Oleh : Lia Haryati, S.Pd.I
(Pendidik dan Pendakwah Ideologis)
Hari Senin, 18 Juli 2022 M, awal aktivitas belajar mengajar dimulai. Setelah hampir 2 tahun lamanya pembelajaran via daring akibat wabah Covid-19. Banyak suka duka dirasakan bagi orang tua khususnya seorang ibu. Betapa tidak mudah menjadi guru, wabah covid memberikan hikmah kepada kedua orang tua bahwa benar tugas sebagai seorang guru itu berat, dengan penghasilan tidak besar namun mereka ikhlas mendidik murid-muridnya. Menjadi guru itu luar biasa dihadapkan dengan beragam karakter anak, namun guru berusaha untuk tetap sabar. Dan berusaha untuk selalu memberikan yang terbaik bagi peserta didiknya. Meski iapun memiliki amanah mulia menjadi ibu bagi anak-anaknya.
Hal ini pula yang melatarbelakangi saya menulis, di tahun ajaran baru kami sebagai orang tua disibukkan dengan aktivitas si sulung, putri kami untuk masuk ke sekolah TK, mulai dengan mencari sekolah terbaik, demi menunjang masa depannya kelak, karena masa kanak-kanak adalah masa keemasan yang tidak boleh terlewatkan bagi kami orang tua.
Dan di tahun baru ini luar biasa sebab Allah telah amanahkan dua amanah mulia sekaligus. Menjadi Ummu warabatul ba'it yakni ibu dan pengatur rumah tangga, kewajiban yang berasal dari Allah Subhannahu wa ta'ala. Dan menjadi pendidik bagi anak-anak di salah satu sekolah Madrasah Al-Muhajirin Kragilan. Bukan suatu hal yang mudah untuk melewati fase ini. Sebab amanah ini bukan cuma dipertanggungjawabkan di dunia semata, pun pertanggung jawaban di akhirat kelak. Sebab amanah orang tua atas kepercayaannya kepada sekolah.
Masa kanak-kanak adalah masa mereka masih ingin bermain. Bagaimana seorang guru mampu mendidik tanpa mendikte anak didiknya. Menghadirkan kesadaran dalam belajar tanpa menjadi beban. Menegurnya tanpa menghakiminya sungguh berat amanah menjadi ibu sekaligus menjadi pendidik.
Namun dalam Sistem Kapitalis-Sekuler seperti saat ini, sulit untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dengan harga terjangkau. Mau tidak mau orang tua berpasrah dengan kondisi yang serba sulit lalu memilih sekolah yang telah disediakan pemerintah meski hasil belum memuaskan. Dan tidak sedikit mereka yang ingin anaknya memiliki kualitas pendidikan terbaik sudah pasti berusaha sedemikian mungkin. Belum lagi standar pendidikan saat ini bukan untuk membentuk Aqliyan dan Nafsyiah anak yang memiliki kepribadian Islam. Sehingga akan tumbuh kesadaran anak dalam berfikir, berucap dan bertindak dengan tuntutan Islam. Dimana anak tumbuh kesadaran akan kewajibannya dalam menuntut ilmu, sehingga anak akan termotivasi selalu di dalam belajar.
Sayangnya saat ini anak jauh dari nilai-nilai agama, sebab sistem yang diadopsi adalah Sekuler-Kapitalis dimana kehidupan anak sengaja dijauhkan dari agamanya. Dan kurangnya rasa ta'dzim pada guru. Karena tujuan dalam sistem ini membentuk generasi yang berpikir untung rugi. Tanpa lagi melihat mana yang halal dan mana yang haram. Mana perbuatan yg baik dan mana perbuatan yang buruk. Semua tidak lagi dijadikan rujukan dalam kehidupan anak. Alhasil anak kehilangan jati dirinya sebagai seorang muslim.
Di dalam Islam membentuk kepribadian anak adalah tugas Negara. Dimana Khalifah menjamin pendidikan yang berkualitas dan harga gratis atau terjangkau di kalangan ke bawah. Dan tugas utama Khalifah membentuk Aqliyah dan Nafsyiah peserta didik.
Wa'allahu'alam bishawab
Post a Comment