Definition List

Flexing Dan Krisis Identitas Para Pemuda Buah Sistem Kapitalisme



Oleh: Kuni Lathifah

(Pendakwah) 


Pemuda usia produktif adalah salah satu aset paling berharga bagi sebuah bangsa dan peradaban. Digdayanya sebuah peradaban ditopang oleh para pemuda usia produktif. Menilik sejarah 3 ideologi di dunia yaitu Ideologi Islam dengan nama nama para pemudanya seperti Ali bin Abi Tholib, Salman Al Farisi, Musháb Bin Umair, Thariq bin Ziyad bahkan Muhammad Al Fatih. Nama nama tersebut adalah sebagian kecil nama yang menjadikan Ideologi Islam mencapai kejayaan pemerintahan Islam selama 14 abad. 


Kedua ideologi Sekuler yang lahir di Perancis juga digawangi oleh para pemuda pemikir yaitu Leonardo da Vinci, Francis Bacon, Galileo Galilei, Rene Descartes, rata-rata usia mereka adalah kisaran usia pemuda (menilik kriteria usia pemuda 16-30 tahun). Ideologi yang ke 3 yaitu sosialis komunis diinisiasi oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Selain tokoh tokoh pemuda yang menggawangi sebuah peradaban dan sistem pemerintahan, maka yang menjadi kesamaan tokoh tokoh tersebut adalah bahwa mereka semua adalah para pemikir. Meyakini sesuatu dengan pemikiran dan mengawalnya sebagai sebuah peradaban.


Pemikiran adalah salah satu tanda aktifnya akal pada manusia. Melalui pemikiran, pemuda mampu membedakan aktivitas yang benar dan salah, bermanfaat dan tidak manfaat. Namun, pemikiran pemuda saat ini jika dikaitkan dengan aktivitas media sosial maka terdapat kegamangan identitas diri. Fenomena flexing yang semakin tinggi menjadikan para pemuda usia produktif sebagai pelaku sekaligus korban. 


Mengutip Urban Dictionary, flexing adalah tindakan menyombongkan diri tentang hal-hal yang berhubungan dengan uang, Berapa banyak uang yang kita miliki atau barang mahal apa saja yang kita koleksi, bisa dikatakan flexing adalah pamer. Flexing yang terjadi di media sosial biasanya diberi istilah demi konten atau mengkontenkan apapun untuk mendapat adsense. Aktivitas flexing ini dapat berupa selfie atau pembuatan konten dimana Associate profesor fakultas studi media dan informasi dari University of Western Ontario, Anabel Quan-Haase, mencermati bahwa selfie dapat mengungkapkan bagaimana seseorang ingin dipandang oleh orang lain. Bahkan menurut Associate Professor psikologi dari Iowa State University, Zlatan Krizan, dapat berkaitan dengan perbandingan sosial (social comparison), di mana seseorang cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain secara online.


Mereka ingin mengalahkan teman-temannya di media sosial dengan menunjukkan bahwa foto atau video tentang kehidupannya lebih menarik. Flexing berupa selfie dan pembuatan konten menuai tragedi ke sekian kalinya dengan kasus di Bogor tanggal 3 Maret 2023 yaitu tewasnya seorang remaja yang sedang membuat konten mau gantung diri dengan kain. Kursi penopang jatuh dan leher terlilit kain sehingga menewaskan remaja tersebut. (cnnIndonesia.com/03/03/2023).


Pembuatan konten berbahaya dengan resiko besar membuka mata semua orang agar peduli dengan gejolak eksistensi pemuda saat ini dan besarnya pengaruh sosial media pada kehidupan pemuda. Pemikiran yang seharusnya menopang sebuah perbuatan sebagaimana ditunjukkan dalam kitab At-Tafkiir (syekh Taqiyuddin An Nabhany) bahwa proses berpikir diawali dari adanya fakta yang terindera yang dikaitkan dengan otak dan ilmu (informasi yang ada) maka dihasilkan pemikiran dan perbuatan. Seharusnya gantung diri ketika dipikirkan maka itu hal yang buruk dan berbahaya, sehingga hasil berpikirnya tidak mengarah pada pembuatan konten yang buruk dan atau berbahaya. 


Dorongan flexing dan pembuatan konten untuk eksistensi atau untuk adsense dengan konten berbahaya didasari oleh pemikiran kapitalis yang menjadi mercusuar saat ini. Dimana segala sesuatu akan dipandang dari sisi ekonomi bukan manfaat atau tidaknya, sehingga apapun akan dilakukan (menghalalkan segala cara). Tradisi media sosial yang cenderung memberi kesempatan netizen tanpa prestasi viral semakin menambah kompleksitas pekerjaan rumah media sosial dalam fungsinya edukasi, hiburan, dan informasi. Terjadi keterputusan informasi atau minimnya informasi tentang salah dan benar pada fase ilmu sebelumnya dalam proses berpikir. Sehingga perbuatan flexing dan atau pembuatan konten berbahaya adalah berasal dari taraf berpikir yang rendah. Hal tersebut juga merupakan gejala terjadinya krisis identitas dimana para pemuda cenderung meniru gaya hidup viral dan terkenal atau kaya dengan cepat hanya dengan konten.


Kondisi tersebut meredupkan produktivitas pemuda dalam mengembangkan potensi dan memanfaatkan karyanya untuk perkembangan peradaban. Indonesia, sebagai negeri muslim terbesar, merupakan kerugian akut ketika potensi pemudanya tidak mampu menumbuhkan peradaban Islam dengan segala keagungannya. Mencermati ketiga ideologi diatas, maka peradaban Islam memberi amunisi komponen sempurna bagi terjadinya proses berpikir karena di ranah informasi, maka informasi yang akan disediakan oleh otak adalah informasi berupa petunjuk petunjuk ilahiah dari yang Maha Benar. Hal tersebut tidak terjadi pada 2 ideologi yang ada yaitu sekuler kapitalis yang cenderung fokus pada asas manfaat ataupun ideologi sosialis komunis yang justru menafikan fitrahnya manusia dalam meyakini Tuhan.  


Pada akhirnya, solusi bagi fenomena flexing dan krisis identitas adalah dikembalikannya pemuda pada pemikiran bahwa Allah memberi potensi yaitu kebutuhan jasmani, naluri mempertahankan diri (eksistensi), naluri melestarikan keturunan, dan naluri mengangungkan sesuatu (beragama) dengan pengaturan potensi sesuatu dengan hukum Allah yaitu halal, sunnah, mubah, makruh dan haram. Jika pemuda mendasarkan pemikirannya pada pondasi agama tersebut, maka flexing dan krisis identitas niscaya tidak akan berkembang.

Post a Comment

Previous Post Next Post