Oleh : Anis Fitriatul Jannah
(Aktivis Dakwah)
Semakin hari, bukan makin untung malah makin buntung. Begitulah kira-kira sarkasme yang menggambarkan nasib buruh saat ini. Bagaimana tidak? Setiap hari susah payah bekerja, sedangkan upah yang diberikan jauh dari harapannya.
Namun, tak cukup sampai di sini, terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja kian menambah penderitaan kaum buruh. Selain alasan kegentingan yang mendasari penerbitannya, sejumlah substansinya menuai polemik.
Pengaturan upah minimum buruh dalam lima tahun terakhir, menggunakan variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi, termasuk diatur dalam UU Cipta Kerja. Namun, dalam Perppu Cipta Kerja ditambahkan variabel baru yaitu “indeks tertentu”. Variabel baru ini ditolak oleh Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) yang disebut akan memberatkan dunia usaha.
Sementara itu, Said Iqbal, presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengatakan variabel ini “menimbulkan ketidakpastian”. Sebab, maksud dari indeks tertentu tersebut masih belum jelas, apakah sebagai pengurang, penambah, pengalih atau pembagi. Artinya, masih menimbulkan banyak tafsiran. (bbc.com/indonesia, 4/1/2023)
Begitulah aturan dalam sistem kapitalis, tidak ada yang benar-benar jelas. Semua mengandung ke-ambiguan. Dan inilah gambaran rusaknya sistem kerja kapitalisme, dalam aspek apapun tak pernah mau rugi sepeserpun. Padahal, setiap buruh yang bekerja, normalnya menginginkan upah yang tinggi, tentu hal tersebut sesuai dengan tenaga/usaha yang mereka keluarkan. Namun, tidak dengan para kapitalis, bahkan yang sering dijadikan jargon adalah "meraih keuntungan yang sebesar-besrnya dengan modal sekecil-kecilnya".
Jargon ini kemudian menjadi mantra ajaib yang harus terealisasi meski dengan cara tidak manusiawi. Misal dalam pengupahan terhadap buruh. Tentu, sering kita jumpai bahwa upah kaum buruh tidak sebanding dengan pengorbanan yang mereka keluarkan. Adanya UMR (Upah Minimum Regional) yang ditetapkan malah menjadi penghambat kesejahteraan bagi setiap buruh yang ada.
Kenyataan ini rupanya tetap tidak menjadi pertimbangan bagi penguasa, karena UU cipta kerja yang jelas berdampak buruk terhadap buruh tetap disahkan secara sepihak olehnya.
Berbeda dengan sistem Islam. Dimana, aqod (perjanjian) antara pihak pekerja dengan pihak yang mempekerjakan telah jelas di awal. Terkait jenis pekerjaan, jumlah jam kerja serta upah atas pekerjaan yang akan ditunaikan. Dari sini jelas, tidak akan ada pihak yang dirugikan, alias saling menguntungkan satu sama lain.
Selain itu, dalam Islam tidak akan ada istilah UMR (Upah Minimum Regional). Setiap upah yang diberikan akan disesuaikan dengan jenis pekerjaan dan lama waktu bekerja. Serta, jika ada pekerja senior yang dalam artian sudah lebih profesional dan cekatan dalam pekerjaannya, maka wajar jika jumlah upah yang didapatkan lebih besar dari pekerja (buruh) yang junior (pemula).
Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna telah mengatur segala aspek kehidupan, termasuk dalam bidang ketenagakerjaan, yakni tujuan dari pengaturan ini semata-mata agar umat manusia tidak ada yang terdzolimi, atau tidak ada yang dirugikan satu sama lain. Karena, sejatinya Allah melarang ummat yang satu memakan hak ummat yang lain. Begitulah sempurnanya Islam mengatur, tetapi kesempurnaan pengaturan ini hanya akan ada bila negara menerapkan Islam dalam bingkai negara (khilafah).
Post a Comment