Oleh : Heni Pendidik|Generasi
Biaya penyelenggaraan ibadah haji 2023 diusulkan naik menjadi Rp69 juta demi keadilan dan keberlangsungan manfaat dana haji. Pada saat yang sama Arab Saudi justru menurunkan biaya asuransi umrah dan haji tahun 2023 ini sebesar 73%.
Seperti yang dilansir oleh cnnindonesia.com, Jumat (23/01), Pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang harus dibayarkan oleh calon jemaah haji jadi sebesar Rp69 juta. Jumlah ini adalah 70 persen dari usulan rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909,11. Sementara, 30 persen sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat sebesar Rp29,7 juta. Alasan kenaikan tersebut adalah untuk memenuhi prinsip keadilan dan keberlangsungan dana haji. Usulan Menag tersebut lantas mendapat kritik dari berbagai pihak.
Kenaikan biaya ini tentu menimbulkan pertanyaan akan komitmen negara memudahkan ibadah rakyatnya yang mayoritas muslim. Di tengah kesulitan ekonomi, negara seharusnya memfasilitasi rakyat agar lebih mudah beribadah. Kenaikan biaya justru menimbulkan dugaan adanya kapitalisasi ibadah, di mana negara mencari keuntungan dari dana haji rakyat.
Sungguh berbeda pengaturan ibadah haji di bawah naungan pemerintahan Islam. Negara akan mempermudah rakyat dalam menjalankan ibadah haji dan memberikan fasilitas terbaik untuk para tamu Allah.
Dan apakah sebenarnya penyebab utama terjadinya polemik ini?
Kehidupan saat ini dikuasai oleh ideologi kapitalisme sekularisme sehingga penyelenggaraan haji pun tidak bisa terlepas darinya. Pola pikir dan pola sikap manusia akhirnya banyak dipengaruhi sistem hidup ini. Ideologi kapitalisme memiliki standar perbuatan berupa manfaat dan standar kebahagiaannya adalah materi. Kapitalisasi akhirnya wajar terjadi termasuk dalam hal pelayanan publik yang terkait urusan rakyat. Bahkan dalam masalah ibadah, penguasa yang seharusnya menjadi pelayan rakyat berubah menjadi seperti pengusaha yang mempertimbangkan aspek manfaat dengan perhitungan untung-rugi. Ibadah haji dalam pandangan kapitalisme menjadi salah satu peluang bisnis yang bisa dieksploitasi.
Bisnis transportasi, perhotelan, catering, jasa perizinan, jasa pembimbingan, merupakan contoh bisnis menggiurkan saat pelaksanaan ibadah haji. Dana setoran haji yang terkumpul begitu besar juga menjadi incaran bahkan oleh negara. Individu rakyat yang muslim pun tak lepas dari pengaruh kapitalisme saat akan menunaikan ibadah haji. Mereka yang belum punya kemampuan menggunakan lembaga perbankan yang berbisnis talangan haji supaya bisa mendapatkan nomor porsi. Akibatnya antrean haji menjadi begitu panjang.
Islam memiliki solusi untuk menyelesaikan persoalan ini, antara lain:
Pertama, membangun kembali kesadaran Individu muslim bahwa kewajiban haji itu bagi yang mampu secara fisik, mental dan finansial.
Kedua, negara melakukan penataan ulang pendaftaran calon jemaah baru berdasarkan kemampuannya untuk berangkat melaksanakan ibadah haji dan kuota yang ada.
Ketiga, negara memberi fasilitas demi kemudahan dalam penyelenggaraan ibadah haji. Dalam melayani para jemaah haji ini paradigma sistem pemerintahan Islam adalah riayatu syuun al-hujjaj wa al-ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi.
Negara akan membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kelancaran, ketertiban, keamanan dan kenyamanan para jamaah haji. Dalam menetapkan ONH (ongkos naik haji), nilainya disesuaikan berdasarkan jarak wilayahnya dengan Makkah, serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari Tanah Suci.
Pemerintah juga membuka opsi: rute darat, laut dan udara dengan konsekuensi biaya yang berbeda. Supaya keterbatasan tempat bagi para calon jemaah haji tidak menjadi kendala maka kuota haji diatur oleh pemimpin (khalifah) dengan memperhatikan: kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup; kewajiban haji hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jemaah yang belum pernah haji, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan.
Strategi-strategi tersebut hanya bisa diaplikasikan secara paripurna dalam sistem Islam, bukan dalam kapitalisme. Selama penyelenggaraan ibadah haji dalam kapitalisme dan terjadi kapitalisasi haji maka masalah mahal dan antri tak akan ada ujungnya. Dalam Islam, penguasa adalah pelayan umat. Setiap kebijakan diupayakan senantiasa memudahkan urusan rakyatnya.
Wallahu a'lam bishshowab
Post a Comment