Pilarmabda.com |
Annisa Eres
Pemerhati Sosial
Label negatif pada ibu pengajian yang dianggap lalai memperhatikan anak, mengakibatkan anak stunting sebenarnya tidak berdasar. Tidak ada data yang menunjukkan hubungan keaktifan ibu dalam pengajian menjadikan anak stunting dan tidak terurus.
LABEL BURUK PADA IBU PENGAJIAN
Kalimat yang menyudutkan ibu pengajian dan label buruk diucapkan oleh sekelas orang nomor satu di Indonesia. Mantan presiden RI yang ke 5, mengatakan bahwa ibu-ibu yang sering ikut pengajian bisa menyebabkan anak stunting akibat lalai dalam mengurus anak.
Terlihat stigma negatif yang sedang dibangun di tengah masyarakat. Seolah-olah ibu yang ikut pengajian tidak memperhatikan anaknya dan membiarkan begitu saja.
Padahal pengajian itu hanya dilakukan seminggu sekali, atau 2 pekan sekali atau sebulan sekali atau bahkan 2 bulan sekali dengan durasi 1 jam, paling lama 3 jam.
Fakta bahwa ibu ibu pengajian menjadi penyebab anak stunting tidak bisa diterima dan tidak masuk akal.
Dilansir dari laman yankes.kemkes.go.id (14-09-2022), bahwa penyebab anak stunting adalah karena rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani.
Kata kuncinya adalah akses. Akses bagi seorang ibu untuk mendapatkan makanan yang bergizi harus disediakan oleh suami dengan nafkah yang layak.
Nafkah yang layak inilah yang harusnya menjadi jaminan bagi negara terhadap setiap kepala keluarga. Karena sudah menjadi tanggung jawab negara memberikan lapangan pekerjaan yang mencukupi dan upah yang layak.
Sehingga dengan upah yang layak tersebut daya beli dan akses terhadap makanan bergizi terpenuhi. Bukan karena ketidak tahuan ibu ibu pengajian. Meskipun ibu ibu pengajian paham, tetapi jika nafkah nya rendah maka anak pun rentan terkena stunting.
STUNTING ADALAH MASALAH TURUNAN
Menurut hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2022, prevalensi stunting masih 21,6%. Artinya masih sangat banyak kasus stunting yang tidak tertangani dengan baik.
Jika ditarik lebih jauh, ini adalah masalah yang kompleks dan serius. Masalah kemiskinan, kelaparan, dan kekurangan gizi yang menjadi satu kesatuan tak terpisahkan.
Jadi, masalah utamanya adalah kemiskinan dan harga kebutuhan pokok yang mahal, dan stunting adalah masalah turunannya. Bukan pada pengetahuan yang rendah pada ibu ibu pengajian dan abainya mereka pada anak.
Kemiskinan dan tingginya harga kebutuhan pokok adalah masalah yang hanya bisa diselesaikan oleh pemerintah dan memang sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyelesaikan masalah stunting juga kemiskinan sampai ke akar masalahnya, yaitu penyediaan lapangan kerja dan upah yang mencukupi seluruh kebutuhan rakyat.
Namun, sayangnya pemerintah yang konsisten dengan sistem demokrasi dan kapitalisme nya tidak akan pernah bisa mengentaskan kemiskinan. Apa buktinya? Data dari bps.go.id menunjukkan sejak tahun 2012 sampai 2022 tren grafik kemiskinan terlihat stabil. Terjadi penurunan dan kenaikan yang tidak signifikan. Bahkan sejak Maret 2022 jumlahnya meningkat.
Jika dihitung jumlahnya, sungguh sangat menyedihkan. Per September 2022 ada 26,36 juta jiwa (9,57%) penduduk miskin di Indonesia. Hampir 10% dari total rakyat Indonesia.
Grafik kemiskinan yang hampir stabil menunjukkan seberapa seriusnya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Pemerintah hanya bertekad untuk menurunkan bukan mengentaskan kemiskinan. Bagaimana mungkin stunting juga bisa dinihilkan sedangkan kemiskinan merajalela?
KESALAHAN SISTEM
Sangat masyhur kisah pemimpin Islam yang kedelapan, pemimpin Dinasti Umayyah, Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dengan masa kepemimpinan yang sangat singkat (2-3 tahun), Khalifah mampu membuat negara surplus. Terbukti dengan tidak adanya (nihil) rakyat yang mau menerima zakat. Saking mereka sudah sejahtera. Akhirnya Khalifah membiayai pernikahan umat dan membayarkan utang piutang diantara umat.
Apa yang membuat negara surplus?
Bandingkan sistemnya. Berapa tahun Indonesia menggunakan sistem Demokrasi dan selama itu pula kemiskinan tetap saja menjadi masalah utama.
Sedangkan dalam Sistem Pemerintahan Islam, hanya dalam waktu 3 tahun, dengan kesungguhan Khalifah menerapkan sistem Islam, Khalifah dengan pemerintahannya mampu mengentaskan kemiskinan dengan sempurna, pasti menihilkan stunting juga.
Dalam sistem Islam, Pemerintah (dalam hal ini khilafah) wajib menyediakan lapangan pekerjaan dengan gaji yang layak kepada rakyatnya, terutama bagi laki-laki karena mereka adalah tulang punggung keluarga, pencari nafkah.
SOLUSI TUNTAS MENGENTASKAN KEMISKINAN DAN STUNTING
Kekayaan alam yang berlimpah jika dikerjakan sendiri oleh negara dan rakyat tentu akan menyerap banyak tenaga kerja. Pemerintah memperbaiki sektor pertanian dengan membuat irigasi, sumur , dan jalan raya.
Jadi, dalam sistem Islam para tulang punggung keluarga akan dijamin nafkahnya oleh negara dengan memberikan lapangan pekerjaan yang luas dan gaji yang layak. Lalu memperbaiki sektor pertanian agar kebutuhan pokok mudah diakses dan terjangkau.
Apakah solusi seperti ini diberikan oleh sistem demokrasi? Tidak. Justru para pemilik modal alias pengusaha bahkan bersama penguasa, mereka berlomba-lomba mencari keuntungan bagi dirinya sendiri atau bagi kelompoknya dengan membuat kebijakan sedemikian rupa untuk memperkaya mereka tanpa punya empati kepada rakyat miskin dan susah.
Saatnya kita menggunakan kembali sistem Islam dan membuang sistem demokrasi.
Wallahu a'lam bishawwab.
Post a Comment