Pegiat Literasi dan Member AMK
Pandemi Covid-19 yang sudah berjalan dua tahun ini, memang telah meluluhlantakkan hajat hidup banyak orang. Bukan saja rakyat yang merasakan beratnya hidup akibat lesunya perekonomian. Sektor bisnis pun merasakan imbas pandemi ini. Dari sisi bisnis, yang paling terdampak adalah sektor perhotelan dan pariwisata.
Di Indonesia Covid-19 ini diklaim sudah melandai dan lebih baik dari negeri lain. Positivity ratenya jauh lebih baik yakni berada di bawah rata-rata 2%. Ini di bawah standar WHO sebesar 5%, dimana sebelumnya sempat mencapai titik 31%. Untuk itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi meminta petinggi negara sahabat untuk menghapus Indonesia dari daftar merah perjalanan. Seperti contohnya Perancis yang sudah mengeluarkan Indonesia dari red list. (cnbcindonesia.com, 26/9/2021).
Sejalan dengan Retno Marsudi, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno berencana menbuka obyek Pariwisata Bali bulan Oktober 2021 ini. Meski belum dapat memastikan negara-negara mana saja yang diizinkan mengunjungi Bali. Saat ini masih memantau negara-negara mana saja yang potensial terkait pembukaan pariwisata di Bali. Disesuaikan dari sisi penanganan Covid-19 dan adanya varian baru Covid-19. Sandi menjelaskan, Bali nantinya akan lebih mengedepankan pariwisata berbasis alam dan budaya yang berkualitas dan berkelanjutan. Indonesia
tidak hanya terbuka pada kedatangan wisatawan mancanegara, tetapi industri diminta harus menyiapkan wisata bebasis budaya, berbasis desa wisata, maupun ecotourism. (bisnis.com, 24/9/2021).
Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati juga mendukung langkah tersebut. Dan menyatakan bahwa Pemprov Bali telah menyiapkan grand design penerimaan wisatawan mancanegara mulai dari kedatangan, karantina, perjalanan selama di Bali hingga keberangkatan kembali ke negara asal.
Pariwisata khususnya di Pulau Dewata memang menarik bagi banyak pihak. Bukan saja bagi penduduk setempat yang mengais rejeki dari kedatangan para turis. Secara Nasional, Bali mempunyai peran penting karena sering dijadikan sebagai ajang pertemuan tingkat Internasional. Tak heran bila pembangunan sarana pariwisata dan infrastruktur banyak terserap untuk kepentingan tersebut.
Sesungguhnya sangat mengkhawatirkan membuka pariwisata di tengah ancaman gelombang ketiga Covid-19 yang masih potensial dengan varian baru yang lebih ganas. Tidakkah berkaca pada kejadian sebelumnya ketika petinggi negara dengan santai mengatakan orang Indonesia tak mempan corona. Hingga tidak segera mengunci wilayah terhadap orang asing sebagai sumber penularan virus. Akibat dari kelalaian ini, korban meninggal berjatuhan bukan saja dari rakyat biasa, tenaga medis pun gugur karena tak mampu bertahan dari kelelahan menangani pasien hingga kondisi fisiknya menurun dan mudah terjangkit penyakit. Belum lagi mereka yang terdampak secara ekonomi karena pemutusan hubungan kerja atau rakyat yang makan seadanya sekedar bertahan hidup.
Miris, negara tak mempunyai modal untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya di masa sulit. Dan kini harus menggenjot pemasukan negara saat covid-19 belum benar-benar berakhir melalui sektor pariwisata. Semestinya pemerintah fokus untuk segera mengatasi pandemi demi kesehatan rakyatnya dengan mengoptimalkan semua potensi yang dimilikinya. Karena pemulihan ekonomi akan berjalan jika persoalan pendemi bisa segera diatasi.
Pembukaan sektor pariwisata ini jelas memberi angin segar bagi pengusaha yang berkecipung di dalamnya. Masalahnya berapa besar manfaat yang diperoleh bila dibandingkan jika terjadi kembali lonjakan kasus penularan Covid-19. Tentu menambah panjang kasus yang tak kunjung selesai.
Begitulah, negara yang mengadopsi sistem demokrasi kapitalistik memang tak akan bisa melepaskan diri dari jerat para konglomerat. Dalam sistem ini kebijakan haruslah sama-sama menguntungkan baik bagi pengusaha maupun pemangku kebijakan. Meski sesungguhnya Indonesia adalah negeri yang kaya akan Sumber Daya Alam. Namun apa daya semua sudah jatuh ke tangan asing dan aseng. Tak heran jika sektor pariwisata yang kini dilirik untuk dikembangkan sebagai sektor unggulan Pembangunan Nasional.
Meski pariwisata diclaim mampu mencetak lapangan kerja, keterampilan segala level dan segala bidang. Tetap saja yang lebih diuntungkan adalah para pemilik modal. Seperti pemilik cottage, villa, hotel, dan sarana wisata lainnya. Rakyat hanya mengais sisa recehnya saja.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Pemimpinnya sebagai pengemban amanah rakyat harus mampu mengelola, mengendalikan dan memanfaatkan SDA demi kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan konsep kepemilikan dalam Islam. Mengakui kepemilikan individu/swasta akan tetapi pemanfaatannya pun hanya diperbolehkan pada batas tertentu agar tidak menimbulkan kerusakan SDA. Berkebalikan dengan ekonomi liberal yang tak sekadar menguasai tapi mengeksploitasi tanpa batas. Sebagaimana disebut dalam Al-Quran: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum 41).
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sudah selayaknya mulai menerapkan pembangunan berbasis Islam dalam pengelolaan SDA agar mendapat manfaat yang berkelanjutan dan bebas dari tekanan pihak asing.
Waallahu a’lam bishshawab
Post a Comment