Oleh :
Indri Ummu Rashta (Pemerhati Kebijakan Publik)
"Duhai adikku, usap air matamu
Hilangkan perih di hatimu
Karena ulahnya tak akan hentikan hidupmu
Kau harus bangkit dari keterpurukan
Sembuhkan luka dengan senyuman dan iman
Kau harus buktikan, bahwa Tuhan takkan biarkan abadinya kedzoliman."
Bait puisi di atas setidaknya mewakili apa yang dirasakan oleh korban kekerasan seksual (KS). Betapa tidak, dengan bergantinya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dimana dalam Rancangan Undang-Undang PKS merinci bentuk kekerasan seksual serta upaya pemulihan korban, sedang RUU yang baru hanya fokus pada penindakan pelaku kekerasan saja. Wakil ketua Badan Legislasi DPR, Willy Aditya mengatakan bahwa RUU TPKS akan memudahkan aparat penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. CNN Indonesia, Jumat (10/09)
Perubahan usulan draf baru RUU PKS oleh Baleg DPR menuai kritik di tengah masyarakat karena banyak menghapus pasal-pasal krusial. Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) melakukan pengamatan bahwa sebanyak 85 pasal dihilangkan dalam draf baru tersebut. Naila Rizqy Zaqiah, perwakilan KOMPAKS memaparkan RUU TPKS tidak mengatur masalah penanganan KS dari tindakan preventif hingga pemulihan korban, tindak pidana serta bagaimana pelaku KS tidak mencederai hak-hak korban saat pelaku keluar dari tahanan. CNN Indonesia.Com (07/09)
Aturan yang Tumpang Tindih
Pada dasarnya, RUU TPKS dibuat untuk meminimalisir terjadinya kasus kekerasan seksual yang merebak di masyarakat. Selain Rancangan Undang-Undang tersebut, ternyata Indonesia juga mempunyai aturan UU yang mengatur penghapusan kekerasan seksual yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Namun faktanya, berbagai aturan tersebut terfokus hanya pada aspek pidana terhadap pelaku kekerasan, bukan pada pemenuhan hak-hak dan pemulihan psikologis yang dialami korban. Dalam kapitalisme demokrasi, undang-undang yang dibuat sarat akan kepentingan pihak tertentu. Korban kekerasan seksual sebagai pihak yang dirugikan terkesan diabaikan. Seharusnya sebagai Korban, mereka berhak mendapatkan perhatian lebih dan pendampingan pasca tragedi.
Adanya Komnas Perempuan bukan berarti kasus kekerasan teratasi. Buktinya di lapangan, kasus tentang pelecehan makin meninggi. Pada tahun 2019 saja, lembaga tersebut mencatat sebanyak 432.471 kasus kekerasan terjadi, naik dari tahun sebelumnya, belum lagi yang tidak dilaporkan. Para perempuan dan anak-anak yang mengalami KS kerap berjuang sendiri untuk memulihkan diri dari trauma dan beban psikologis. Bahkan tak jarang yang berakhir dengan tragis.
Begitulah jika aturan yang dibuat sesuai kehendak akal manusia yang terbatas. Aturan satu dan yang lainnya saling kontradiktif. Misal atas nama Hak Asasi Manusia, tiap individu dibebaskan untuk melakukan segala sesuatu yang diinginkan. Termasuk bebas dalam memenuhi kepuasan naluri seksualnya.
Kaum perempuan serta anak-anak terutama dijadikan objek pemuasan seksual. Mereka dibuat sedemikian rupa agar memiliki daya pikat untuk memenuhi keinginan para penikmat hawa nafsu. Lewat sinetron, infotainment, iklan, musik pop, rock, dangdut yang diekspose melalui media seperti televisi, radio, media sosial, media cetak dan berbagai sarana lainnya. Tayangan-tayangan serta lagu-lagu yang meningkatkan nafsu birahi sengaja diproduksi karena menghasilkan banyak komisi.
Di sisi yang lain, para penguasa membuat aturan dengan lahirnya draf Rancangan Undang-Undang PKS yang akhirnya berubah menjadi RUU TPKS. Sungguh aturan yang benar-benar kontradiktif dengan membiarkan para pelaku media mengeksploitasi sumber korban kekerasan seksual. Selain membiarkan media menayangkan tayangan yang menjual sisi sensualitas, pemerintah juga memfasilitasi seks bebas dengan adanya tempat lokalisasi perzinahan. Sekali lagi, hanya demi mendapatkan materi, apapun aturan yang mendatangkan keuntungan akan disahkan.
Tidak mengherankan jika kasus kekerasan seksual terutama pada perempuan dan anak tiap hari kian meningkat. Karena penerapan sistem yang tidak bisa menyelesaikan sampai keakar-akarnya, seperti dianalogikan seseorang yang menambal ban bocor di satu sisi, dan membiarkan kebocoran di sisi lainnya.
Islam Mengatur Tindakan Preventif Terjadinya Kekerasan Seksual
Dalam Islam, pergaulan antara laki-laki dan wanita sangat terjaga. Berbagai aturan yang sempurna mengatur antara keduanya. Untuk memuaskan hasrat seksual, Islam hanya mensyaratkan adanya pernikahan, melarang seks bebas dan perzinahan baik sesama atau berbeda jenis, bahkan sekedar mendekati zina.
Perempuan sebagai objek dominan kekerasan seksual diatur sesuai hukum syariah. Sebagai tindakan preventif, mereka dilarang menampakkan kecantikannya di depan publik (tabaruj), diwajibkan berpakaian syar'i, menjaga pandangan baik pria atau wanita, larangan mengeksploitasi tubuh dan suaranya, menjaga kemaluannya dari zina, dan sebagainya.
Allah Subhanahu wat’ala berfirman dalam al-Qur'an:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman. Hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para wanita yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat." (TQS an-Nur: 30-31)
Hal ini bukan berarti laki-laki dan wanita tidak diperbolehkan untuk berinteraksi, tapi ada aturan yang membatasinya. Dibolehkannya interaksi antara lawan jenis dalam beberapa keadaan, misal dalam hal pengobatan, pendidikan, jual beli atau muamalat dan persaksian.
Selain tindakan pencegahan, sistem sanksi yang tegas juga akan diberlakukan oleh negara kepada pihak yang melanggar sesuai ketentuan aturan yang diadopsi berdasarkan jenis pelanggaran yang dilakukan. Dengan demikian, akan terwujud perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak-anak.
Wallahu a'lam bi ash-shawab
Post a Comment