Oleh: Khaireen (Penulis)
Detik-detik menjelang akhir tahun masehi. Banyak dari masyarakat dunia khususnya Indonesia menyambut pergantian tahun dengan euforia yang berlebihan. Mulai dari pesta-pesta, berkumpul dengan keluarga, makan-makan ataupun hal-hal yang melanggar syariat lainnya seperti pesta seks kaum muda.
Di tengah gegap gempitanya penyambutan dengan menyalakan kembang api di langit-langit dunia tepat jam 12 malam. Dengan hitungan mundur waktu yang mereka tunggu-tunggu. Disaat hal-hal tak berfaedah itu mereka kerjakan, dan fokus pada kesenangan semu.
Tanpa masyarakat sadari, dibalik sorak sorai pergantian tahun, ada kado pahit yang harus diterima masyarakat Indonesia. Mau tidak mau, rakyat harus menerima kebijakan itu.
Berbagai aturan yang menyesakkan dada siap menyambut kita di awal tahun. Dari kenaikan tarif dasar listrik, dihapuskannya
BBM jenis premium dan pertalite, kenaikan gas elpiji nonsubsidi, penerapan kelas standar BPJS, serta penangkapan ikan yang dibatasi berdasarkan sistem kuota. (Kompas.com)
Belum lagi kita dihadapkan pada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang melonjak tinggi menjelang akhir tahun. Mulai dari telur ayam, cabai, minyak goreng, daging ayam, gula, tepung terigu dan lain sebagainya yang membuat pusing ibu rumah tangga dan para pedagang kecil.
Berbagai kebijakan ini bak bom yang siap mengguncang kehidupan rakyat kecil. Belum habis kesulitan rakyat menghadapi melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok yang belum stabil, ditambah lagi akan diberlakukannya kebijakan yang menambah berat kehidupan mereka.
Berbagai alasan dikemukakan para pembuat kebijakan. Salah satunya alasan lingkungan yang melatarbelakangi dihapuskannya secara bertahap dua jenis bahan bakar minyak yang tidak ramah lingkungan (RON dibawah 91) menjadi yang ramah lingkungan (RON 91) yang pastinya lebih mahal.
Ini membuktikan bahwa berbagai kebijakan yang dibuat oleh para pemangku kebijakan tidaklah berpihak pada kepentingan rakyat.
Belum lagi kita dihadapkan pada pandemi yang belum usai. Serta kondisi ekonomi masyarakat yang belum stabil karena efek kebijakan selama pandemi yang membuat kemiskinan meningkat. Gaji para pekerja atau buruh yang naik tipis tak sebanding dengan melonjaknya harga-harga kebutuhan sehari-hari. Tentu, ini semakin membuat rakyat tertekan.
Ini semua membuktikan bahwa sistem kapitalisme gagal dalam menjaga kesejahteraan dan melindungi rakyat. Berbagai kebijakan yang diambil dan diberlakukan sangat membebani rakyat kecil. Rakyat dipaksa untuk mengikuti apa saja yang penguasa tetapkan tanpa melihat lagi apakah kebijakan itu memberatkan mereka atau tidak. Para kapitalis tentunya sangat diuntungkan dengan berbagai kebijakan ini, mereka akan meraup keuntungan sebesar-besarnya melalui aturan-aturan yang berpihak pada mereka.
Berbeda halnya jika sistem Islam yang berkuasa. Berbagai kebijakan yang dibuat tidak akan membuat rakyatnya tak sejahtera. Karena aturan yang dipakai bersumber dari Sang Maha Pencipta, Allah Ta'ala. Sistem Islam akan menjamin terpenuhinya berbagai kebutuhan dasar rakyatnya tanpa membebani rakyat dengan berbagai kebijakan yang berpihak kepada mereka. Para penguasa di sistem Islam tidak akan bisa membuat aturan sesuka hatinya ataupun atas perintah para oligarki seperti di sistem kapitalisme yang mana dalam sistem Islam, segala aturan berasal dari Allah Sang Pembuat Hukum yang sudah terbukti penerapannya selama 14 abad lamanya. Sebelum sistem Islam itu dihapuskan pada 1924 silam. Dan atas ijin Allah, sistem terbaik itu akan datang kembali seperti yang Rasulullah kabarkan
"..., Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud ath-Thayalisi dan al-Bazzar)
Wallahu a'lam bhi ash-shawab
Post a Comment