Oleh: Ummu Aidan (Aktivis Muslimah Kota Cilegon)
Drama pelarangan busana muslimah (kerudung) menemukan momentumnya kembali. Di tahun 80-an hal semacam ini pernah terjadi. Namun seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pemahaman serta wawasan keislaman masyarakat Indonesia, perlahan namun pasti busana muslimah akhirnya diperbolehkan dikenakan bahkan menjadi seragam resmi di sekolah.
Tahun 2019 lalu, polemik yang mirip muncul kembali, yakni pelarangan menggunakan celana cingkrang dan cadar bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan alasan mencegah adanya faham radikalisme.
Saat ini, masyarakat Indonesia dihebohkan lagi dengan berita yang terkesan memblow up perbedaan antar agama yang sebenarnya sah-sah saja. Yakni perbedaan dalam berbusana. Dalam berita dikatakan bahwa seorang wali murid (non muslim), merasa terganggu/dipaksa dengan aturan sekolah yang mengharuskan anaknya menggunakan kerudung.
Terkait hal tersebut, Kepala Sekolah SMK Negeri 2 Padang telah mengklarifikasi bahwa tidak ada pemaksaan seperti yang diblow up media. Dilansir dari News.detik.com (23/01/2021), "Tidak ada memaksa anak-anak. (Di luar aturan sekolah), memakai pakaian seperti itu adalah juga keinginan anak-anak itu sendiri. Kami pernah menanyakan, nyaman nggak memakainya. Anak-anak menjawab nyaman, karena semuanya memakai pakaian yang sama di sekolah ini, tidak ada yang berbeda. Bahkan, dalam kegiatan-kegiatan keagamaan (Islam) yang kami adakan, anak-anak nonmuslim juga datang, walaupun sudah kami dispensasi untuk tidak datang. Artinya, nyaman anak-anak selama ini," jelas Rusmadi.
Blow up media yang berlebihan dan tidak sesuai dengan keterangan pihak sekolah, patut diduga ada unsur kesengajaan pihak-pihak tertentu yang memperuncing masalah dan menimbulkan perang asimetris.
Selanjutnya, hasil dari gorengan polemik tersebut melahirkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri berisi enam poin:
1. Keputusan bersama ini mengatur sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda)
2. Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara:
seragam dan atribut tanpa kekhususan agama
“Hak untuk memakai atribut keagamaan adanya di individu. Individu itu adalah guru, murid, dan tentunya orang tua, bukan keputusan sekolah negeri tersebut,” ujar Mendikbud Nadiem.
3. Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama
4. Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak keputusan bersama ini ditetapkan. Dan seterusnya hingga poin ke-6. (Kompas.com)
Jika dicermati dengan seksama, alasan pemberian hak kepada individu khususnya siswa dalam memakai atribut keagamaan, justru bertentangan dengan tujuan pendidikan untuk mencipta insan bertakwa. Alasannya karena siswa masih membutuhkan bimbingan. Salah satu bimbingan ini dapat diwujudkan dari adanya aturan. Jika aturan untuk menutup aurat yang telah diwajibkan oleh agama Islam, diserahkan kepada individu. Alih-alih mendidik siswa untuk menaati agama, malah mendorong kebebasan berperilaku.
Selain itu, SKB ini hanya menegaskan kepada masyarakat bahwa rezim sekuler fobia terhadap syariah. Bukankah menutup aurat bagi wanita muslim adalah kewajiban? Mengapa diserahkan kepada individu?
Selain itu, wajar jika rakyat mempertanyakan urgensi dari SKB ini di tengah kondisi pandemi. Apa lagi kegiatan belajar mengajar sampai sekarang masih daring. Bukankah masih banyak hal yang lebih penting diurus? Memikirkan cara keluar dari pandemi tanpa utang misalnya. Atau memikirkan cara agar resesi bisa teratasi dengan baik.
Walhasil SKB 3 Menteri ini hanya akan menyuburkan individu-individu yang memuja kebebasan. Padahal hal tersebut sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam Islam, memakai jilbab (menutup aurat) bagi wanita yang telah baligh merupakan kewajiban yang mutlak. Mereka tidak diberi kebebasan untuk membuka aurat. Sebab membuka aurat dapat memeri jalan adanya kemaksiatan serta menimbulkan bahaya baik bagi wanita maupun laki-laki.
Allah SWT sebagai zat yang Maha mengetahui, memberikan aturan tersebut untuk kemaslahatan seluruh manusia, bukan hanya untuk Muslim. Islam sebagai rahmatan lil 'aalamin bermakna rahmat-Nya berlaku untuk Muslim juga non-muslim, bahkan berlaku untuk hewan, tumbuhan, dan lain-lain.
Aturan menutup aurat semata-mata untuk menyelamatkan umat manusia dari berbagai fitnah yang dapat ditimbulkan oleh adanya syahwat, yang bisa bangkit karena melihat aurat. Potensi munculnya syahwat ini bukan hanya dimiliki muslim, tapi semua manusia apapun agamanya dan Islam menutup celah tersebut dengan aturan menutup aurat. Aturan Islam jika diterapkan akan menyelamatkan semuanya. Hanya saja aturan ini butuh institusi agar bisa diterapkan. Institusi tersebut bernama khilafah Islam. (11/02/2021)
Wallahu a'lam bishowab...
Post a Comment