Oleh : Atik Sukarti (Pegiat Dakwah Literasi)
Sebuah video viral di media sosial beberapa hari lalu. Dalam video tersebut tampak tiga orang anak berseragam SD tengah menyeberangi sungai menggunakan styrofoam. Ketiga anak tersebut hendak menuju ke SD 1 Kuala 12, kecamatan Tulung Selapan, kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan.
Setelah dikonfirmasi mengenai hal ini, Kepala Urusan Perencanaan dan Keuangan, Adi Perdana mengatakan jika hal ini sudah biasa dilakukan. Padahal netizen menganggap apa yang dilakukan ketiga anak tersebut sangat berbahaya. Minimnya komunikasi antara tata kelola pemerintah daerah dan pemerintah pusat mengakibatkan ketimpangan pembangunan infrastruktur di daerah perkotaan dan daerah pelosok.
Di sini terlihat nyata jika pemerataan pembangunan infrastruktur yang menjadi program pemerintah belum terealisasi dengan baik. Beberapa daerah pelosok negeri ini masih belum terjamah pemerintah. Alhasil fasilitas-fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat masih jauh dari kata layak. Bahkan dapat mengancam keselamatan jiwa manusia.
Seharusnya Pemerintah memperhatikan pemerataan infrastruktur hingga ke daerah karena hal ini penting untuk membangun dan memeratakan ekonomi sebuah negara demi kesejahteraan rakyat. Seperti yang ada dalam konsep dasar pemerataan pembangunan dalam Islam. Yang menjadi skala prioritas utama dari pembangunan infrastruktur Negara Islam adalah pemenuhan hajat orang banyak sebagai bentuk periayahan terhadap umat.
Menurut Wikipedia, infrastruktur sendiri dapat didefinisikan sebagai kebutuhan dasar fisik pengorganisasian sistem struktur yang diperlukan untuk jaminan ekonomi sektor publik dan sektor privat sebagai layanan dan fasilitas yang diperlukan agar perekonomian dapat berfungsi dengan baik.
Dalam Negara Islam, membangun infrastruktur yang baik, bagus dan merata hingga ke pelosok negeri adalah kewajiban seorang pemimpin. Sebagai dasarnya adalah kaidah syara,
“Maa laa yatim al-wajib illa bihi fahuwa waajib.”
(Suatu kewajiban yang tidak bisa terlaksana dengan baik karena sesuatu, maka hukumnya menjadi wajib).
Oleh karena itu pada masa kejayaan Islam, Khalifah Umar al Faruq menyediakan pos khusus dari baitul mal untuk mendanai infrastruktur, khususnya jalan dan semua hal yang terkait dengan sarana dan prasarana umum. Hal ini dilakukan untuk memudahkan transportasi dan distribusi ekonomi antar daerah dalam Negara Islam.
Khalifah Umar bin Khattab juga memperhatikan perbaikan berbagai fasilitas umum seperti merealisasikan perbaikan jalan, melancarkan aliran sungai, menggali kembali sungai yang tertimbun tanah, membuat teluk, membangun jembatan, dan bendungan. Untuk itu tentu saja menghabiskan anggaran negara dengan jumlah yang tidak sedikit. Akan tetapi Khalifah Umar tidak mendapatkan dana tersebut dengan cara berhutang kepada pihak asing yang berakibat merendahkan martabat bangsa dan umat Islam.
Lalu dari manakah asal dana tersebut? Seperti yang telah kita ketahui bersama jika dana pembangunan infrastruktur dalam negara kapitalis termasuk Indonesia, diperoleh dari sektor pajak sebagai pemasukan terbesar APBN, dari pinjaman atau utang luar negeri dengan melalui berbagai skenario kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyediaan infrastruktur atau layanan publik dalam jangka waktu panjang. Pada akhirnya masyarakat juga yang harus menanggung beban, baik secara langsung melalui pungutan penggunaan infrastruktur, seperti tarif tol yang semakin mahal maupun melalui pungutan tidak langsung dalam bentuk peningkatan pajak. Bahkan dapat dikatakan bahwa bayi yang baru saja terlahir sudah dibebankan sejumlah utang negara.
Dalam sistem ekonomi Islam, infrastruktur yang termasuk dalam kategori umum wajib dikelola oleh negara dan dibiayai dari dana milik umum atau milik negara, tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya. Meskipun ada pungutan, hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat, termasuk dalam membangun infrastruktur atau sarana yang menjadi kewajiban negara untuk masyarakat seperti sekolah-sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, jalan-jalan umum dan sarana-sarana lain yang lazim diperuntukkan bagi masyarakat sebagai bentuk pengaturan dan pemeliharaan urusan rakyat. Dalam hal ini, negara tidak mendapat keuntungan sedikit pun. Justru negara akan memberikan subsidi secara terus menerus. Jadi sama sekali tidak ada pendapatan negara dari sarana-sarana tersebut.
Dalam pandangan Islam ada sejumlah aset atau sumber daya alam yang masuk dalam kategori kepemilikan umum seperti minyak bumi, gas, barang tambang yang tak terbatas jumlahnya, laut, sungai, mata air, hutan lindung, padang rumput, dan masjid. Dalam hal ini tidak ada pemberian hak eksklusif kepemilikan atau penguasaan aset umum kepada individu atau kelompok tertentu.
Infrastruktur milik negara dan milik umum dikelola oleh negara. Meskipun sama-sama dikelola oleh negara, terdapat perbedaan antara infrastruktur milik negara dan infrastruktur milik umum. Infrastruktur milik umum atau milik seluruh kaum muslim wajib dikelola oleh Khalifah sehingga memberi peluang seluruh manusia dapat memanfaatkan kepemilikan ini. Khalifah dapat menjadikan tanah maupun bangunan yang termasuk milik umum dimiliki oleh orang-orang tertentu baik benda maupun manfaatnya, atau manfaatnya saja tanpa memiliki bendanya, atau mengizinkan untuk menghidupkan dan memilikinya. Khalifah mengatur hal itu dengan melihat kebaikan dan kemaslahatan bagi umat muslim.
Sedangkan infrastruktur milik negara harus disediakan negara untuk melayani masyarakat dalam memudahkan kehidupan mereka. Karena infrastruktur tersebut milik negara maka dimungkinkan negara memperoleh pendapatan dengan menentukan tarif tertentu atas pelayanannya termasuk mengambil keuntungan di dalamnya. Pendapatan dan keuntungan itu menjadi milik negara dan menjadi salah satu pemasukan baitulmal, yang ditaruh pada pos fai dan kharaj. Dana tersebut digunakan sesuai dengan ketentuannya.
Adapun jenis infrastruktur yang terakhir yaitu infrastruktur yang dibangun oleh individu dan menjadi milik individu atau swasta. Negara tidak memiliki hak atasnya, bahkan mendorong setiap individu berperan aktif dalam membantu pemerintah untuk melayani kepentingan masyarakat dan akan mengaturnya sesuai dengan hukum syara dan kemaslahatan umat.
Dari sisi jangka waktu pengadaannya infrastruktur dalam Islam dibagi menjadi dua jenis yaitu; pertama infrastuktur yang sangat dibutuhkan oleh rakyat, jika menundanya akan menimbulkan bahaya atau dharar bagi umat. Misal, satu kampung atau komunitas tertentu belum memiliki jalan umum, jembatan, dan saluran air minum. Maka pembangunannya harus disegerakan.
Infrastruktur kedua adalah infrastruktur yang dibutuhkan tetapi tidak begitu mendesak dan masih bisa ditunda pengadaannya misalnya jalan alternatif, pembangunan gedung sekolah tambahan, perluasan masjid dan lain sebagainya. Infrastruktur kategori ini tidak boleh dibangun jika negara tidak memiliki dana sehingga tidak dibolehkan pembangunan infrastruktur tersebut dengan jalan utang dan pajak. Jadi infrastruktur kategori yang kedua hanya boleh dibangun ketika dana baitulmal mencukupi.
Adapun pembangunan infrastruktur kategori pertama, akan tetap dibangun meskipun dana baitulmal kosong. Jika dana dari baitulmal ada maka wajib dibiayai dari dana tersebut. Akan tetapi, jika tidak mencukupi maka negara wajib membiayai dengan memungut pajak (dharîbah) dari rakyat. Jika waktu pemungutan dharîbah memerlukan waktu lama, sementara infrastruktur harus segera dibangun, maka negara boleh meminjam kepada pihak lain. Pinjaman tersebut akan dibayar dari dana dharibah yang terkumpul dengan catatan pinjamaan yang diperoleh tidak boleh berbunga atau menyebabkan negara bergantung kepada pemberi pinjaman.
Dalam Negara Islam, pajak (dharibah) boleh dipungut jika kondisi kas negara dalam keadaan kosong dan dipungut dari orang-orang mampu saja. Penarikan dharîbah ini juga dilakukan secara temporer hingga kas negara terpenuhi. Selebihnya, pemasukan negara dalam Khilafah Islamiyah didapatkan dari berbagai macam pos-pos pemasukan yang diizinkan syara berupa harta-harta fai dan kharaj. Pemasukan dari pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dan pos khusus pemasukan zakat (khusus pos pemasukan yang terakhir, ia tidak boleh dicampur dengan pemasukan-pemasukan lainnya dan tidak boleh dialokasikan selain kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat).
Demikianlah Islam telah mengatur pembangunan insfrastruktur yang bagus dan merata di seluruh negeri Islam. Islam membuat anggaran perencanaan keuangan dan pembangunan sehingga pembangunan yang membutuhkan dana besar dapat dengan mudah dibangun tanpa melanggar hukum syara sedikit pun juga tanpa merendahkan martabat Islam dan kaum Muslim di mata pihak asing.
Wallahua'lam bishawab.
Post a Comment