Definition List

Pergaulan Liberal Kembali Menuai Korban


Oleh : Aghniarie (Penulis) 


Viralnya kasus bunuh diri seorang wanita yang masih berstatus mahasiswi di salah satu universitas kota Malang, Jawa Timur, menyita perhatian publik hingga tagar save Novia Widyasari menjadi trending topik di Indonesia. Lebih menghebohkan lagi ada keterkaitan personel Polri dalam kasus  tersebut.


Kasus bunuh diri ini, sebagai puncak depresi dari kekerasan yang terjadi pada masa pacaran. Wanita ini mengalami depresi setelah kematian ayahnya pada saat pacarnya mangkir dari tanggung jawab atas kehamilan ketiganya. Yang mana 2 kali kehamilannya telah digugurkan atas kesepakatan keduanya. Pada bulan Maret 2020 dan Agustus 2021. (Okenews.com, 4/12/2021) 


Menurut Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA) kasus Novia Widyasari (23 tahun) yang tewas menenggak racun di makam ayahnya karena Bripda Randy Bagus, sang kekasih tidak mau bertanggung jawab dan memaksa agar melakukan aborsi untuk yang ketiga kalinya ini. Menurut Bintang, kasus ini termasuk ke dalam dating violence atau kekerasan dalam berpacaran. (detik.com, 5/12/2021)


Berdasarkan hasil survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada 2016, tingkat kekerasan terhadap perempuan yang belum menikah baik secara fisik maupun seksual terjadi sebesar 42,7 persen. Kekerasan dalam hubungan pacaran adalah kasus yang sering terjadi setelah kasus kekerasan dalam rumah tangga. Namun sayangnya tidak tersorot dan masih diabaikan. 


Masih menurut KPPPA, di kanal resminya pada Jumat, 13 Agustus 2021, memaparkan bentuk kekerasan dalam hubungan pacaran yang kerap terjadi. Pertama, kekerasan fisik seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, mencengkram dengan kuat, dan lainnya. Kekerasan ini dapat menimbulkan sakit fisik pada korban seperti lebam, luka, patah tulang, hingga cacat permanen.

Kedua, kekerasan secara emosional atau psikologis. Kekerasan ini bisa berbentuk ancaman, panggilan dengan sebutan yang memalukan, marah berlebihan, dan menjelek-jelekkan pasangan.

Ketiga, kekerasan secara ekonomi, contohnya meminta pasangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan memeras pasangan.

Keempat, kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba, hingga memeaksa untuk melakukan hubungan seksual di bawah ancaman dan tanpa persetujuan dari pasangan.

Kelima, kekerasan pembatasan aktivitas oleh pasangan seperti terlalu posesif, terlalu mengekang, sering menaruh curiga, terlalu mengatur kegiatan pasangan, dan mudah mengancam jika pasangan tidak melakukan kemauannya.


dampak yang bisa terjadi bagi korban adalah luka fisik atau psikis atau keduanya. Jika tidak mendapat pertolongan segera korban kekerasan bisa depresi hingga mencuat keinginan untuk bunuh diri. (tempo.com, 3/12/2021) 


Kebutuhan, Evaluasi Secara Sistemik


Kasus pacaran berbuntut petaka ini telah ditangani oleh Polda Jawa Timur, dengan jeratan hukuman 5 tahun penjara atas kasus aborsi dan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari kesatuan Polri. Meski banyak kalangan yang mempertanyakan kenapa tidak mendapat pasal berlapis dengan kasus pemerkosaan?


Sejumlah kalangan termasuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengawal kasus ini agar si pelaku menjalani hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku. 


Namun, sejatinya tidaklah cukup hanya dengan pengawalan agar pacar korban mendapat hukuman. Ada hal yang juga sangat urgen, yang perlu diperhatikan dan diperjuangkan. Kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di sekitar kita ini, menunjukkan ada kesalahan sistem kehidupan dalam mengatur hubungan antar manusia. Baik lawan jenis maupun seseama jenis di ruang publik hingga di ranah private. Inilah yang perlu dievaluasi, yakni evaluasi secara sistemik. 


Harus dipahami oleh seluruh pihak bahwasanya kekerasan seksual yang menjadi pandemi dalam kehidupan manusia akibat dari faktor liberal yang menguasai panggung kehidupan. Yang berakibat fatal yakni rusaknya tatanan pergaulan. Inilah yang harus dilakukan, pembenahan  secara mendasar terkait tata pergaulan dengan menghapus seluruh komponen liberal.


Permen PPKS, Jalan TOL Pengulangan Kasus Serupa


Tentu setelah kita mengetahui induk persoalan kasus kekerasan seksual ini akibat dari liberalisme. Maka solusi solutifnya tidak bisa diserahkan kepada liberalisasi lagi. Karena jelas solusi liberal hanya akan menghasilkan permasalahan baru dan tidak menuntaskan masalah lama. Kebebasan adalah pilar dari sistem sekularisme. Sekularisme sendiri yaitu sistem kehidupan yang tidak menjadikan agama sebagai pedoman hidup. Mengkhususkan agama hanya di wilayah ibadah tanpa memperbolehkannya berperan mengatur kehidupan manusia.


Inilah yang nampak dalam penyelesaian kasus ini, tidak ada sanksi atas perzinaan. Bahkan analisa dan aturan menteri yang terkait dengan persoalan ini tidak pernah membahas soal perzinaan. Seperti kebijakan Permen PPKS yang sudah diketuk palu dan wajib diterapkan di seantero Perguruan Tinggi (PT). Setali dengan kementerian PPPA seperti dalam poin ke empat di atas yang menganilisa kasus kekerasan seksual dengan melakukan tindakan memeluk, mencium, meraba, dan lain-lain tanpa persetujuan pasangan. Ini meniscayakan jika pasangannya setuju dipeluk, dicium, diraba dan sejenisnya sah-sah saja. Inilah pasal pelegalan pacaran membuat pintu-pintu zina terbuka lebar. 


Padahal dalam koridor agama khususnya Islam, Jelas ini haram dan sebuah kemaksiatan atau kriminalitas yang harus ditindak tegas. Agar tidak menjalar dan menjadi wabah yang meresahkan seperti saat ini. Untuk itu selama sekuler-kapitalis masih bercokol di negeri ini maka kasus kekerasan terhadap perempuan terus akan terjadi. Demikian juga perbuatan zina, aborsi dan bunuh diri menjadi hal lumrah di tengah masyarakat, naudzubillah. 


Solusi Sempurna Pemberantasan Kasus Pelecehan Seksual


Sudah saatnya untuk menata ulang tata pergaulan generasi bangsa. Peran negara, masyarakat dan keluarga sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan problem kekerasan ini. Agar lahir generasi bangsa yang cerdas, bersih dan bertakwa. Maka kembalilah pada penataan Islam secara kafah yang hanya bisa diterapkan dalam daulah khilafah. Hal tersebut telah terbukti menjadi solusi paripurna dalam memberantas kekerasan seksual karena hanya dalam khilafah aturan Islam secara komprehensif dapat diterapkan secara sempurna. 


Solusi Islam ada dalam bentuk preventif dan kuratif. Sebagai solusi preventif (pencegahan), Islam akan memfungsikan peran dalam tiga pilar. Yakni keluarga dan ketaatan individu, peran masyarakat, dan kebijakan negara. 


Pilar pertama, ketaatan individu dan peran keluarga. Islam akan mengedukasi dan memberikan perintah agar setiap individu menjalankan seluruh amalan agama seperti salat tepat waktu, kewajiban puasa ramadhan, menghindari khalwat (berdua-duan dengan lawan jenis) dan ikhtilat (campur baur laki-laki perempuan tanpa ada syarat syar'i), menutup aurat sempurna, menjaga pergaulan, keharaman pacaran dan zina serta lain sejenisnya yang melanggar hukum syara.


Ketaatan individu akan melahirkan ketaatan terhadap aturan negara, karena Islam mewajibkannya. Juga peran keluarga dalam mengedukasi anak-anaknya semenjak dini bahkan sejak dalam kandungan dengan edukasi islami dan penerapan syariat Islam. Selain itu keluarga senantiasa mengontrol anak-anaknya hingga ia diantar ke gerbang pernikahan. Akan menguatkan karekter baik dan salih sebagai akhlakul karimah. 


Peran kedua adalah kontrol masyarakat, masyarakat islami yakni masyarakat yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islam, satu perasaan, satu pemikiran dan satu aturan. Memiliki standar kebenaran dan keburukan yang sama serta keberanian dan kepedulian untuk saling mengingatkan juga menasehati jika ada pelanggaran hukum syara, seperti jika mengetahui ada yang pacaran, zina, aborsi atau percobaan bunuh diri dan perbuatan bejat lainnya. 


Ketiga peran negara, negara dalam Islam akan aktif menerapkan hukum-hukum Islam tanpa kecuali. Serta akan menjaga akidah, keimanan dan ketakwaan rakyat dengan sebaik-baiknya penjagaan seperti akan memutus mata rantai konten-konten porno, film-film berisi pacaran dan sejenisnya. 


Dengan penjagaan secara preventif ini akan dihasilkan insan yang bertakwa dan berkarakter mulia. Tidak mudah terjerat perbuatan maksiat yang membawa laknat. 


Namun, jika masih ada pelanggaran maka Islam memiliki solusi kuratif. Yang sudah terbukti membuat jera para pelaku tindak kriminal dan masyarakat sekitar. Inilah sanksi dalam Islam, bagi para pezina yang sudah balig dan belum menikah maka akan di dera 100 kali dan di asingkan, sedang bagi yang sudah menikah akan di sanksi rajam hingga wafat. Sanksi ini selain membuat jera umat manusia juga menjadi penebus dosanya, sehingga di akhirat ia bebas hisab karena sudah di hukumi dengan hukum Islam saat di dunia. 


Sehingga wajar akhiranya lahir kisah kala Islam diterapkan dalam kehidupan, ada seorang wanita yang mengakui telah berbuat zina dan minta dihukum. Setelah berbagai tahap dilalui, wanita tersebut dijatuhi hukum rajam hingga wafat dan Rasul saw. bersabda, "Dosa wanita itu hilang seperti hari dia terlahir."


Kemudian Rasulullah saw. menyalati jenazahnya, Melihat hal itu, Umar bin Khatab merasa heran. Beliau berkata: “Engkau menyalatinya wahai Nabi Allah, sungguh dia telah berzina!”


Rasulullah kembali bersabda: “Sungguh dia telah bertaubat dengan satu taubat, yang seandainya taubatnya itu dibagikan kepada 70 orang dari penduduk Madinah, maka taubat itu akan mencukupinya. Apakah engkau mendapati sebuah taubat yang lebih utama dari pengorbanan dirinya untuk Allah?” (HR. Ahmad).


Wallahu'alam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post