Oleh : Anis Fitriatul Jannah
(Pemerhati Remaja)
Kesejahteraan menjadi cita-cita semua orang, tanpa terkecuali. Begitupun yang hidup dalam negara. Tentu, penjaminan kesejahteraan ini harapannya bukan hanya menjadi pemanis bibir ketika mencalonkan diri. Tetapi, benar-benar harus menjadi cita-cita pemimpin negeri ini. Namun, benarkah hari ini demikian adanya? Benarkah pemimpin negara ini bercita-cita meratakan yang namanya "sejahtera"?
Nampaknya, perumpamaan 'ibarat panggang jauh dari api' sangat cocok untuk menggambarkan kondisi negara kita saat ini. Di mana, kesejahteraan yang rakyat harapkan hanya ilusi atau mimpi di siang bolong. Bagaimana tidak? Jika hal yang membuat mereka sejahtera dengan penetapan pajak oleh negara atas mereka? Bahkan pajak ini dijadikan pendapatan utama negara. Tahun 2023, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 1.718 triliun dan berbagai upaya dilakukan untuk mencapai target tersebut. (CNBC Indonesia, 2/12/2022).
Hal ini tentu tak mengherankan dalam negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Berbagai upaya akan dilakukan baik dari pihak negara/swasta/asing untuk mendapatkan keuntungan. Bahkan, keuntungan tersebut (dalam hal ini berupa pajak) diperoleh dari pihak yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya, yakni rakyat. Sistem kapitalis tak memberi ruang bagi orang-orang yang tak bermodal, kecuali dia dijadikan pelayan, sebagaimana rakyat hari ini.
Pajak merupakan harta yang ditarik oleh pemerintah dari rakyat tanpa kerelaan. Berbagai jenis pajak diwajibakan atas rakyat demi memakmurkan negeri ini. Padahal, jelas-jelas bukan tanggung jawabnya. Penetapan berbagai jenis pajak atas rakyat ini merupakan bukti lepas tanggung jawabnya negara atas kesejahteraan rakyat.
Hal ini berbanding terbalik dengan pandangan Islam terkait pajak. Di mana pajak (dharibah) dalam Islam merupakan sumbangan sukarela dari kaum muslimin. Adapun hukum asal pemungutan pajak dari rakyat menurut syariah Islam adalah haram. Hanya saja, memang ada kondisi-kondisi tertentu di mana syariah Islam membolehkan negara menetapkan pajak atas rakyat. Pertama, apabila harta dalam baitul mal habis atau tidak bisa mencukupi untuk men-cover kepentingan rakyat dalam daulah. Kedua, pajak di dalam Islam dilakukan secara selektif, tidak lantas kepada semua pihak. Ketiga, pajak di dalam Islam hanya sebagai pemasukan pelengkap bukan pemasukan utama. Negara Islam memungut pajak hanya jika negara berada dalam kondisi darurat saja, bukan setiap saat.
Kebutuhan dan pos pengeluaran yang pembiayaannya bisa diambil dari pajak, jika Baitul mal dalam kondisi darurat adalah : Pertama, pembiayaan jihad dan semua hal yang berkaitan dengan aktivitas jihad. Kedua, pembiayaan industri militer maupun pabrik penunjangnya. Ketiga, pembiayaan bagi fakir miskin. Keempat, pembiayaan untuk gaji tentara. Kelima, pembiayaan yang harus dikeluarkan demi kemaslahatan umat yang keberadaanya sangat dibutuhkan, misalnya pembiayaan jalan umum, sekolah, universitas, rumah sakit, masjid, pengadaan saluran air minum, dll. Keenam, pembiayaan untuk keadaan darurat maupun bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, dll.
Dengan demikian, penetapan APBN (Anggara Pembelanjaan Negara) menurut syariah Islam tidak boleh menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama, melainkan hanya sebatas sumber pemasukan pelengkap. Dan lagi-lagi, ini hanya akan terjadi bila Khilafah Ar Rasyidah sudah tegak, karena negara memiliki pemimpin yang akan menerapkan aturan Islam secara keseluruhan dalam setiap aspek kehidupan, tanpa terkecuali. Aturan yang bersumber dari al-qur'an dan as-sunnah. Dengan sumber aturan yang shohih, daulah Islam mampu menyehjahterakan ummat tanpa sedikitpun menzalimi. Sehingga, sejahtera bukan hanya ilusi melainkan fakta nyata yang akan dirasakan ummat di seluruh dunia.
Post a Comment