Oleh : Rita Handayani Penulis dan Pemerhati Publik
Utang merupakan perbuatan mubah yang harus diperhatikan rentetannya. Jika diikuti dengan perkara-perkara pelanggaran hukum syara seperti riba dan penuh syarat-syarat khusus. Maka hukum berutang menjadi haram. Sebagaimana Allah Swt, berfirman:
ۗ ÙˆَØ£َØَÙ„َّ اللَّÙ‡ُ الْبَÙŠْعَ ÙˆَØَرَّÙ…َ الرِّبَا ۚ
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS.Al-Baqarah [2]: 275)
Menelaah, Utang Menjadi Sumber Pemasukan
Utang saat ini menjadi tren global sebagai alternatif termudah untuk mendapatkan pendanaan, hingga pemasukan kas negara. Indonesia adalah salah satu negara yang menjadikan utang sebagai sumber untuk kas negara.
Dengan dalih demi pembangunan, mengurusi rakyat dan kemaslahatan rakyat, utang bertumpuk hingga melebihi batas kemampuan negara dalam membayarnya. Tentu hal ini yang akan terjadi bukan kebaikan seperti yang diharapkan pemerintah untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya yang terjadi adalah membahayakan rakyat dan negaranya. Bahaya secara dunia hingga akhirat. Bahaya secara dunia ini, dampak yang akan terjadi adalah banyaknya utang jelas akan memberikan beban yang tidak semestinya pada generasi selanjutnya. Sehingga secara logis, kebijakan fiskal yang akan diambil adalah menekan pengeluaran untuk mengurus rakyat dengan cara mengurangi subsidi, seperti subsidi energi dan subsidi pangan atau konsumsi. Selain itu negara juga akan melakukan upaya peningkatan pemasukan dengan meningkatkan pajak. Bahkan kebutuhan vital seperti sembako, pendidikan dan kesehatan akan dikenai pajak pula. Hanya, menunggu waktu yang tepat saja, kebijakan tersebut akan diterapkan. Karena RUUnya sudah berada di meja DPR.
Maka, lengkaplah penderitaan rakyat yang negaranya mengalami defisit anggaran dan melakukan utang. Baik terhadap lembaga internasional maupun pada negara adidaya kapital. Rakyat akan dikenai pajak yang tinggi dan minimnya jaminan penghidupan dari pemerintah. Karena subsidi diupayakan ditekan sekecil mungkin agar tidak membebani anggaran Kas negara.
Jika sekarang ini pun telah diterapkannya UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dalam cara pandang ekonomi kapitalis, tidak hanya swasta yang banjir keuntungan. BPJS juga akan menguntungkan dan meringankan beban pemerintah. Rakyatlah yang dibebani pembiayaan BPJS tersebut dan pemerintah terlepas dari pembiayaan biaya perawatan kesehatan masyarakat. Ketika pembiayaan perawatan kesehatan turun, pengeluaran pemerintah pun akan turun.
Bahkan dampak dari meningkatnya utang sangat berpengaruh terhadap laju politik negara menjadi semakin buruk. Seperti, pernyatan seorang ekonom swedia, Johan Gustaf Knut Wicksell, "jika manfaat dari beberapa jenis pengeluaran pemerintah melebihi biayanya, maka adalah mungkin yang membiayai pengeluaran tersebut akan merebut suara para pemilihnya." Itulah bagian dari "mafia anggaran" yang membelenggu negara demokrasi.
Di sisi yang sama, tingkat utang negara yang tinggi dari luar negeri mampu merusak pengaruh politis negara dalam percaturan global. Secara makro, gambaran tersebut, menjadikan asing dengan mudah mendikte negara yang memiliki beban utang yang sangat tinggi. Melalui berbagai syarat yang mereka ajukan dalam penggelontoran utang. Pemerintah hilang kedaulatan di negerinya sendiri, mudah disetir oleh asing. Hingga kebijakan-kebijakannya pun lebih pro kepada tuan pemberi utang dan rela menyengsarakan rakyat.
Riba adalah kelebihan harta dari hasil utang-piutang lain. Riba haram hukumnya dalam Islam selain dalil di atas terdapat banyak dalil lain berdasarkan nas Al-Qur’an, di antaranya QS al Baqarah: 276—279.
Terkait haramnya tambahan terhadap utang, Imam Ibnu Abdul Barr berkata, “Telah sepakat para ulama dari generasi salaf dan khalaf, bahwa riba yang pengharamannya turun dalam Al-Qur’an adalah seorang pemberi utang mengambil kelebihan dari jenis uang atau barang karena penundaan utangnya setelah jatuh tempo.” (Shiddiq al Jawi, Hukum Denda (Penalti)).
Selain itu, banyak terdapat ancaman dari Allah Swt dalam perbuatan riba, diantaranya:
Dianggap tidak beriman,“Riba itu ada 73 pintu dosa yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri”. (HR Al Hakim).
Doanya, menjadi tidak dikabulkan,"Makanan dan minumannya berasal dari yang haram, pakaiannya haram dan dikenyangkan oleh yang haram. Maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan Allah?” (HR Muslim)
Tidak ada keberkahan dalam hartanya,"Daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR At Tirmidzi)
Menjadi kufur bagi yang menghalalkan riba,"Sekali kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS Al Muthaffifin : 14)
Riba dosanya lebih besar dari zina, "Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui bahwa di dalamnya adalah hasil riba, dosanya itu lebih besar dari melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali”. (HR Ahmad)
Mendapat azab yang berat,"Di pinggir sungai ada seorang lelaki melempar batu ke mulutnya hingga berdarah dan kembali seperti semula. Aku (Rasulullah) bertanya, apa ini? salah seorang lelaki yang bersamaku menjawab, yang engkau lihat dalam sungai darah itu adalah pemakan riba”. (HR Imam Al Bukhari).
Yang terlibat dalam riba semua mendapatkan dosa, "Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja”. (HR Imam Muslim)
Umat manusia menjadi binasa,"Hindarilah tujuh hal yang membinasakan,…..memakan riba….” (HR Muslim)
Dianggap telah kerasukan Syetan,"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syetan lantaran tekanan penyakit gila”. (QS Al Baqarah: 275)
Pelaku riba akan mendapat siksa yang pedih,“Disebabkan mereka memakan riba padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Telah kami menyediakan untuk mereka itu siksa neraka yang pedih.” (QS. An Nissa: 161)
Pelaku riba menjadi penghuni neraka yang kekal,"Maka orang itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menghalalkan sedekah”. (QS Al Baqarah : 276)
Betapa besar dan beratnya ancaman dari Allah Swt tersebut. Itulah dampak akhirat yang akan dituai. Lantas bagaimana mungkin pemimpin negara ini dengan bangga berutang riba mengatasnamakan demi rakyat?
Mengurusi Rakyat Tanpa Utang dalam Islam
Sumber pemasukan negara yang potensial adalah sektor SDA (Sumber Daya Alam). Sangat disayangkan, sekarang ini sebagian besar SDA diserahkan ke asing dan swasta. Padahal seharusnya bisa menjadi sumber utama APBN yang sangat besar.
Dalam Islam banyak sumber pemasukan negara yang tidak memberatkan rakyat dan menjerumuskan negara serta mematikan wibawa pemimpin. Sumber pemasukan itu adalah bidang ghanimah, kharaj, status tanah, jizyah, fai', dharibah, pemilikan umum, minyak dan gas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan dan mata air, tempat khusus (yang dipagari negara dan dikuasai negara), hutan dan padang rumput gembalaan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat mal dan perdagangan, zakat unta, sapi dan kambing. Sebagai sumber pemasukan kas negara. Jika semua sumber pemasukan itu dimaksimalkan tentu lebih potensial daripada utang luar negeri dan pemungutan pajak dari rakyat.
Demikanlah, dalam Islam utang bukanlah pilihan untuk menyelesaikan masalah ekonomi negara, pembangunan bangsa, ataupun untuk kesejahteraan rakyat. Sumber pemasukan yang melimpah. Membuat ledakan utang tidak akan terjadi dalam kepemimpinan Islam. Dan tidak akan terjerat utang ribawi, akan menjadikan harta kas negara (baitul mal) selalu mengalir. Dengan demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dengan kuat.
Dalam praktiknya negara sekuler kapitalis tidak akan mampu mengadopsi sistem ekonomi ini. Karena sistem ekonomi ini merupakan kekhasan dalam sistem politik Islam. Sehingga ketika negara hendak mengadopsi sistem ekonomi Islam harus juga menjalankan sistem politik sesuai aturan Islam. Karena ia seperti dua sisi mata uang yang tidak alan bisa dipisahkan. Serta satu kesatuan dengan bentuk konstitusinya yakni khilafah, bukan kerajaan, republik, atau lainnya.
Untuk itu, di sinilah letak betapa pentingnya penerapan Islam secara totalitas/kafah dalam kekhilafahan.
Wallahu'alam bishshawab.
Post a Comment