Oleh : Lia Haryati, S.pd.i (Pemerhati Remaja, dan Pendidik Umat)
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Lagu Koes Plus yang buming di tahun 1973 itu nyata hanya sebuah isapan jempol semata bagi pertambang garam, Negeri yg memiliki kekayaan alam di berbagai sumber. Justru berencana membuka kembali keran impor garam kata menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
"Untuk menjamin ketersediaan bahan baku garam bagi industri dalam negeri, pada 2021 telah disepakati alokasi impor komoditas pergaraman industri sebesar 3,07 juta ton," ungkap Agus dalam Webinar National Webinar SBE UISC 2021 x FDEP: Industrialisasi Garam Nasional Berbasis Teknologi, jum'at (ccn.indonesia.com/ 24/9).
Menurut ia ada alasan kuat mengapa perlu impor garam, sebab garam lokal tidak memenuhi standar kebutuhan Nasional, bahkan kualitas garam yang dihasilkan belum memenuhi syarat industri.
Ia pun memperdalam alasan, bahwa industri yang membutuhkan garam terbanyak 84 % hasil persentase dari seluruh kebutuhan garam nasional yang besar sebanyak 4,6 juta.
Bisa dilihat dari sektor khlor dan alkali yang dilahiran dari industri manufaktur, membutuhkan garam senilai 2,4 juta ton pertahun. Sektor khlor dan alkali menghasilkan produk petrokimia, pulp, dan kertas. Jum'at (kompas.com/ 24/9/2021).
Negeri yang memiliki SDA besar justru harus mengalami kepahitan akan kebutuhan pangan. Bahkan tak segan para petani jadi korban, hasil garam yang diperoleh pun akhirnya hanya tersimpan di gudang. Saat para petani mengalami penurunan harga jual garam lokal, disaat yang sama justru pemimpin menikmati garam impor untuk kebutuhan industri.
Kalau pun benar negeri mengalami kekurangan garam, harusnya bisa peka terhadap kondisi petani, tidak sampai impor garam besar-besaran. Seolah negeri tak mampu menghasilkan garam lokal terbaik lagi melimpah. Impor pun menjadi solusi, padahal kalau mau mengkalkulasi kebutuhan garam, seharusnya bisa dikurangi sehingga garam lokal tidak mengalami kegagalan apalagi tak layak dikonsumsi.
Sejatinya solusi akan impor garam, yang akan diberlakukan semua itu terjadi dari penerapan sistem Kapitalisme. Hal ini, tidak lepas dari sistem Kapitalis-Neoliberal yang melegalkan segala hal untuk keuntungan penguasa. Tanpa berpikir dampak yang akan terjadi.
Sangat miris melihat SDA yang besar di negeri sendiri, akan tetapi tidak mampu untuk mengelola. Alhasil swasta mengambil alih. Saat demikian negara seharunya hadir dan ikut andil dalam mengelola, bukan berpangku tangan dengan berbagai alasan.
Berbeda jauh dengan aturan Islam, garam yang merupakan kepemilikan umum, wajib dikelola oleh negara dan hasilnya diberikan untuk kesejahteraan umat secara umum. Sebaliknya, haram menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi kepada asing aseng.
Bila kita mau bercermin kapada Rosullullah saw.
"Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama), yakni ; air, rumput, dan api." (HR. Ibnu Majah)
Bahkan Rosullullah pun menegaskan bahwa;
"Hal yang tidak boleh dimonopoli adalah; air, rumput, dan api. (HR. Ibnu Majah).
Di sinilah peran penting pemimpin sesungguhnya, dalam mengelola kekayaan Negeri. Maka sangat aneh, di negeri yang kekayaan melimpah masih banyak rakyatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan, apalagi untuk memenuhi kebutuhan pangan, salah satunya menikmati garam. Masih sulit atau bahkan perlu mengocek biaya yang besar demi memperolehnya. Untuk memperoleh keadilan dan kesejahteraan ekonomi secara merata hanya bisa dirasakan dengan penerapan syariat Islam secara sempurna.
Wa'allahu 'alaam bishawab
Post a Comment