Definition List

Sejahtera dengan Pendidikan Vokasi Hanya Mimpi


Oleh Ummu Aisha
(Muslimah Peduli Perempuan dan Generasi)

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto memastikan, 70 persen atau sekitar 144 juta orang pekerja berada dalam usia produktif akan sejahtera di masa senjanya pasca purnabakti. Jika disiapkan dengan baik, angkatan kerja produktif ini jadi potensi besar untuk mempercepat pembangunan ekonomi, sehingga angkatan kerja itu bisa sejahtera sebelum tua. Apalagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2022, tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Dalam aturan tersebut, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan Kemendikbud Ristek ditugasi untuk membawahi pendidikan vokasi, dengan leading sector berada di bawah Kemenaker. Pendidikan maupun pelatihan vokasi perlu saling melengkapi kebutuhan industri. Juga bisa terhubung dengan sistem informasi pasar tenaga kerja, yang dikuatkan oleh para pelaku industri, dan tentunya perlu disosialisasikan lebih luas agar industri bisa membiayai pelatihan para pekerjanya, atau dirikan vokasi.(www.kumparan.com)

Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ini tentu perlu kita kaji ulang dengan cermat. Karena bisa jadi itu hanyalah klaim saja tanpa bukti yang  rasional, sehingga dapat menyesatkan akal. Jika berbicara sejahtera, maka banyak faktor yang mempengaruhinya. Tidak hanya dipengaruhi oleh kompetensi lulusan seorang pekerja (pendidikan vokasi) tetapi juga dipengaruhi oleh kemampuan dunia usaha dan dunia industri (DIDU) dalam menyerap tenaga kerja.

Sekolah vokasi adalah pendidikan keahlian setara dengan politeknik. Pada dasarnya pendidikan yang lebih berorientasi pada penerapan ilmu, lulusannya harus berkompeten dan terampil dalam bekerja. Begitu juga dengan para pengajarnya, harus memiliki sertifikasi profesi.

Menurut data Kemenristekdikti, pendidikan vokasional di Indonesia terdiri dari 1.365 lembaga pendidikan, di antaranya 1.103 akademi kejuruan dan 262 politeknik. Pendidikan vokasi di Indonesia hanya 16 persen dari seluruh institusi pendidikan yang ada di tanah air. Hal ini jauh berbeda dibandingkan dengan negara China/Tiongkok, dimana 56 persen perguruan tingginya merupakan pendidikan vokasi. Pada intinya, sekolah vokasi diarahkan untuk mencetak lulusan yang siap bekerja sesuai kebutuhan dunia kerja saat ini. Oleh sebab itulah sekitar 70 persen dari isi program pembelajaran merupakan praktik di industri.(www.vokasi.kemdikbud.go.id)
Dengan demikian, pendidikan vokasi sejatinya hanya mencetak tenaga kerja teknis, dan bukan ahli, yang tentunya standar gajinya tidaklah tinggi. Alih-alih sejahtera di masa purna baktinya, menghidupi keluarganya saat ini pun perlu kerja keras banting tulang belum tentu sejahtera. Apalagi lulusan dari pendidikan vokasi tetap tidak menemukan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya, makin tidak jelaslah nasibnya, penghasilan tak jua didapatkan. Sebagaimana yang disampaikan Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah bahwa pemerintah perlu memperkuat koordinasi dengan industri agar tenaga kerja dari vokasi bisa terserap maksimal. “Persoalan ada di koordinasi, semua asik jalan sendiri. Karena kalau bikin sekolah dianggap sudah berhasil. Namun karena dibiarkan ‘jalan sendiri’, maka daya serap tenaga kerjanya kurang. Ada ledakan suplai (tenaga kerja) tidak dibantu pertumbuhan terciptanya lapangan kerja. Ini menyebabkan, pengangguran terbesar di Perguruan Tinggi dan SMK,” tambah Piter. Lebih lanjut Piter menambahkan, pemerintah perlu mencari solusi kurang terserapnya angkatan kerja vokasi ke dunia kerja atau industri. (www.suarapemredkalbar.com). 

Dari fakta diatas dapat disimpulkan bahwa tidak ada kepastian bagi rakyat yang menempuh pendidikan vokasi bisa sejahtera. Dan sebaliknya, jika negara abai pada lulusan pendidikan vokasi ini tidak mendapatkan lapangan kerja, justru penganguran yang akan menambah permasalahan negara menjadi masalah yang lebih kompleks. Kriminalitas akan semakin meningkat karena faktor ekonomi yang tidak memadai. Sebagai salah satu contoh, terjadinya PHK besar-besaran, dapat menambah deretan angka pengangguran. Seperti yang disampaikan CEO Philips, Roy Jakobs, dikutip dari Reuters, Senin (24/10).  "Kami sekarang mengalami penurunan penjualan selama lima kuartal, laba menurun, dan sekarang (kuartal ketiga) kami juga merugi," kata Roy Jakobs yang baru diangkat menjadi CEO Philips, permintaan menurun di beberapa negara, terutama China dan melambat di Eropa Barat akibat inflasi. Pada kuartal III tahun ini, penjualan turun 6 persen menjadi 4,3 miliar euro, disebabkan masalah pasokan. Philips memutuskan akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), menyusul anjloknya penjualan akibat penarikan ventilator dan peralatan medis dari pasar. Jumlah pekerja yang bakal terkena PHK mencapai 4.000 orang.  (www.kumparan.com)

Lalu, masihkah mengharapkan sejahtera? Harapan itu hanya ada di dalam mimpi-mimpi rakyat, tak jua terealisasi. Ditambah lagi dengan minimnya upah pekerja, sejahtera pun jauh dari realita. Meskipun ada kenaikan upah, itu hanyalah untuk mengimbangi adanya inflasi saja. Sebagimana yang disampaikan Menteri Tenaga Kerja (Menaker). Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah memberi sinyal positif soal upah minimum provinsi (UMP) 2023. Ia mengatakan kenaikan UMP akan disesuaikan dengan inflasi. Menurutnya, besaran kenaikan akan sejalan dengan inflasi dan kondisi perekonomian yang kemungkinan terjadi di tahun depan. Selain itu, juga mempertimbangkan kondisi pelaku usaha. (www.cnnindonesia.com ). 

Oleh karena itu, jika upah/gaji naik hanya sekadar menyesuaikan dengan inflasi, sementara harga barang-barang tetap dan cenderung naik, biaya kesehatan dan pendidikan tetap besar, maka kesejahteraan masyarakat, termasuk yang berpendidikan vokasi pun semakin jauh dari realitanya. Hakikatnya, sekolah vokasi hanyalah mempersiapkan tersedianya tenaga kerja atau tenaga ahli yang siap dipekerjakan untuk dunia usaha dan dan dunia industri (DUDI). Ketersediaan tenaga kerja dan tenaga ahli ini, tidak berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat. Dalam sistem kapitalisme saat ini,  beban rakyat sangatlah berat, hingga menurunnya daya beli masyarakat. Ini pun berdampak pada turunnya omset penjualan barang di perusahaan industri. Untuk menstabilkan kondisi perusahaan, PHK adalah jalan yang ditempuhnya karena perusahaan tidak mau menanggung kerugian yang lebih besar lagi. Jika PHK besar-besaran yang terjadi, maka kesejahteraan macam apa yang diharapkan masyarakat?  Apakah pernyataan dari menteri perekonomian yang memastikan kehidupan sejahtera di masa tua tersebut terealisasi jika PHK besar-besaran yang justru terjadi? Sejahtera hanyalah menjadi mimpi belaka. 

Banyak faktor yang membuat masyarakat hidup sejahtera. Mulai dari ketersediaan lapangan pekerjaaan bagi kepala keluarga yang berkewajiban menafkahi keluarganya. Juga harga-harga pangan, biaya kesehatan, biaya pendidikan yang besar, jika semakin hari semakin besar jumlahnya, sedangkan tidak ada kenaikan gaji, maka dapat dipastikan kesejahteraan hanya akan sekadar harapan, tidak dapat direalisasikan. 

Jika sistem kapitalisme ini yang memimpin kehidupan, maka kesejahteraan akan mustahil kita harapkan. Sudah menjadi tabiat dari sistem kapitalisme bahwa yang kaya akan makin kaya, yang miskin makin miskin. Bagaimana tidak dikatakan seperti itu, sumber daya alam milik Allah ini, dieksploitasi sekelompok orang (baca: oligarki) dan keuntungannya pun untuk kelompok mereka sendiri. Rakyat hanya gigit jari, merasakan kerusakan lingkungan, polusi dampak dari eksploitasi SDA, sehingga mengharapkan sejahtera dalam sistem kapitalisme adalah mimpi.

Sejahtera hanya akan dapat diraih ketika kita menerapkan Islam secara kafah. Islam yang diterapkan dalam Daulah Islam akan melayani rakyat sesuai dengan hukum syariat. Mulai dari urusan pemerintahan, ekonomi, peradilan, pergaulan, pendidikan dan politik dalam-luar negeri semuanya menerapkan syariat Islam. 

Sistem ekonomi Islam melarang Sumber Daya Alam (SDA) yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh sekelompok orang saja. SDA itu sejatinya milik rakyat, yang dikelola Daulah Islam dan didistribusikan pada rakyat dengan harga yang sangat murah sehingga tidak membebani ekonomi keluarga. Selain itu, biaya kesehatan dan pendidikan yang gratis dari Daulah Islam menyebabkan beban keluarga menjadi minimal. Semua kepala keluarga dijamin mendapatkan pekerjaan sehingga mampu menafkahi keluarga dengan layak.

Oleh karena itu, hanya dengan penerapan Islam secara kafahlah kesejahteraan masyarakat dapat diraih. Tentunya penerapan syariat tersebut dalam naungan Daulah Khilafah Islam. Karena ini adalah aturan yang bersumber dari Ilahi dan sesuai dengan manhaj Rasulullah saw. Wallahua'lam bishshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post