Oleh : Yenny Haifa
Muslimah Peduli Umat
Pemerintah akan melakukan impor gula kristal putih sebanyak 215.000 ton untuk tahun ini. Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) menugaskan kepada BUMN Pangan dalam hal ini ID FOOD dan PTPN Holding untuk mengimpor gula tersebut.
Kepala Badan Pangan Arief Prasetyo Adi, mengatakan kedatangan impor gula tersebut akan bertahap, pertama untuk kebutuhan bulan Ramadan akan datang sebanyak 99.000 ton gula kristal putih (GKP). Targetnya, gula impor tersebut sudah masuk Maret atau April. Gula impor tersebut dari sejumlah negara yakni Thailand, India, dan Australia.
“Prosesnya sudah berjalan dan ditargetkan sudah ada yang masuk pada Maret-April ini untuk menambah stok dan menjaga harga di tengah bulan puasa dan lebaran,” ujarnya dalam keterangannya dikutip Sabtu (25/3/2023).
Keputusan impor gula ini merupakan hasil perhitungan Prognosa Neraca Pangan yang disusun Badan Pangan Nasional. Stok awal gula nasional di Januari 2023 sebesar 1,1 juta ton, adapun kebutuhan gula nasional per bulan tercatat sebesar 283 ribu ton.
Seluruh proses perizinan dari Kementerian BUMN dan Kementerian Perdagangan sudah dipenuhi. Kedatangan dilakukan secara bertahap. Ditargetkan masuk lebih dulu sekitar 99.000 ton.
Impor gula masih menjadi PR besar bagi negeri ini. Saat ini, Indonesia masih harus impor gula konsumsi sebanyak 1 ton dan gula industri sebanyak 3 juta ton. Kebijakan impor gula selalu terjadi tiap tahun. Pada tahun 2020, Indonesia telah mengimpor gula sebanyak 5,53 juta ton. Dari jumlah tersebut, paling banyak berasal dari Thailand (2,02 juta ton), Brasil (1,54 juta ton), Australia (1,21 juta ton), dan sisanya dari India dan Korea Selatan.
Melansir dari Tempo (28/9/2021), ada beberapa alasan mengapa pemerintah rajin impor gula. Pertama, produksi gula secara nasional baru sekitar 2,1 juta ton per tahun. Kedua, secara total konsumsi nasional sebesar 5,8 juta-an ton per tahun terdiri dari gula konsumsi dan gula kebutuhan produksi.
Pemerintah mengklaim tengah berupaya untuk mengurangi impor gula. Langkahnya adalah berusaha memodernisasi pabrik gula nasional dan meningkatkan efisiensi serta mentransformasi bisnis gula di Indonesia. Pemerintah menilai kemitraan dengan petani akan mewujudkan kemandirian gula nasional sekaligus mensejahterakan para petani tebu.
Namun, usaha menciptakan kemandirian gula nasional masih sebatas narasi dan basa-basi. Buktinya, impor gula menjadi kebijakan langganan pemerintah. Belum ada keseriusan dan kesungguhan dari pemerintah agar stok gula dan produksi dalam negeri mengalami peningkatan baik secara kualitas maupun kuantitas.
Ketok palu UU Cipta Kerja juga memberi dampak pelonggaran kebijakan impor pangan. Andai kata serius dengan kemandirian, mestinya UU yang banyak diperdebatkan itu tidak perlu diusulkan dan disahkan. UU Cipta Kerja justru menjadi pembenar atas kebijakan impor produk pertanian.
Gula, Komoditas Strategis
Bagaimanapun, industri berbasis perkebunan mempunyai kemampuan sebagai leading sector dalam pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, dan juga mendorong perbaikan distribusi pendapatan. Salah satu industri hilir perkebunan tersebut adalah industri gula.
Industri gula adalah industri yang efektif dalam meningkatkan pendapatan tenaga kerja dan rumah tangga di wilayah pedesaan. Gula juga menjadi salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia.
Bayangkan saja, dengan luas areal sekitar 350 ribu hektare pada periode tahun 2000—2005, industri gula berbasis tebu menjadi salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani. Total jumlah tenaga kerja yang terlibat diperkirakan mencapai sekitar 1,3 juta orang.
Peran penting ~lain~ gula juga dapat dilihat dari sisi ketahanan dan keamanan pangan, penyerapan investasi, serta luasnya keterkaitan dalam industri hilir, seperti industri makanan, industri minuman, industri gula rafinasi, industri farmasi, kertas, MSG, particle board, dan bio-energy.
Industri gula juga sangat terkait dengan sumber daya lokal, sehingga dapat dikembangkan sebagai high value commodity bagi pemberdayaan ekonomi rakyat. Oleh sebab itu, keberadaan industri gula dapat menjadi aset ekonomi dan sekaligus sebagai aset sosial (social capital) yang penting.
Gula juga termasuk salah satu kebutuhan pokok masyarakat, khususnya sebagai sumber kalori. Fakta ini membawa konsekuensi bagi pemerintah untuk menjamin ketersediaan gula di pasar domestik dengan tingkat harga yang terjangkau bagi seluruh kelompok pendapatan masyarakat.
Sejarah mencatat, industri gula telah menjadi industri tertua dan unggulan sejak zaman kolonial. Diketahui, pada era sebelum Perang Dunia II tahun 1930—1940, pulau Jawa adalah salah satu penghasil gula terbesar di dunia sekaligus pengekspor gula terbesar kedua setelah Kuba.
Puncak produksi dicapai pada 1931 dengan produksi sebesar tiga juta ton per tahun dan 2,40 juta ton di antaranya diekspor.
Saat itu, sebanyak 179 pabrik gula beroperasi di wilayah Indonesia dengan tingkat produktivitas mencapai 14,80 ton gula per hektare atau 130 ton tebu per hektare.
Potensi besar ini dimiliki antara lain karena adanya dukungan dalam memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, teknologi yang efektif, peraturan, dan undang-undang kolonial.
Jika dibandingkan dengan negara produsen gula dunia lainnya, tingkat efisiensi industri gula Indonesia pada saat ini menempati urutan ke-15 dari 60 negara produsen gula dunia.
Hal ini kemudian menarik bagi dunia bisnis di Indonesia sendiri. Permintaan gula dalam negeri terus meningkat, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun sebagai bahan baku industri makanan, minuman, dan farmasi. Tak pelak, hal ini membuka peluang bisnis baru di bidang pergulaan, baik bisnis skala besar maupun bisnis kecil.
Mewujudkan Kemandirian Gula
Menghadapi berbagai faktor penyebab kebijakan langganan impor gula, pemerintah harus mengambil langkah pasti jika memang berniat mewujudkan kemandirian gula nasional. Wajib bagi pemerintah untuk menerapkan beberapa langkah.
Pertama, melakukan ekstensifikasi lahan-lahan baru untuk menanam tebu. Hal ini penting agar pertanian tebu tidak makin menyusut. Kedua, pengawasan ketat dan penegakan hukum terhadap mafia kartel pangan. Jangan sampai ada mafia di balik derasnya impor lantaran penimbunan pangan yang membuat harga gula melambung dan langka.
Ketiga, merevitalisasi pabrik gula dalam negeri. Sudah selayaknya untuk memperbarui pabrik gula yang sudah tidak efektif dan efisien atau menggantinya dengan pabrik gula yang baru dengan kapasitas besar dan teknologi yang memungkinkan efisiensi waktu dan biaya produksi.
Keempat, melakukan kajian dan riset mendalam tentang potensi pangan lainnya yang bisa menghasilkan gula. Hal ini agar negara tidak hanya tergantung pada ketersediaan gula dari tebu, contohnya seperti gula singkong. Namun, harganya yang terpaut mahal masih belum ramah bagi rakyat kebanyakan. Inilah peran penting negara, agar senantiasa mencari alternatif pengganti gula tebu yang bernilai ekonomis, sehat, dan mudah untuk didapat.
Keempat langkah ini tidak akan terwujud sempurna selama penguasa belum memiliki political will dengan sentuhan ideologi sahih, yakni sistem Islam, sistem yang mampu mewujudkan penguasa bertakwa, amanah, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Kita memang patut mengapresiasi cita-cita membangun kemandirian gula nasional. Namun, cita-cita luhur ini tidak akan tercipta selama negara masih berkiblat pada kapitalisme.
Dalam Khilafah, negara berkewajiban menyediakan produksi pertanian yang berkualitas bagi rakyatnya. Negara juga wajib memenuhi segala hal yang dapat meningkatkan stok pangan dalam negeri. Mulai dari pembiayaan produksi, sarana, fasilitas, dan kebutuhan apa pun untuk memenuhi stok pangan dalam negeri. Impor hanya sebatas kebijakan sementara apabila negara kekurangan pangan.
Politik ekonomi dalam negara Khilafah adalah riayah su’unil ummah. Visi politik inilah yang menjadikan negara bertanggung jawab penuh atas kebutuhan rakyatnya. Penguasa pun menyadari, bahwa mereka bekerja demi kemaslahatan rakyat, bukan meraih kekuasaan dan mementingkan diri mereka sendiri. Khilafah juga akan mengatur bagaimana produksi, konsumsi dan distribusi berjalan teratur sesuai ketentuan syariat Islam.
Oleh karenanya, negeri ini butuh merombak total penerapan sistem yang ada, karena pangkal masalahnya berasal dari hegemoni kapitalisme di segala lini kehidupan.
Wallahua'lam bishshawab.
Post a Comment