Oleh Rita Handayani
Opinion Maker dan Pemerhati Publik
Jagat sosmed dihebohkan oleh tulisan seorang yang mengaku kiai, namun berpandangan nyeleneh. Mengatakan "perempuan haid boleh puasa, karena tidak ada larangan di dalam Al-Qur'an maupun hadis." ia juga mengatakan bahwa "syarat puasa itu mampu bukan suci." (detik.com, 3/5/2021)
Sontak, hal tersebut langsung viral dan menuai kontroversi. Meski, tulisan tersebut telah dihapus oleh penulisnya di akun Imam Nakha'i di FB. Namun, narasi tersebut sudah terlanjur menyebar, seperti berada di situs mubadalah.id dan sudah di lihat 1,6 ribu kali, juga disebarluaskan oleh akun feminis di Instagram.
Hal tersebut, membuat Wakil ketua MUI Anwar Abas pun angkat bicara dan menjelaskan terkait dua hadis yang menjadi rujukan wanita haid haram berpuasa.
“Kami pernah kedatangan hal itu (haid), maka kami diperintahkan meng-qada puasa dan tidak diperintahkan meg-qada salat.” (HR Muslim).
Dan hadis, “Bukankah wanita itu jika sedang haid, tidak salat dan tidak berpuasa? Mereka menjawab, Ya.” (HR Bukhari).
Ia melanjutkan bahwa “Para ulama sudah sepakat bahwa wanita yang haid tidak sah puasa. Masalah puasa ini adalah masalah ta'abbudi (ibadah) bukan masalah ta'aqquli (rasional) jadi harus ada dasar syar'iyyan-nya. Dan di antara dasarnya adalah 2 hadis di atas.”
“Hukum dasar ibadah itu haram kecuali kalau ada dalil yang membolehkannya. Jadi kita tidak boleh pakai rasio dan atau logika dalam menghadapinya. Tapi harus dasarkan ibadah kita pada dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur'an dan assunah,” (detik.com, 3/5/2021)
Buah Sekularisme-Liberal
Padahal jelas, sudah diketahui bahwa syarat wajib dan syarat sah puasa Ramadan, adalah beragama Islam, berakal sehat atau tidak gila, baligh, mampu, suci dari haid dan nifas, mengetahui awal Ramadan.
Namun, kenapa bisa terjadi, seorang yang dipandang Kiai, mengungkapkan paham terkait syariat yang menyesatkan? Ya, di sistem Sekularisme-Liberal saat ini yang tidak ada penjagaan terkait akidah umat oleh negara. Menyuburkan paham-paham menyimpang yang menyesatkan akidah umat.
Hal tersebut menjadi hal yang dibiarkan, tidak mendapatkan sanksi tegas. Membuat mereka tidak jera, sehingga tumbuh subur para pencela dan pelecehan terhadap syariat Islam baik dari kalangan kafir maupun yang mengaku muslim sendiri.
Inilah ironi hidup di alam yang menjadikan kompromi pendapat mayoritas manusia menjadi sumber hukum negara (demokrasi). Juga dengan dikukuhkannya sekularisme (ditolaknya aturan Allah Swt untuk mengatur kehidupan manusia). Menjadikan liberalisme menguasai panggung kehidupan manusia, membuat beragama dan berpendapat diberikan kebebasan yang melampaui batas sehingga mengakibatkan negara demokrasi tidak bisa ikut campur dalam ranah tersebut.
Wajar, akhirnya lahir banyak perusak akidah. Baik, agama-agama baru yang menyesatkan, pandangan-pandangan yang nyeleneh dan mengoyak syariat Islam, menafsirkan dalil-dalil sesuai dengan akal dan nafsunya, dan perbuatan tercela lainnya.
Negara Pelindung Agama
Negara memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga agama dan akidah umat. Namun, hal ini tidak akan bisa terwujud dalam sistem demokrasi saat ini.
Sehingga sistem Islam perlu untuk kembali diterapkan agar peran negara kembali menyala, untuk mewujudkan penjagaan agama dan akidah warga negara. Karena negara bersistem Islam adalah junnah (perisai) bagi agama dan akidah umat.
Rasulullah saw, bersabda: “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad)
Lafaz “al-imamu junnah” adalah perumpamaan sebagai bentuk pujian terhadap imam yang memiliki tugas mulia untuk melindungi orang-orang yang ada di bawah kekuasaannya, termasuk melindungi agama dan iman mereka.
Tentu hal tersebut harus diiringi dengan sanksi yang tegas, sebagai sebuah manifestasi agar aturan bisa berjalan dengan baik. Karena aturan dan hukum bagai dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Hukum dalam Islam akan berfungsi sebagai zawabir (penebus siksa akhirat) dan jawazir (pembuat jera). Sehingga para pelaku maksiat tidak akan mengulangi perbuatan maksiatnya, dan masyarakat umum tidak akan mengikuti jejak kemaksiatan orang yang terkena hukuman.
Kemaksiatan dalam Islam adalah segala perbuatan yang melanggar hukum syara. Termasuk di dalamnya para pencela agama baik kafir maupun yang mengaku muslim. Harus mendapatkan sanksi agar tidak mengulangi kesalahan yang sama, dan tidak diikuti oleh masyarakat lain atau orang-orang yang membenci Islam.
Pelecehan terhadap syariat Islam seperti kasus di atas adalah termasuk ke dalam kasus hukuman ta'zir. Ta'zir adalah hukuman kemaksiatan yang bentuk sanksinya tidak ditetapkan secara spesifik oleh hukum syara. Sehingga pelakunya mendapatkan sanksi sesuai dengan keputusan hakim. Pidananya boleh sama dengan sanksi dalam hudûd dan jinâyat atau lebih rendah, sesuai dengan tingkat kemaksiatannya.
Bentuk kejahatan yang termasuk dalam ta’zir adalah: pelanggaran terhadap kehormatan (seperti perbuatan cabul), pelanggaran terhadap harga diri, perbuatan yang membahayakan akal, pelanggaran terhadap harta seperti (penipuan, penghianatan amanah harta, penipuan dalam muamalat, pinjam tanpa ijin), gangguan keamanan, mengganggu keamanan negara, perbuatan yang berhubungan dengan agama, dan jenis ta’zir lainnya. (Abdurahman Al-Maliki, kitab Nizham Al-Uqubat)
“… Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha [20]: 123—124)
Dengan penerapan hukum Islam, maka kasus pelecehan terhadap syariat Islam tidak akan terjadi berulang kali. Ini perlu negara sebagai institusi yang ampu mengeksekusi aturan yang berasal dari Allah Swt. Dan hanya negara yang bersyariat Islam secara kafahlah yang mampu mewujudkannya.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment