Pilarmabda.com |
Oleh Kartika: Aktivis Muslimah
Pemerintah dengan bangga mengatakan bahwa pajak semata untuk rakyat. Padahal, rakyat tidak merasakan kebermanfaatan pajak lantaran semua yang diklaim dibangun oleh pajak atau disubsidi pajak, tapi faktanya justru memberatkan ekonomi rakyat.
Seperti yang dilansir oleh kontan.co.id, Minggu, (01/01/2023), Mulai hari ini, Minggu 1 Januari 2023, pemerintah menerapkan ketentuan baru terkait tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan. Berikut tarif pajak PPh yang berlaku tahun 2023 ini. Cek juga kelompok yang bebas pajak PPh.
Pemerintah telah menerbitkan aturan baru mengenai tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan. Penyesuaian tersebut dalam rangka menekan defisit anggaran dan meningkatkan tax ratio, sehingga pemerintah mengambil langkah kebijakan fiskal.
Salah satunya kebijakan yang diambil pemerintah adalah dengan melakukan reformasi di bidang perpajakan.
Pajak saat ini dijadikan alat untuk memalak rakyat dan rakyat pun semakin melarat. Ini merupakan bentuk kezaliman dan perampasan hak orang lain. Pajak dalam sistem kapitalisme yang dikenakan atas semua barang, transaksi dan jasa termasuk pungutan yang diharamkan oleh syariat.
Berbeda dengan Islam, penguasa diharamkan mengambil pungutan dari rakyat yang tidak sesuai syariat. Nabi saw. bersabda:
Ù„َا ÙŠَدْØ®ُÙ„ُ الْجَÙ†َّØ©َ صَاØِبُ Ù…َÙƒْسٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak.”
Satu-satunya sistem yang bisa menjamin keberkahan dan keadilan hanyalah sistem Islam. Karena hanya Islam yang mampu menciptakan kehidupan yang berkah dan menyejahterakan. Saat ini umat sangat mendambakan keadilan. Termasuk keadilan dalam bidang ekonomi. Kehidupan ekonomi yang berkeadilan menjauhkan manusia dari kepemilikan harta secara zalim. Ekonomi yang adil tidak berpihak hanya pada kelompok tertentu, seraya mengabaikan kaum lemah.
Ada 3 hal yang menjadikan Islam mampu menciptakan kehidupan yang berkah dan menyejahterakan.
Pertama, setiap muslim, termasuk penguasanya, menjalankan aturan Islam didorong oleh ketakwaan kepada Allah Swt., bukan semata karena motif ekonomi, yakni mendapatkan keuntungan. Terutama bagi para penguasa Allah Swt. memerintahkan untuk menunaikan dan mengelola harta umat sebagai amanah dengan sebaik-baiknya.
Kedua, syariat Islam mencegah konsentrasi kekayaan hanya pada segelintir orang untuk mencegah kesenjangan sosial di tengah masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai pelaksanaan perintah Allah Swt.,
ÙƒَÙŠْ Ù„َا ÙŠَÙƒُونَ دُولَØ©ً بَÙŠْÙ†َ الْØ£َغْÙ†ِÙŠَاءِ Ù…ِÙ†ْÙƒُÙ…ْ
“…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS Al-Hasyr [59]: 7)
Ketiga, Islam telah mengharamkan memakan harta orang lain secara zalim. Allah Swt. berfirman,
ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا Ù„َا تَØ£ْÙƒُÙ„ُوا Ø£َÙ…ْÙˆَالَÙƒُÙ…ْ بَÙŠْÙ†َÙƒُÙ…ْ بِالْبَاطِÙ„ِ Ø¥ِÙ„َّا Ø£َÙ†ْ تَÙƒُونَ تِجَارَØ©ً عَÙ†ْ تَرَاضٍ Ù…ِÙ†ْÙƒُÙ…ْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian secara batil (zalim), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar keridhaan di antara kalian.” (QS An-Nisa’ [4]: 29)
Setiap pengambilan harta dengan cara paksaan (ghashab) dan menyalahi hukum Islam adalah perbuatan zalim.
Larangan ghashab ini berlaku umum, termasuk oleh penguasa. Dalam syariat Islam, negara diharamkan memungut harta—seperti berbagai pajak saat ini—tanpa keridhaan rakyat dan bertentangan dengan syariah Islam. Harta rakyat terlindungi oleh hukum-hukum Allah Swt. Negara hanya berhak memungut zakat dari kaum muslim, jizyah dari warga nonmuslim, serta kharaj bagi warga muslim ataupun ahludz-dzimmah yang tinggal di tanah kharajiyah saja.
Dalam Islam, pungutan pajak (dharîbah) hanya dipungut ketika kas negara dalam keadaan krisis. Artinya, pajak bersifat temporer (sewaktu-waktu/tidak terus-menerus). Itu pun hanya diambil dari warga muslim yang kaya saja (nonmuslim tidak dikenai pajak). Islam dan syariatnya adalah solusi kehidupan umat saat ini.
Wallahu a’lam bishshawab
Post a Comment