompa yang lainnya tidak bisa difungsikan karena pengoperasiannya masih dalam ranah kementerian PUPR dan belum diserahkan kepada Pemkot Semarang (CNNIndonesia.com, 7/2/2021)
Sementara itu banjir juga melanda kabupaten Jember. Kurang lebih 13 desa dan kelurahan yang tersebar di tujuh kecamatan di Kabupaten Jember yaitu kecamatan Jelbuk, Kalisat, Pakusari, Patrang, Kaliwates, Sumbersari, dan Rambipuji terendam banjir akibat luapan sungai Bedadung. Menurut data Pusat Pengendalian Operasional (pusdalop) BPBD Jember hingga 18 Januari 2021 tercatat bencana banjir dan tanah longsor berdampak pada 4.178 kepala keluarga. Tidak hanya itu, 12 fasilitas pendidikan, 3 fasilitas umum, dan 42 hektare lahan ikut terendam banjir.
Banjir terjadi bukan hanya disebabkan oleh masalah administrasi, tapi problem mendasar terletak pada orientasi pembangunan yang tidak memprioritaskan keselamatan rakyat. Menurut ahli hidrologi Universitas Gajah Mada, Pramono Hadi, banjir di kota Semarang terjadi karena penurunan muka tanah dan diperlukan revisi tata ruang terkait air. Juga diperlukan sistem polder dan tanggul yang terintegrasi dengan baik, memiliki sistem klep atau pintu otomatis sehingga banjir bisa dikendalikan.
Sedangkan menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, banjir disebabkan oleh tata ruang kota yang kurang baik. Orientasi infrastruktur penampung air yang tidak berimbang dengan laju pembangunan. Bukan hanya karena curah hujan atau cuaca ekstrem saja, namun tingkah laku manusia yang eksploitatif berperan aktif mendukung terjadinya bencana banjir.
Begitu juga dengan Banjir di kabupaten Jember, 65 persen Daerah Aliran Sungai Bedadung berada dalam kondisi kritis, akibat dari penebangan hutan dan alih fungsi lahan yang masif terutama di daerah hulu. Daerah yang seharusnya menjadi daerah resapan air, mayoritas ditanami sengon dan dibangun pemukiman warga. Akibatnya area hutan pun berkurang, sehingga tidak mampu menampung curah hujan.
Mirisnya, penanganan bencana oleh pemerintah daerah setempat dinilai kurang maksimal. Pemerintah tak sigap dalam membantu korban bencana banjir. Bantuan logistik tidak terdistribusi dengan baik, apalagi dengan minimnya APBD Jember pada tahun 2021. Pemda setempat pun dinilai abai dan tidak dapat berbuat banyak. Hal ini menunjukkan betapa lambannya pemerintah mengatasi bencana banjir yang melanda. Sehingga nasib para korban pun semakin terlunta-lunta.
Pembangunan yang eksploitatif dan tidak memprioritaskan penyelesaian masalah bencana setiap tahunnya adalah bukti dari fasadnya sistem yang berlaku saat ini. Pembangunan justru diarahkan pada sektor pariwisata dengan anggaran yang tidak sedikit. Sejumlah kebijakan terkait mitigasi penanggulangan banjir pun tidak direalisasikan secara optimal, apalagi jika hal itu menghalangi kepentingan para kapitalis.
Demikianlah, dalam sistem demokrasi-kapitalisme mengharuskan adanya persekongkolan antara penguasa dengan pengusaha kapital. Sehingga dengan mudah Sumber Daya Alam (SDA) lepas dari tangan negara. Padahal dalam Islam Sumber Daya Alam (SDA) tidak boleh dimiliki secara individu atau golongan juga tidak boleh diperjualbelikan. Karena Sumber Daya Alam (SDA) adalah milik rakyat. Kewajiban negara hanya mengelola, hasilnya harus diberikan kepada rakyat.
Namun, begitulah paradigma kapitalisme yang memberikan hak kepemilikan umum sebebas-bebasnya kepada swasta. Tentu ketika swasta yang mengelola Sumber Daya Alam (SDA) yang diutamakan profit oriented yaitu menghasilkan profit sebesar-besarnya dengan modal sekecil mungkin tanpa memperhatikan kerusakan ekologi, kelestarian alam, dan dampaknya bagi keselamatan manusia.
Dalam pandangan Islam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) akan jauh berbeda dibandingkan dalam kapitalisme, seperti pengelolaan hutan. Hutan yang merupakan aset kepemilikan umum atau milkiyah 'ammah, dan bukan merupakan kepemilikan individu. Hasil pengelolaan hutan oleh negara, akan dimasukkan ke dalam baitulmal, selanjutnya didistribusikan untuk kepentingan rakyat.
Negara tidak boleh menyerahkan hak kepemilikan hutan kepada individu maupun korporasi. Namun Negara juga tidak melarang jika individu ingin memanfaatkan hutan dalam skala kecil seperti mengambil ranting, menebang pohon dalam skala kecil, mengambil madu hutan, rotan, mengambil buah-buahan, serta mengambil air untuk kepentingan bersama. Tanpa ada keinginan menguasai secara individu.
Negara akan melakukan pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan hutan. Masyarakat dapat ikut serta memanfaatkan hutan dengan catatan tidak merusak lingkungan, karena hutan adalah aset kepemilikan bersama. Negara juga akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait pembangunan pemukiman di sekitar hutan. Tentu saja harus memperhatikan variabel-variabel drainase, daerah resapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik dan topografinya. Dengan cara ini negara turut andil dalam pencegahan bencana banjir.
Seperti apa yang dilakukan oleh Khalifah Abdurrahman Ad-Dhakil di Cordoba Spanyol. Dia menciptakan peradaban yang megah, membangun kota menjadi lebih indah, dengan jalan pemukiman yang tidak terlalu lebar. Jalan dibuat berkelok-kelok mengikuti kontur alam berdasarkan topografi tanah sehingga sistem drainase berjalan dengan baik ketika hujan turun. Bahkan manfaat dari pembangunan kota tersebut masih dapat dirasakan hingga sekarang.
Dalam sistem Islam, negara akan memetakan kawasan untuk melakukan tindakan preventif terhadap bencana banjir. Untuk daerah yang memiliki daya tampung rendah terhadap curah hujan, rob, atau gletser, maka akan dibangun kanal atau bendungan yang dapat menampung curahan air dari sungai, hujan, dan lain sebagainya. Seperti bendungan Shadravan, kanal Darian, dan bendungan Jareh di khuzestan Iran Selatan. Bendungan tersebut dibangun untuk mengatasi banjir dan keperluan irigasi.
Khilafah juga akan memetakan daerah dataran rendah yang rawan genangan air. Dengan mengeluarkan kebijakan untuk melarang masyarakat membangun pemukiman di daerah tersebut. Jika mendapati sebuah pemukiman penduduk yang biasanya aman dari banjir, kemudian daerah tersebut mengalami penurunan muka tanah sehingga tergenang air, maka khilafah akan mengatasinya semaksimal mungkin. Jika tidak memungkinkan, maka khilafah akan mengevakuasi penduduk ke daerah yang lebih aman dengan memberikan ganti rugi atau kompensasi.
Khilafah juga akan bergerak cepat dalam membantu korban bencana. Membentuk sebuah badan khusus untuk penanganan bencana yang dilengkapi dengan alat-alat berat, mengerahkan tenaga relawan disertai tenda, penyediaan logistik dan obat-obatan.
Tentu saja khilafah tidak akan mengalami kendala mengenai pendanaan, karena sistem keuangan dalam negara Islam berbasis pada baitulmal sehingga memiliki pondasi keuangan yang kuat lagi stabil. Dengan demikian negara tidak akan berfikir berulang kali untuk merealisasikan kebijakan penanggulangan bencana.
Negara juga mempersiapkan daerah-daerah tertentu untuk dibentuk cagar alam atau kawasan hutan lindung yang tidak boleh dijamah manusia kecuali atas izin negara. Sosialisasi tentang pentingnya kebersihan lingkungan dan kewajiban memelihara lingkungan juga pemberian sanksi bagi pelaku pencemaran lingkungan.
Begitulah sistem khilafah Islamiyah memberikan perlindungan yang terbaik bagi umat, karena negara akan memprioritaskan nyawa manusia dalam membuat setiap kebijakan. Khilafah akan menyejahterakan umat dengan periayahan yang terbaik.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment