Penulis: Nila Mawarwati
Muslimah News, FOKUS — Generasi muda, yaitu milenial dan generasi Z (Gen Z) di Indonesia, berjumlah lebih dari 60% dari total penduduk Indonesia. Angka tersebut tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan jumlah dan potensi yang besar pada diri generasi muda, tentu hal yang wajar jika harapan kemajuan bangsa diletakkan pada mereka.
Namun, kondisi generasi muda saat ini masih terjebak dan terjerat gaya hidup Barat yang liberal dan sekuler yang berdampak pada pembajakan potensi besar generasi itu sendiri. Liberalisme dan sekularisme yang nyatanya telah menggerus jati diri dan potensi generasi muda, justru tidak dianggap sebagai ancaman besar bagi penguasa negeri ini.
Walhasil, tampak tidak ada upaya serius untuk menyelamatkan generasi dari bahaya dan rusaknya liberalisme sekuler. Sebaliknya, justru yang menjadi perhatian khusus dan fokus utama pemerintah adalah terjangkitnya generasi pada perilaku intoleran yang dipandang berbahaya bagi keberagaman yang ada di Indonesia.
SETARA Institute bersama International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menyelenggarakan survei kondisi toleransi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Survei ini untuk memperoleh gambaran terkini situasi dan kondisi toleransi siswa.
SETARA Institute menggambarkan kondisi toleransi siswa ke dalam empat kategori, yakni toleran, intoleran pasif, intoleran aktif, dan potensi terpapar. Kategorisasi ini digunakan sebagai acuan kerangka analisis untuk menggambarkan transformasi mulai dari toleransi hingga terpapar radikalisme atau terorisme.
Adapun responden survei adalah siswa-siswa SMA di lima kota Indonesia, yaitu sejumlah 947 siswa dari 19 sekolah negeri dan 33 sekolah swasta di Bandung, Bogor, Surabaya, Surakarta, dan Padang. Survei dilakukan pada 14—24 Februari 2023 lalu dan berisikan 12 pertanyaan yang dikembangkan oleh SETARA Institute.
Berdasarkan temuan dari kompilasi jawaban responden, ditemukan kecenderungan positif pada hampir semua pertanyaan. Dibuktikan dengan pertanyaan penerimaan perbedaan keyakinan (99,3%), penerimaan ras dan etnis (99,6%), empati terhadap kelompok yang berbeda agama (98,5%), dan dukungan pada kesetaraan gender (93,8%).
Namun, ketika berpindah ke pertanyaan-pertanyaan yang lebih ideologis, kecenderungan toleransi siswa makin menurun. Sebanyak 20,2% siswa tidak bisa menahan diri untuk melakukan kekerasan dalam merespons penghinaan agama yang dianut. Lalu, persepsi siswa tentang negara Barat juga cenderung negatif. Sebanyak 51,8% responden setuju bahwa negara Barat, seperti Amerika, Inggris, dan Australia, merupakan ancaman terhadap agama dan budaya Indonesia.
Terkait sikap responden terhadap penggunaan jilbab di sekolah, sebanyak 61,1% menyatakan setuju bahwa mereka merasa lebih nyaman jika semua siswi di sekolah berjilbab, sedangkan 38,9% lainnya menyatakan tidak setuju.
Temuan terkait syariat Islam sebagai landasan bernegara juga didukung oleh 56,3% responden. Dukungan terhadap persepsi bahwa Pancasila sebagai bukan ideologi yang permanen, artinya bisa diganti, juga sangat besar, yakni 83,3% responden.
“(Respons pertanyaan) poin dua, tiga, empat, dan lima itu semua bagus. Tapi, ketika pertanyaan kunci keenam sampai dua belas, itu menurut saya mengkhawatirkan semua,” ujar Fikri Fahrul Faiz.
Melanggengkan Dominasi Paham Sekuler
Sejalan dengan hal di atas, program moderasi agama menjadi upaya pemerintah melalui Kemenag dan Kemendikbudristek dalam meng-counter segala hal yang dipandang sebagai intoleransi agama. Kemendikbudristek juga berkomitmen bahwa segala bentuk intoleransi tidak akan dibiarkan terjadi dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Menurut Mendikbudrisktek, praktik intoleransi merupakan dosa besar dunia pendidikan. Oleh karena itu, ekosistem yang tidak kondusif, seperti praktik intoleran, tidak boleh dibiarkan ada di lingkungan pendidikan. Sekolah harus memiliki conceptual framework untuk Tahun Toleransi, yaitu kurikulum yang menekankan toleransi, berpikir kritis, asesmen, pelatihan untuk pendidik, lingkungan/Infrastruktur yang bersahabat, sistem yang baik untuk melaporkan kasus-kasus intoleransi, serta penanganan yang baik dan sarana ibadah yang mendukung moderasi beragama.
Gagasan moderasi Islam dan Islam moderat merupakan ide untuk memasukkan cara pandang baru terhadap Islam. Tujuan moderasi agama ini adalah agar kaum muslim menerima peradaban demokrasi, termasuk gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme, dan menerima sumber-sumber hukum nonsektarian.
Gagasan dan tujuan moderasi agama yang melahirkan muslim moderat ini mengacu pada apa yang disebutkan oleh RAND Corporation dalam bukunya, Building Moderate Muslim Network, khususnya pada bab “Road Map for Moderate Network Building in the Muslim World (Peta Jalan Untuk Membangun Jaringan Moderat di Dunia Muslim).”
Oleh karenanya, jelas bahwa propaganda radikalisme, intoleran, dan antipluralitas ditujukan untuk melanggengkan dominasi paham sekuler demokrasi di negeri-negeri muslim. Bahkan, di negeri ini, moderasi agama menjadi arus utama dalam program prioritas nasional Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020—2024.
Pluralitas dalam Islam
Sejatinya, Islam dan kaum muslim tidak pernah memiliki masalah dalam mengatur pluralitas atau kemajemukan. Bahkan, Islam dan kaum muslim mampu mengatur dan mengelola pluralitas dengan syariat Islam hingga keragaman tidak menjadi ancaman dan sumber masalah bagi kehidupan manusia.
Telah nyata dan menjadi fakta betapa Islam yang menjadi mercusuar peradaban mulia sejak masa Nabi saw. dan Khulafaurasyidin tidak pernah bermasalah dengan pluralitas dan “toleransi”. Islam mengatur keragaman secara sempurna serta menjelaskan hukum dan etika untuk memecahkan persoalan-persoalan yang lahir dari keduanya.
Sejarah panjang telah terukir tatkala kaum muslim berhasil membuktikan keunggulan Islam dalam menyelesaikan problem keragaman dan derivatnya. Islam melarang kaum muslim memaksa nonmuslim untuk masuk Islam.
Allah Swt. berfirman dalam QS Al-Baqarah Ayat 256. “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Nonmuslim juga dibiarkan menjalankan peribadatan sesuai agama dan keyakinan mereka. Kaum muslim dilarang mencela sembahan agama lain tanpa dasar ilmu. “Dan janganlah kamu memaki sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.”(QS Al-An’am: 108).
Tidak hanya itu, Islam memerintahkan kaum muslim berdiskusi dengan orang-orang kafir dengan cara yang makruf. “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik. …” (QS Al-Ankabut: 46). Kaum muslim juga diperintahkan memenuhi hak-hak orang kafir dalam batas-batas yang telah ditetapkan Islam.
Adapun “ide toleransi” yang dijajakan Barat ke negeri-negeri kaum muslim, sesungguhnya tidak berhubungan sama sekali dengan sikap “toleran dan santun” yang sudah dipraktikkan kaum muslim sejak awal Islam datang di bumi Allah ini.
Dengan demikian jika Islam dipahami dan diamalkan sesuai tuntunan dari Allah Azza wa Jalla, seharusnya penguasa tidak merasa khawatir dan menganggap seorang muslim yang taat pada aturan Allah (Islam) sebagai ancaman dan bahaya. Ini karena Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dengan kesempurnaan Islam pulalah kelak akan lahir generasi bermental revolusioner sejati yang mampu mengantarkan negeri ini ke kemajuan dan kebangkitan hakiki. Wallahualam.
Post a Comment