Ibu Rumah Tangga dan Member Amk
Harta pejabat negara melejit meski berada di tengah pandemi dan lesunya perekonomian. Berdasarkan hasil laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang dirilis di situs resmi KPK, lebih dari 70% pejabat negara bertambah kaya selama pandemi.
Penambahan kekayaan terjadi bukan saja di lembaga legislatif, namun juga di lembaga eksekutif Kabinet Indonesia Maju di bawah naungan Presiden RI. Pejabat yang mendadak kaya ini bukanlah sekedar oknum karena fenomena sejenis terjadi pada banyak orang dan terjadi di berbagai level.
Adapun kategori kenaikan harta kekayaan, paling banyak di atas 1 miliar rupiah yaitu kategori menteri sebesar 58 persen; DPR/MPR 45 persen; gubernur/wakil 30 persen; DPRD Provinsi 23 persen; 18 persen bupati wali kota, dan terkecil DPRD Kota/kabupaten yang hanya 11 persen. (merdeka.com, 09/09/2021).
Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan menyampaikan, naik turunnya kekayaan pejabat negara salah satunya disebabkan latar belakang pejabat tersebut. Sebagaian dari para pejabat adalah pengusaha sehingga laporan harta kekayaan naik turun hal yang biasa. (kompas.com, 13/09/2021).
Berbeda dengan Ubedilah Badrun, Analisis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Menurutnya, hal ini bisa dibaca sebagai persoalan politik. Jika bertambahnya kekayaan pejabat negara itu karena ada bisnis, itu berarti hal yang wajar. Hanya saja yang menjadi pertanyaan. “Bisnis apa yang mendapatkan keuntungan miliaran rupiah dalam satu tahun di tengah pandemi covid-19?” Bisnis vaksin? PCR test? Test antigen? Alat kesehatan? Sawit atau batubara? Yang jelas para pejabat bertambah kaya di tengah rakyat yang menderita dan kondisi ekonomi yang memburuk. (Tribunnews.com, 13/09/2021).
Sungguh ironi negeri ini, disaat rakyatnya terseok-seok mencukupi kebutuhan hidupnya akibat pandemi, pejabatnya ramai-ramai menambah kekayaannya. Itulah mengapa kekuasaan jadi rebutan, bisa menikmati berbagai fasilitas, gaji dan tunjangan besar, rumah dinas, mobil, kebutuhan selama berdinas bahkan pakaian pun difasilitasi dengan brand ternama dengan harga mahal.
Sebuah potret akibat diterapkannya Sistem Demokrasi. Digadang menjamin keadilan dan melahirkan aparatur/pejabat yang mewakili rakyat, justru membuka pintu bagi pejabat dan segelintir elit memperkaya diri dan melebarkan ladang bisnisnya. Suara rakyat dipakai hanya saat kontestasi pemilu saja. Setelahnya aspirasi rakyat laksana angin berhembus lalu menghilang. Kebijakan tak banyak berpihak pada rakyat.
Lihat saja episode PPKM yang berjilid-jilid hingga menyusahkan rakyat, mahalnya tes PCR/antigen sebagai syarat melakukan perjalanan, quota yang harus disiapkan diantara tarik ulur daring dan tatap muka, belum lagi wacana perluasan obyek pajak seperti pajak sembako, jasa pendidikan atau pun jasa kesehatan yang ujung-ujungnya harus merogoh isi dompet masyarakat.
Mereka lupa bahwa pemimpin itu harus bertanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw ”Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad). Dan juga kepemimpinannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt. Seperti disebut dalam sebuah hadist “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kalau mau bercermin pada pemimpin masa kejayaan Islam, kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz begitu masyhur, memakmurkan rakyatnya hingga kesulitan menemukan orang miskin yang akan diberi zakat. Hidupnya penuh kesederhanaan meski kaya raya dan menolak tinggal di istana saat menjabat sebagai Khalifah. Beliau tak pernah meminta jabatan, justru menangis saat umat menginginkannya menjadi Khalifah. Jabatan adalah ujian berat baginya. Namun begitu beliau tetap menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya dengan penuh ketaatan, sabar, adil dan cinta pada kaum dhuafa.
Semasa memimpin, takpernah berniat menumpuk harta untuk kepentingan pribadinya. Bahkan menyerahkan hartanya ke kas negara dan meminta istrinya Fatimah binti Abdul Malik menyerahkan perhiasan-perhiasannya ke kas negara.
Demikianlah gambaran pemimpin yang zuhud dan berhati-hati di dunia. Tidak mudah tergiur dengan memanfaatkan fasilitas negara. Beliau menyadari bahwa amanah ibarat pedang bermata dua. Berani menjabat berarti berani mempertanggungjawabkan. Dua gambaran kepemimpinan yang bertolak belakang. Sistem sekuler yang rusak sehingga melahirkan pemimpin yang rusak. Dan Sistem Pemerintahan Islam yang menerapkan syariah Islam secara kafah.
Waallahu a’lam bishshawab
Post a Comment