Oleh: Dewi Ummu Hazifa (Pemerhati Umat)
Rencana pemerintah akan menghapus kelas BPJS menarik perhatian publik. Pemerintah akan mengganti dengan ketetapan iuran BPJS Kesehatan sesuai besaran gaji peserta, yang rencananya akan dimulai Juli 2022.
Asih Eka Putri selaku anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), mengatakan bahwa dengan adanya peleburan ini, iuran BPJS akan ditentukan sesuai besaran gaji peserta.
“Iuran sedang dihitung dengan memperhatikan keadilan dan prinsip asuransi sosial. Salah satu prinsipnya adalah sesuai dengan besar penghasilan,” (Kompas, 09/06/2022).
Harapannya, tidak ada lagi diskriminasi antar kelas, dengan menjadikannya satu standar dalam pelayanan dan iuran.
Jika sekarang iuran Kelas 3 Rp35.000, Kelas 2 Rp100.000, dan Kelas 1 Rp150.000, aturan ini akan dihapus dan digantikan sesuai besaran dari pendapatan peserta. Andaikan iurannya berbeda, pelayanan kesehatan akan disamaratakan.
Yang rencananya setiap pasien akan menempati ruang perawatan dengan standar yang sama, yang sebelumnya terbagi menjadi tiga kelas. Karena ada peleburan kelas rawat inap dari rawat inap BPJS menjadi kelas rawat inap standar.
Selintas, aturan ini terlihat memberikan keadilan. Namun, pada kenyataannya skema pelayanan kesehatan masih berkelas, salah satunya karena masih adanya skema Coordination of Benefits (CoB) dengan sejumlah perusahaan asuransi kesehatan swasta.
Artinya, memang benar pelayanan kesehatan antar peserta BPJS akan sama, namun diskriminasi pun akan tetap ada, setidaknya antara pasien CoB dan pasien BPJS. Pertanyaannya, apakah penghapusan kelas menjadi solusi atas diskriminasi?
Alih-alih menyelesaikan persoalan diskriminasi, pelayanan buruk pun diduga akan tetap sama. Karena pasien CoB akan mendapatkan pelayanan lebih baik dari pada pasien bukan CoB.
Dengan melihat skema pembiayaan BPJS yang bertumpu pada iuran peserta, dan kondisi perekonomian rakyat saat ini yang semakin sulit, kemungkinan keuangan BPJS surplus pun akan sulit. Jangankan untuk bayar BPJS, untuk kebutuhan sehari-hari saja kian susah.
Begitu pun solusi iuran yang disesuaikan dengan jumlah penghasilan peserta BPJS, sungguh bukanlah solusi untuk memperbaiki pelayanan BPJS. Dan hingga kini, perhitungan jumlah iuran yang disesuaikan dengan gaji peserta masih belum jelas sehingga diduga kuat iuran justru akan naik dan memberatkan peserta.
Bagi Peserta BPJS yang bergaji besar bukan tidak mungkin akan meninggalkan BPJS dan beralih pada asuransi non-BPJS. Bagi pegawai yang gajinya minim, bukan tidak mungkin pula akan menunggak iuran BPJS.
Begitu pula aturan baru yang menjadikan Kartu BPJS sebagai syarat mendapatkan sejumlah layanan publik, seperti pembuatan SIM. Rakyat harus mendaftar jadi peserta, walau tidak sanggup membayar iuran. Ini akan mengakibatkan terjadinya penunggakan, alih-alih menghimpun dana, yang terjadi malah penungggakan yang kian membesar.
Sebenarnya jumlah iuran diduga bukan pemicu munculnya persoalan diskriminasi. Konsep iuran seperti apapun, jika pijakan pengaturan layanan kesehatan diserahkan pada swasta, pastinya akan ada pembedaan. Rumah sakit swasta yang menjadi tujuan adalah keuntungan, mereka ingin mendapat keuntungan dari penjualan fasilitas-fasilitas kesehatan pada orang yang mampu saja.
RS swasta yang menyediakan fasilitas mewah tidak diperuntukan untuk masyarakat kelas bawah yang tidak mampu bayar, fasilitas itu diperuntukan untuk orang kaya yang mampu bayar.
Inilah risiko jika kesehatan dikelola swasta, hanya yang memiliki kesempatan saja yang bisa mendapatkan pelayanan maksimal.
Sementara itu, RS milik pemerintah jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan RS swasta, sumber dananya juga sangat terbatas, yaitu dari APBN/APBD dan iuran. Wajar saja jika pelayanan dan faskesnya tidak lebih baik dibandingkan RS swasta.
Beginilah dampak dari penerapan kapitalisme. Persoalan diskriminasi tidak akan mungkin bisa selesai. Dan inilah derita hidup dalam sistem kapitalisme, negara berpihak pada korporasi dan berpaling dari rakyat. Rakyat tidak memiliki pelindung untuk bisa menjamin kesehatan, apalagi kesejahteraannya.
Berbeda dengan sistem Islam, kesehatan dalam Islam dibawah pengurusan seorang imam. Khalifah akan bertanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan pada seluruh rakyat dengan baik. Kekuatan APBN dalam pemerintahan Islam—Baitulmal—akan mampu mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik tanpa pungutan biaya.
Pengelolaan kesehatan langsung dibawah pemerintah, sehingga menjadikan pelayanannya merata bagi setiap pasien tanpa ada perbedaan. RS swasta akan tetap ada tapi jumlahnya sedikit, lantaran RS pemerintah telah memberikan pelayanan terbaik bagi rakyatnya.
Sungguh pelayanan seperti ini yang umat dambakan, jadi segera tinggalkan kapitalisme dan beralihlah pada sistem Islam yang akan mampu menyejahterakan rakyatnya dari segala lini kehidupan.
Wallahu'alam bishshawab
Post a Comment