Oleh : Sri Yuhanti
Aktifis Dakwah Islam Kaffah
Menghadapi Lebaran Idul fitri 2023 tentu saja konsumsi gula meningkat sehingga pemerintah Indonesia berencana akan melakukan impor sebanyak 215.000 ton gula. Gula tersebut akan diimpor dari sejumlah negara seperti Thailand, India dan Australia.
Gula sebagai salah satu komoditas pangan strategis nasional khususnya menjelang Idul fitri yang permintaan pasarnya akan meningkat, tentu menjadi perhatian utama bagi pemerintah agar dapat memenuhi permintaan masyarakat. Namun, mengapa harus impor?
Pemerintah berencana akan memaksimalkan hasil panen dalam negri pada bulan Januari-Desember 2023, yang diperkirakan mencapai sekitar 2,6 juta ton. Namun, hasil tersebut masih belum bisa memenuhi kebutuhan gula nasional sekitar 3,4 juta ton. Ini menjadi alasan pemerintah melakukan impor seperti ditulis Detik Finance, (26/03/2023).
Indonesia merupakan negeri agraris. Sejak dulu Indonesia di kenal dengan negeri yang kaya rempah-rempah dan hasil pertanian. Tentu saja karena Indonesia memiliki tanah yang subur, komoditas yang beragam, juga petani yang gigih menggarap lahan. Namun, sangat tragis ketika negeri ini akhirnya harus menjadi negara penggila impor gula dan impor beberapa komoditas pangan lainnya.
Kebijakan impor sebenarnya tidak sejalan dengan program pemerintah dalam masalah ketahanan pangan. Impor beras dan impor pangan lainnya berpotensi melanggar UU No 18/201 tentang pangan. Karena, menurut anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan Gunawan, persyaratan impor bahan pangan ialah karena tidak bisa ditanam di dalam negeri, kurangnya produksi dalam negeri, ketidakcukupan cadangan pangan nasional (pemerintah, pemda dan masyarakat), serta tidak boleh merugikan pelaku usaha pangan dalam negeri khususnya petani.
Disamping itu juga kebijakan impor pangan sebenarnya menunjukkan kelemahan perekonomian Indonesia. Pasalnya dengan kebijakan impor ini negara akan tergantung dengan negara lain, tidak mampu berdikari, lebih jauhnya negara tidak mampu berdaulat diatas kaki sendiri. Meski jargon “makan apa yang kita tanam, memakai apa yang kita produksi” selalu didengungkan tiap kampanye, namun teryata hasilnya tetap impor lagi, dan impor lagi.
Kebijakan impor ini juga justru mematikan pertanian di Indonesia. Pasalnya kebijakan ini justru hanya memiskinkan petani-petani lokal dan hanya memperkaya para kapitalis yang bersembunyi dibalik kebijakan impor ini.
Inilah bukti pemimpin yang gagal dalam memenuhi kebutuhan dan membela kepentingan rakyatnya. Gagal dalam menjalankan aktifitas ekonomi negara. Sangat jauh dari yang pernah dijanjikan dulu semasa belum berkuasa. Berjanji impor akan dikurangi, tapi kenyataannya malah ugal-ugalan.
Seyogyanya hal ini tidak terlepas dari sistem kapitalisme yang mencengkram negeri ini. Kapitalisme yang mengubah negeri agraris ini menjadi negeri importir pangan. Kebijakan yang dilahirkan pemerintah akan senantiasa diarahkan untuk para kepentingan para kapitalis. Maka tidaklah heran jika kebijakan yang dilahirkan malah semakin menyengsarakan kaum mayoritas (rakyat) dan mensejahterakan kaum minoritas (kapitalis).
Hal ini jauh berbeda dengan sistem Islam yang berlandaskan kepada syariat Allah. Prinsip utamanya jelas yaitu pemenuhan kebutuhan hajat hidup orang banyak atau masyarakat keseluruhan tanpa pandang bulu. Dalam Islam negara memiliki peran penting dalam hal pemenuhan rakyatnya termaksud dalam hal penyediaan bahan pakan ternak.
Rasulullah SAW bersabda “seorang imam (khalifah) memelihara dan mengatur urusannya terhadap rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam Islam pertanian menjadi perhatian negara karena pertanian menyangkut hajat hidup orang banyak. Bahkan Rasullullah bersabda dalam sebuah haditsnya, “Tidaklah seorang muslim menanam sebatang pohon (berkebun) atau menanam sebutir biji (bertani), lalu sebagian hasilnya dimakan oleh burung, manusia atau binatang, melainkan baginya ada pahala sedekah (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi dan Ahmad).
Negara dalam Islam melakukan penjagaan dan pengelolaan pasar dengan baik. Sehingga, penetapan harga akan senantiasa terjaga. Negara juga memaksimalkan pengelolaan sumber daya alam (SDA) untuk kesejahteraan rakyatnya, serta memaksimalkan pendistibusian hasil SDA secara merata hingga pemenuhan hajat hidup rakyat secara keseluruhan terpenuhi. Bukannya malah impor.
Kebijakan impor dalam perspektif Islam untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat? Jawabannya ada dalam politik pertanian Islam, yang diarahkan untuk peningkatan produksi pertanian dan kebijakan pendistribusian yang adil, sehingga kebutuhan pokok masyarakat pun terpenuhi.
Oleh karenanya perhatian negara dalam sistem Islam pun harus dicurahkan untuk mengoptimalisasikan pengelolaan pertanian, agar kebutuhan pangan untuk rakyat terpenuhi. Langkah pengelolaan ini dilaksanakan dengan beberapa kebijakan yang harus sesuai dengan ketetapan hukum syara, agar kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Inilah indahnya Islam, semua masalah yang ada pada masyarakat bisa terselesaikan hanya dengan diterapkan negara Islam secara kaffah.
Wallahu a’lam bis showwab.
Post a Comment