Oleh: Khaireen (Penulis)
Di tengah carut marutnya masalah yang dihadapi negeri, mulai dari harga kebutuhan pokok yang melangit sampai masalah pemindahan ibu kota, publik kembali dikejutkan oleh pernyataan Kepala BNPT, Komjen Boy Rafli Amar, mengenai 198 pondok pesantren yang diduga terafiliasi jaringan terorisme pada Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi III DPR, Jakarta. (Tempo.Com)
Sontak pernyataan tersebut membuat publik meradang. Betapa tidak, pesantren yang notabene tempat mendidik generasi berkepribadian Islam dan jauh dari kesan radikal seperti yang mereka tuduhkan seolah-olah mengajarkan paham yang bertentangan dengan apa yang diadopsi negara.
Bukan hanya menyasar pesantren, isu radikalisme juga disematkan pada beberapa masjid yang terindikasi paham radikal. Seperti yang diungkapkan Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri Brigjen Umar Effendi yang akan melakukan pemetaan masjid-masjid guna menangkal virus terorisme. (Cnn.Indonesia)
Sejatinya, narasi radikalisme dan terorisme adalah upaya pihak-pihak tertentu untuk membendung kebangkitan Islam. Musuh-musuh Islam sadar bahwa ketika kaum muslimin bersatu dalam satu kekuatan maka akan mengancam eksistensi dan hegemoni mereka menguasai dunia.
Mereka paham betul, bagaimana peradaban Islam akan memporak-porandakan tatanan kehidupan yang sudah mereka rencanakan. Pasca peristiwa runtuhnya gedung World Trade Center (WTC) di New York pada 11 September 2001 lalu, Barat melalui Amerika Serikat mulai mengopinikan isu terorisme kepada dunia internasional melalui Global War on Terror (GWOT) atau perang melawan terorisme. Kelompok Al Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden dianggap sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas insiden tersebut. Sejak saat itu, isu untuk memberantas terorisme mulai massif disuarakan di seluruh dunia.
Para ulama dan orang-orang yang vokal untuk menyuarakan kebenaran, mulai satu persatu dipersekusi dan dimasukkan bui. Suara mereka dibungkam agar berhenti menyampaikan kebenaran Islam. Mereka dianggap berbahaya karena membongkar kebobrokan sistem dan kecacatan kekuasaan. Mulailah orang-orang dan organisasi yang bersebrangan dicap intoleran, radikal dan anti NKRI. Lewat cara-cara licik itulah mereka mempertahankan keadaan.
Organisasi yang jelas-jelas membahayakan eksistensi negara malah tidak ditindak tegas. Seperti KKB di Papua yang sejatinya merupakan kelompok separatis yang memakan banyak korban nyawa malah dianggap saudara yang belum paham negaranya. Terlihat jelas ketidak-adilan yang dipertontonkan. Cap teroris hanya disematkan kepada kaum muslimin yang memegang agamanya dengan sebenar-benarnya.
Padahal, ancaman sesungguhnya yang dihadapi adalah mengakarnya hegemoni kapitalisme liberal pada negeri-negeri kaum muslimin. Dunia barat melalui kapitalisme, berusaha menundukkan dunia Islam dengan penguasaan segala aspek mulai dari ekonomi, politik, sosial dan pemerintahan yang harus ada dalam kendali mereka. Negeri-negeri Islam merupakan negeri yang kaya akan sumber daya alam. Negeri yang Allah karunia kan dengan keberlimpahan minyak bumi, emas, batubara, hutan dan sebagainya. Oleh karena itu, dunia barat semakin silau untuk menguasainya dengan membendung agar kebangkitan Islam tidak menjadi pengganggu misinya.
Semua ini terjadi karena kaum muslimin kehilangan institusi yang menjaga mereka dari rongrongan kapitalisme sejak runtuhnya daulah khilafah tahun 1924 silam. Kaum muslimin kehilangan perisai yang menjaga mereka dari makar orang-orang kafir yang semakin mendiskreditkan Islam dan kaum muslimin. Sudah saatnya kita sadar akan pentingnya bersatu dalam sebuah sistem kepemimpinan yang akan membawa kemaslahatan bukan hanya umat Islam tapi seluruh manusia. Sebagaimana yang Allah kabarkan melalui lisan Rasul-Nya, bahwa akan datang kembali sistem pemerintahan yang sesuai metode kenabian, Khilafah 'ala Minhajjin Nubuwwah.
Wallahu a'lam bhi ash-shawab
Post a Comment