Oleh: Novita Tristyaningsih
"Tindakan illegal mengambil hak publik atau menyalahgunakan kepercayaan publik untuk kepentingan pribadi maupun kelompok".
Praktik korupsi bukan hal baru untuk diperbincangkan. Di negeri ini sekian banyak praktik korupsi yang menjerat individu tertentu. Diduga benih-benih koruptor senantiasa ada dan meningkat seiring berjalannya waktu. Upaya-upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun belum ada hasil yang berarti.
Sekian banyak praktik korupsi di negeri ini, terbaru menimpa Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Nurdin Abdullah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sabtu dini hari lalu. Penangkapan orang nomor satu di Sulsel atas kasus dugaan suap itu cukup mengejutkan. Pasalnya, Nurdin Abdullah selama ini dikenal sebagai salah satu pemimpin yang bersih dan berintegritas. Bahkan mantan Bupati Bantaeng dua periode itu juga pernah dianugerahi penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) pada 2017 lalu. (liputan6, 02/03/21).
Di level ASEAN, Indonesia berada di peringkat lima. Berada di bawah Singapura yang memperoleh skor IPK 85, Brunei Darussalam (60), Malaysia (51) dan Timor Leste (40). Dalam laporan TII, salah satu indikator penegakan hukum naik. Namun, pada perbaikan layanan/ birokrasi dengan hubungannya terhadap korupsi stagnan. Selain itu, indikator terkait politik dan demokrasi (pemilu) mengalami penurunan skor. Hal ini berarti sektor politik masih rentan terhadap kejahatan korupsi. (cnnindonesia, 28/01/21).
Di saat yang sama, angka kemiskinan meningkat namun di sisi lain angka praktik korupsi diduga rentan terjadi. Hal itu sungguh menyakitkan bagi rakyat. Tentu rakyat berharap ada perubahan yang lebih baik. Negara diharapkan mampu memberantas korupsi hingga ke akar serta negara lebih peduli dengan nasib rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang memperhatikan kehidupan rakyat. Akankah hal itu mampu terwujud? Sesungguhnya apa akar masalah praktik korupsi sepertinya sulit untuk diberantas?
Akar Masalah Praktik Korupsi
Saat ini kita berada dalam sistem Kapitalisme. Sistem yang dikendalikan oleh para kapitalis (pemilik modal). Dalam sistem ini, penguasa negara hanya sebagai regulator (pengatur) saja. Para kapitalis lekat kaitannya dengan investasi. Dalam sistem ini, perkembangan ekonomi dinilai seberapa banyak para pemodal yang berinvestasi, baik dalam hal pembangunan infrastruktur.
Penguasa dalam sistem Kapitalisme memudahkan para investor dengan menyediakan fasilitas seperti menggelar karpet merah perizinan. Sedangkan para investor yang membutuhkan fasilitas akan menyediakan dana yang memadai sehingga terjadi praktik mutualisme di antara mereka. Hal ini diduga salah satu faktor kuatnya celah praktik korupsi suap yang terjadi di kalangan pejabat negara.
Praktik suap diduga tidak hanya terjadi di kalangan atas, tetapi hingga ke tatanan bawah. Bak kata praktik korupsi berjamaah. Maka hal ini merupakan masalah yang terjadi secara sistematis. Maka penyelesaiannya pun tidak akan mampu jika diberikan solusi seadanya. Perlu penanganan yang optimal dan sistemik.
Praktik korupsi sistematis ini tidak akan terjadi jika orang-orang di dalamnya adalah orang-orang yang bertaqwa kepada Allah Swt. Orang yang bertaqwa pasti akan menjaga amanah karena menyadari bahwa Allah Swt maha melihat sekecil apapun itu sehingga tertancap kokoh bahwa standar hidupnya sesuai dengan perintah dan larangan Allah Swt.
Di samping itu, sistem Kapitalisme yang dipakai sekarang membuka peluang manusia untuk melakukan praktik korupsi. Karena ide-ide yang ada di dalam Kapitalisme merupakan hasil pemikiran manusia yang sifatnya lemah dan terbatas bukan berasal dari Allah Swt yang maha mengetahui segala sesuatu. Standar hidup Kapitalisme bukan keimanan tetapi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya untuk kepuasan dan kebahagiaan menurut mereka. Maka wajar benih-benih koruptor senantiasa bermekaran sepanjang masa karena solusi tidak relevan dengan permasalahan.
Khilafah Memberantas Korupsi
Menurut Syekh Taqiyuddin An Nabhani, Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslimin secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Dengan demikian pemerintahan Khilafah dalam menjalankan roda pemerintahan Islam berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. (Taqiyuddin an Nabhani, al Syakhshiyah al Islamiyah Juz II, Beirut, Libanon: Dar al Ummah, 2003. hlm 13).
Adapun aturan yang diterapkan dalam Khilafah Islamiyyah, untuk mencegah korupsi/ kecurangan/ suap adalah sebagai berikut:
Pertama, Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan. Ditambah lagi keimanan yang kokoh akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah. Firman Allah surat Al Fajr ayat 14 yang artinya, “Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi”.
Kedua, gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Negara Khilafah memberikan gaji yang cukup kepada pejabat/pegawainya, gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier. Di samping itu, dalam pemerintahan Islam biaya hidup murah karena politik ekonomi negara menjamin terpenuhinya kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan kolektif, akan digratiskan oleh pemerintah seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, jalan dan birokrasi. Sedangkan kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan dan papan bisa diperoleh dengan harga yang murah. (Abdurrahman al Maliki, Politik Ekonomi Islam, Bangil: Al Izzah, 2001).
Ketiga, ketakwaan individu. Dalam pengangkatan pejabat/ pegawai Negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Karenanya mereka memiliki self control yang kuat. Sebagai seorang Muslim akan menganggap bahwa jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan benar, karena akan dimintai pertanggung jawaban di dunia dan akhirat. Dengan demikian seorang Muslim akan menjadikan amanah/jabatannya itu sebagai bekal masuk surga. Firman Allah surat Alhasyr ayat 18, "(Hai orang-orang yang beriman) kepada Muhammad SAW dan Alquran, (bertakwalah) takutlah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan (apa yang telah diperbuatnya) pahala/kebaikan (untuk hari esok-akhirat) apa yang dikerjakan untuk hari kiamat, maka engkau akan menemui pada hari kiamat apa yang kau kerjakan di dunia. Jika kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan dibalas dengan keburukan)); (Dan bertakwalah kepada Allah) takutlah kepada Allah apa yang kau kerjakan, (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan) baik kebaikan maupun keburukan".( Ibn Abbas, Tanwir Miqbas Juz II, hlm78).
Keempat, amanah. Dalam pemerintahan Islam setiap pejabat/pegawai wajib memenuhi syarat amanah. Yaitu wajib melaksanakan seluruh tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Firman Allah surat Almukminun ayat 8, "Dan sungguh beruntung orang-orang yang memelihara amanat-amanat (melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan janjinya (menepati janjinya baik kepada Allah maupun kepada manusia). (Ibn Abbas Tanwir Miqbas, Tafsir surat Almukminun ayat 8)
Rasulullah pernah menyita harta yang dikorupsi pegawainya. “Nabi pernah mempekerjakan Ibn Atabiyyah, sebagai pengumpul zakat. Setelah selesai melaksanakan tugasnya Ibn Atabiyyah datang kepada Rasulullah seraya berkata: “Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta ini adalah yang diberikan orang kepadaku…lalu Rasulullah bersabda: Seorang pegawai yang kami pekerjakan, kemudian dia datang dan berkata: “Ini kuserahkan kepadamu, sedangkan harta ini adalah yang diberikan orang kepadaku. Apakah tidak lebih baik dia duduk (saja) di rumah bapak/ibunya, kemudian dapat mengetahui apakah dia diberi hadiah atau tidak. Demi Dzat yang nyawaku ada di tanganNya, salah seorang dari kalian tidak akan mendapatkan sedikitpun dari hadiah itu, kecuali pada hari kiamat dia akan datang dengan membawa unta di lehernya…(HR. Bukhari-Muslim, Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm. 119).
Inilah cara yang dilakukan oleh Khilafah Islam untuk membuat jera pelaku korupsi/suap/kecurangan dan mencegah yang lain berbuat. Berdasarkan laporan bahwa ada kecurangan, Khalifah Umar kemudian membagi kekayaan Abu Hurairah (Gubenur Bahrain), Amru bin Ash (Gubenur Mesir), Nu’man bin Adi (Gubenur Mesan), Nafi’ bin Amr al-Khuzai (Gubenur Makkah), dan lain-lain. Pada zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik kepentingan. Khalifah Umar juga pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah-saat itu menjadi gubernur Syam.( Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123).
Wallahu'alam bisshowab.
Post a Comment