oleh Siami Rohmah
Pegiat Literasi
Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia baru dilaksanakan. Sebuah catatan dari ICW (Indonesia Coruption Watch) menyebutkan angka korupsi yang tinggi di Indonesia, khususnya di kalangan politisi.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menyebutkan, "Berdasarkan data penindakan KPK, sepertiga pelaku korupsi yang diungkap selama 18 tahun terakhir berasal dari lingkup politik, baik legislatif (DPRD maupun DPR RI) dan kepala daerah dengan jumlah 496 orang." (tirto.id)
Korupsi di negeri ini memang seolah tak terbendung, bahkan semakin menggurita, meskipun sudah ada lembaga pemberantasan korupsi, yaitu KPK, tapi praktek korupsi dari pusat sampai di daerah semakin menjadi, tak heran jika kepercayaan masyarakat semakin menurun. Bahkan di tahun ini citra KPK berada di titik terendah dalam lima tahun terakhir. Hal ini diungkap peneliti Litbang Kompas, Rangga Eka Sakti. "Citra KPK terekam berada di angka 57 persen, paling rendah dalam lima tahun terakhir" ungkap Rangga. (kompas.com)
Fakta berbagai praktek korupsi di negeri ini yang begitu parah memang sungguh memprihatinkan, jika kita melihat apapun posisi jabatan seseorang bisa melakukan korupsi. Bahkan seolah seperti budaya, tak heran jika Indonesia disebut oleh The Strait Time sebuah koran di Singapura sebagai "The envelope country." Karena apapun urusan banyak diselesaikan dengan amplop.
Upaya pemberantasan korupsi sebenarnya sudah dilakukan, seperti dengan pembentukan lembaga pemberantasan korupsi semisal KPK, namun ternyata dalam sistem kapitalisme saat ini tetap saja uang yang berbicara. Bahkan banyak yang melihat ada upaya pelemahan KPK. Mereka yang pada akhirnya terjebak dalam lingkaran korupsi karena terwarnai oleh sistem, yang menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Misalkan, seorang pejabat atau penguasa ketika dulu sebelum mendapat jabatan dan kekuasaan mereka rela mengeluarkan modal besar. Sehingga ketika berada "dilahan basah" mereka tak segan mengambil kesempatan untuk mengembalikan modal. Hal ini diperparah budaya tahu sama tahu dimasyarakat, bahwa mempermudah urusan dengan "amplop".
Tentu butuh solusi untuk memberantas korupsi yang sudah luar biasa, sehingga budaya ini bisa hilang di negeri ini Dalam Islam ada berbagai upaya yang bisa dilakukan sehingga praktek korupsi tidak terjadi.
Pertama, sistem penggajian yang layak. Meskipun gaji yang layak tidak menjamin orang tidak korupsi, namun ketika gaji sudah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tentu kecil kemungkinan akan tergoda untuk mengambil langkah korupsi.
Kedua, adanya larangan menerima suap dan hadiah. Pemberian hadiah apalagi suap untuk penguasa ada maksud dibelakangnya, yaitu untuk melancarkan maksud si pemberi hadiah. Rasulullah bersabda, "Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram)dan suap yang diyerima hakim adalah kuufur". (HR.Imam Ahmad).
Ketiga, perhitungan kekayaan. Seorang pejabat akan dihitung hartanya sebelum dan sesudah menjabat, jika ditemukan harta yang tidak wajar, maka dia harus bisa membuktikan hartanya itu diperoleh dari cara yang halal. Jika gaga maka separo harta akan diberikan ke baitul mal.
Keempat, teladan pemimpin. Seorang pemimpin yang bertakwa dia akan selalu berhati - hati jangan sampai menikmati sesuatu yang bukan menjadi haknya. Jika pemimpin bisa menjadi teladan maka pejabat dibawahnya akan mengikuti. Berbeda dengan sekarang yang malah para pemimpin sebagai pelaku korupsi. Kelima, hukuman yang setimpal. Hukuman yang setimpal akan menjadi pencegah (zawajir) bagi yang lain. Hukuman pelaku korupsi bisa mulai dari pemberitaan, penyitaan, penjara, bahkan bisa hukuman mati.
Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat bisa menjadi titik kontrol korupsi. Masyarakat yang bertakwa tidak akan mau diajak pejabatnya untuk melakukan penyimpangan. Misal memberi hadiah atau suap untuk mempermudah dan mempercepat urusannya.
Demikianlah, syari'at Islam mengatur bagaimana korupsi bisa diberantas. Maka sudah saatnya kita mengambil solusi yang begitu gamblang bisa mencegah korupsi yang kian menjadi di negeri ini. Wallahualam bissawab.
Post a Comment