Oleh: Aghniarie (Penulis)
Bapak Menteri Mahfud MD, selaku Menko Polhukam, mengklaim bahwasanya tidak ada Islamofobia di Indonesia. Menurutnya, setiap muslim dapat bebas beribadah, seperti berpakaian muslim dan bersaing di dunia politik. Mahmud juga mengatakan pemerintah saat ini sedang dalam upaya membangun Indonesia dengan landasan nilai-nilai luhur keislaman. Klaim tersebut disampaikan dalam
menanggapi unggahan di media sosial yang menyebut fenomena Islamofobia di Indonesia. Apakah benar Islamofobia tidak ada di Indonesia, seperti yang di klaim Menko Polhukam?
Islamofobia Menjadi Fenomena
Islamofobia merupakan sikap takut atau fobia, benci, juga memiliki prasangka buruk terhadap Islam beserta pemeluknya. Memang dari sisi ibadah, pemerintah tidak memberi larangan kepada setiap muslim dalam beribadah. Namun, apabila melihat dari sisi yang lain, fenomena islamofobia belakangan semakin marak. Apa indikasinya?
Banyaknya bermunculan para penista agama. Sepanjang 2011 hingga 2021 saja setidaknya terdapat 60 kasus penistaan agama, sebanyak 51 ialah penistaan terhadap Islam. Menurut data direktori putusan MA, bahwasanya agama Islamlah yang paling sering mengalami penistaan, sebesar 83,6%.
Islam sering dijadikan bahan candaan juga diolok-olok para pembenci. Misalnya, penghinaan kepada Rasulullah saw. Ada yang menyebut Rasul berteman dengan jin serta pendusta. Bahkan, seorang tokoh Islam turut mengolok-olok Nabi dengan menyebut masa kecil Nabi saw. sebagai rembesan, kotor, dan dekil, naudzubillah.
Sinisme terhadap Islam dan Arab, juga marak. Mereka menjuluki “kadrun” pada kelompok oposisi pemerintah. Yang bisa terkategori sebagai islamofobia karena Islam memang identik dengan Arab.
Semua itu menjelaskan bahwasanya Islamofobia di Indonesia memang ada. Yang lebih mirisnya, para pelaku penistaan tersebut adalah kalangan muslim sendiri. Itu artinya Islamofobia tidak hanya dilakukan oleh non muslim, tetapi juga dilakukan oleh muslim yang takut dengan agamanya sendiri.
Selain itu berkembangnya narasi serta stigma terhadap umat Islam. Seringkali umat Islam dilabeli dengan sebutan intoleran, radikal, ekstrem, teroris, dan anti keberagaman. Sejak pemerintahan era sekarang berkuasa, stigma itu selalu dialamatkan kepada orang yang kritis pada pemerintah. Orang-orang yang tidak sejalan dengan penguasa dituduh sebagai pelaku ujaran kebencian sera mendapat cap “tidak Pancasilais”.
Akibatnya umat muslim yang taat agama, dicurigai menjadi bibit radikal. Bahkan pemuda yang hafal Al-Qur’an disebut sebagai ekstrem. Menjadikan, gerakan membaca Al-Qur’an dinyinyiri serta dianggap sebagai pengganggu. Sikap penguasa pun sangat tegas dalam menyikapi dan menghukum muslim yang disangka radikal. Sebaliknya terhadap separatisme KKB sangat lembek padahal jelas KKB telah banyak membunuh warga sipil hingga para petugas keamanan negara.
Memang penguasa mengklaim tidak anti-Islam, namun faktanya sangat sensi terhadap umat Islam oposisi begitu sensi? Sehingga banyak ormas Islam yang dituduh radikal hingga dibubarkan. Para aktivisnya juga dikriminalisasi, bahkan dakwahnya pun dicurigai.
Tidak hanya itu upaya dalam memonsterisasi berbagai simbol serta ajaran Islam pun kerap dilakukan. Beberapa waktu lalu begitu santernya tuduhan kepada simbol juga ajaran Islam. Misalnya saja, bendera tauhid dituding bendera teroris, lalu gamis dicap budaya Arab, Khilafah dituduh ajaran yang membahayakan, selain itu Islam juga dituduh agama “impor” yang telah mengajarkan kekerasan serta perang.
Labil
Walaupun, para penguasa tidak langsung mengatakan benci Islam juga masih mengelak saat di sangka menjadi Islamofobia. Tetapi nyatanya, perlakuan dalam pembiaran pada para buzzer yang mendukung penguasa dengan sering melakukan stigma pada Islam membuat masyarakat bisa menyimpulkan bahwa penguasa telah ikut mengamini juga merestui terhadap setiap perilaku para buzzer pendukung tersebut.
Wajar akhirnya publik menilai penguasa hari ini sangat sentimen juga sinis kepada Islam dan kaum muslim yang berseberangan dengan mereka. Selama ini, tidak pernah ada tindakan tegas kepada para buzzer yang sering mengolok-olok juga menghina Islam dengan berbagai tuduhan. Mereka selalu lolos dari jeratan hukum. Hal itu sangat berbeda jika para pelakunya dari oposisi pemerintah. Jika ada laporan, aparat pun sangat cepat dalam bertindak.
Isu “terorisme dan radikalisme Islam", khususnya di Barat dan Indonesia menjadi isu andalan untuk mencegah muslim menjadi ekstrem. Sehingga, pemerintah mencanangkan proyek deradikalisasi lewat program moderasi beragama. Program ini tentu lebih banyak menyasar umat Islam yang disebut sebagai penyemai bibit radikal dan teroris.
Semua itu menunjukkan Islamofobia sedang menjangkiti Indonesia yang merupakan negeri berpenduduk muslim yang terbesar di dunia. Islam selalu dijadikan sebagai pihak yang tertuduh dan dipersalahkan atas segala kasus terorisme.
Islamofobia muncul dari adanya peristiwa 9/11 dengan motor proyek global dari AS “War on Terrorism”. Dari situlah, mulai ditumbuhkan narasi kebencian untuk Islam dan kaum muslim hingga meluas ke seluruh negeri di dunia, termasuk di dalamnya Indonesia.
Jadi, apabila ada muslim yang merasa kondisi Islam serta umat Islam saat ini baik-baik saja, itu tandanya kepekaan dan girahnya terhadap Islam telah luntur. Memang benar, muslim masih bisa leluasa dalam melakukan ibadah mahdhah. Akan tetapi, saat ada muslim yang ingin menjadikan Islam sebagai solusi atas semua permasalahan manusia dan negerinya baik dalam berekonomi, berpolitik, serta bernegara selalu akan dicap negatif.
Seperti yang pernah disampaikan oleh seorang ulama, dan pejuang kemerdekaan, Mohammad Natsir, yang berkata, “Islam beribadah, akan dibiarkan. Islam berekonomi, akan diawasi. Islam berpolitik, akan dicabut seakar-akarnya.”
Bagaimana Muslim harus Bersikap?
Umat Islam harus memahami bahwasanya islamofobia merupakan salah satu dari agenda Barat yang bertujuan untuk melemahkan juga menjauhkan generasi Islam dari agamanya. Musuh terbesar bagi Barat sejatinya adalah Islam. Jika kaum muslim mempunyai kesadaran serta pemahaman Islam yang benar, tentu hal ini akan menjadi ancaman bagi eksistensi ideologi Barat yang telah dijajakan ke negeri-negeri muslim, yaitu sekularisme, kapitalisme, liberalisme, feminisme, pluralisme, serta produk turunan lainnya.
Untuk itu umat harus fokus pada agendanya sendiri, yaitu membangkitkan pemikiran kaum muslim agar mampu berislam secara kafah dengan cara membersihkan segala jenis virus sekuler liberal yang telah menjangkiti pemikiran umat. Islamofobia akan hilang seiring dengan derasnya pemahaman Islam yang mengalir serta dengan adanya penanaman akidah Islam yang kukuh.
Islam bukanlah sekedar agama yang hanya mengatur masalah ibadah kepada Allah saja, akan tetapi Islam adalah aturan hidup yang melingkupi semua aktivitas manusia mulai dari muamalah hingga pemerintahan. Jika ada yang menganggap Islam hanya sebatas ibadah ritual, sama saja menganggap Islam bukan agama yang sempurna.
Seperti halnya pada pemikiran sekuler yang diadopsi oleh Barat, begitulah cara pandang dan berpikir umat Islam hari ini. Beribadah kepada Allah Swt. menggunakan cara Islam. Namun, ketika berpolitik, berekonomi, dan bernegara, menggunakan hukum dan aturan dari buah pikir manusia.
Bukankah Allah Swt. telah memerintahkan kepada hambanya untuk berislam kafah? Seperti yang termaktub dalam QS Al-Baqarah: 208 yang berisi “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu menuruti langkah-langkah setan. Karena sesungguhnya setan itu adalah
musuh yang nyata bagimu.”
Maka satu-satunya jalan untuk mencegah islamofobia menyerang pemikiran umat ialah dengan membina serta memahamkan umat dengan pemikiran juga tsaqafah Islam, menjelaskan kerusakan ideologi dan pemikiran Barat serta dampaknya bagi kehidupan manusia secara umum (muslim dan non muslim), dan membangun kesadaran bahwa keimanan kepada Allah Swt. itu mengharuskan setiap muslim untuk terikat dengan syariat Allah Swt. secara keseluruhan.
Seorang muslim tidak diperbolehkan untuk mengambil hukum Islam sesuka hati lalu mencampakkan hukum yang lain yang dianggapnya tidak sesuai keinginannya. Ia seharusnya bangga dengan keislamannya dan bersedia mengamalkannya dalam seluruh aspek kehidupan, pada individu, juga di tengah masyarakat, dan dalam negara.
Post a Comment