Oleh Eti Setyawati
Masyarakat kini lebih kritis, meski belum mampu berbuat apa-apa terkait utang luar negeri Indonesia. Setidaknya sudah berani bersuara, menyampaikan kekhawatirannya perihal utang Indonesia yang kian membengkak. Karena hal tersebut menyangkut keberlangsungan bernegara, yang tentu saja menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia.
Hal senada diungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengaku senang karena masyarakat saat ini
sangat peduli terhadap kondisi keuangan negara. Pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu)
menurutnya, juga selalu menjaga transparansi keuangan negara melalui publikasi rutin setiap bulan. (voi.id, 25/10/2021).
Lebih lanjut Sri Mulyani mengatakan, lonjakan utang yang terjadi saat ini tidak berlangsung begitu saja. Kondisi utang sudah diperparah sejak puluhan tahun lalu, dan makin buruk saat krisis moneter 1997-1998. Apa pun perkataan beliau yang jelas utang Indonesia tidak surut justru makin menggunung.
Utang pemerintah seringkali menjadi perdebatan hangat tidak hanya oleh ahli-ahli ekonomi, namun
juga oleh politisi, aktivis LSM, aktivis gerakan mahasiswa, tak ketinggalan emak-emak ideologis. Pada saat penyusunan APBN, banyak orang akan melirik pada pos beban utang (cicilan dan bunga utang) pemerintah. Orang kemudian membanding-bandingkan beban utang dengan pos-pos pengeluaran
pemerintah yang lain, misalnya subsidi untuk orang miskin, anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan lain-lain. Lebih jauh, utang pemerintah tidak hanya merupakan persoalan ekonomi, melainkan juga
berdimensi sosial politik. Dimensi politik menjadi penting pada negara-negara dengan utang LN yang besar. Pertimbangan akan persyaratan berutang dan pengelolaannya sering menyentuh aspek psikologis
dan ideologis.
Indonesia menempati posisi ke-7 sebagai negara pengutang terbesar di dunia yakni sebesar 402.72 miliar dollar AS berdasar data dalam laporan yang bertajuk International Debt Statistic 2021 yang
dikutip oleh Kompas.com, 26/06/2021. Hal ini memunculkan kekhawatiran terhadap kemampuan pemerintah dalam membayar utang beserta bunganya. Sejumlah indikator menunjukkan tingginya
risiko utang dan beban bunga utang pemerintah. Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara pada 2020 saja mencapai 19.06 persen. Artinya seperlima pengeluaran pemerintah harus disisihkan untuk membayar bunga utang.
Sementara sampai saat ini political will dari pemerintah untuk secara sungguh-sungguh menyelesaikan persoalan utang yang sudah memberatkan masih sangat lemah. Kebijakan pemerintah hanya berkutat pada gali lubang tutup lubang, bayar utang lama dan buat utang baru, pengalihan utang LN ke utang DN, dan reprofiling. Pemerintah masih sangat patuh dengan saran-saran IMF. Atas dasar alasan
kredibilitas Indonesia di dunia internasional, pemerintah Indonesia akan mampu membayar semua utang sesuai dengan waktu jatuh temponya.
Utang LN hanyalah model penjajahan gaya baru. Bahkan media India “Asia Times” ikut menyoroti tumpukan
utang Indonesia kepada Cina. Beredar di jagad maya pemberitaan bahwa Cina telah meminjamkan
miliaran kepada pemerintah di seluruh dunia tak terkecuali Indonesia. Banyak dari pinjaman ini diberikan secara rahasia atau sering disebut sebagai “Pinjaman Tersembunyi”. Dan menguras keuangan para peminjamnya.
Indonesia sendiri memanfaatkan utang dari Cina ini untuk membuat jalur kereta api cepat dengan meminjam uang sekitar 4.5 miliar dollar. Proyek yang di mulai pada 2015, 6 tahun kemudian biayanya
melonjak menjadi 8 miliar dollar lebih, dua kali lipat dari kesepakatan awal. Kemudian apa yang terjadi? Proyek tak bisa dihentikan di tengah jalan. Akhirnya Indonesia merogoh APBN untuk membiayai jalur kereta cepat ini.
Inilah awal permasalahan, ketika sebagian besar pinjaman Indonesia dari Cina di luar pembukuan (utang tersembunyi), tidak tercatat dalam pembukuan resmi. Indonesia sendiri punya utang tersembunyi berkisar 17.28 miliar dollar AS atau setara Rp. 245,3 triliun (kurs Rp.14.200/dollar AS).
Pinjaman ini sangat berisiko. Pinjaman ini tidak tercatat dalam neraca utang negara. Diberikan melalui BUMN atau swasta, jika peminjam bangkrut maka pemerintah Indonesia akan menghadapi tekanan untuk menyelamatkan dan harus mengembalikan utangnya saat sudah jatuh tempo.
Indonesia masuk dalam jebakan, Cina sengaja mengucurkan dana sangat besar, apabila peminjam gagal bayar maka bisa menekan pemerintah Indonesia untuk memperpanjang kontraknya, mengambil alih saham bahkan menguasai asset yang sedang dibangun. Jika hal ini dibiarkan satu persatu asset Indonesia akan lepas. Lebih parah lagi bila negara sudah dikendalikan secara politik dan ekonomi oleh pemberi utang akan semakin terpasung mengikuti kepentingan mereka.
Begitulah negara yang mengadopsi sistem demokrasi sekuler, mengandalkan utang ribawi untuk pembangunan negerinya. Meski sesungguhnya ada solusi yang bisa diambil dari sekedar mengandalkan utang yaitu sistem ekonomi Islam dan konsep keuangan negara baitulmal. Konsep baitulmal memiliki tiga pos besar pemasukan negara, yaitu pengelolaan aset milik umum, pengelolaan aset milik negara, dan zakat mal. Sejumlah pos tersebut memiliki pemasukan yang besar dan berkelanjutan sehingga tak perlu membebani rakyat dengan pajak.
Hanya saja perkara ini membutuhkan keseriusan dalam mengedukasi umat Islam. Bahwa sistem ini bisa terlaksana melalui tegaknya negara Khilafah sebagai ajaran Islam, yang mampu menyatukan seluruh negeri Islam dan menjadikannya negara besar dan mandiri.
Waallahua'lam Bishshawab
Post a Comment