Oleh : Susan Andriani
Genderang pesta demokrasi akbar lima tahun sekali di Indonesia semakin berbunyi nyaring. Saling sahut antar politisi menyambut Pemilu 2024. Para petualang politik pun tengah bersiap menyusun strategis dan sikap politik yang akan dijalankan untuk mendongkrak elektabilitas dan popularitas sebagai peserta pemilu. Generasi Z atau i-generation atau kerap disebut sebagai gen Z merupakan aset (peserta) pemilu dengan populasi penduduk yang besar serta suara penentu kemenangan dengan komposisi suara tertinggi dalam Pemilu 2024. Berdasarkan Survei Penduduk BPS 2020, jumlah gen Z yang ada saat ini mencapai 74,93 juta jiwa, dengan jumlah itu, gen Z diperkirakan menjadi kelompok pemilih terbesar yang akan mendominasi dalam Pemilu 2024. Dengan jumlah yang relatif besar tersebut para tokoh politik berupaya maksimal untuk membangun opini publik yang bersifat humanis dan persuasif di tengah-tengah generasi Z.
Siapakah Gen Z ?
Generasi Z atau Gen Z disebut sebagai generasi yang lahir setelah generasi Y. Kumpulan orang yang termasuk ke dalam generasi ini adalah mereka yang lahir di tahun 1997 sampai dengan 2012. Umumnya mereka yang merupakan generasi Z disebut juga sebagai Generation atau generasi internet atau generasi net. Mereka selalu terhubung dengan dunia maya dan dapat melakukan segala sesuatunya dengan menggunakan kecanggihan teknologi yang ada.
Hasil Sensus Penduduk Tahun 2020 telah dirilis Badan Pusat Statistik pada akhir Januari lalu memberikan gambaran demografi Indonesia yang mengalami banyak perubahan dari hasil sensus sebelumnya di tahun 2010. Sesuai prediksi dan analisis berbagai kalangan, Indonesia tengah berada pada periode yang dinamakan sebagai Bonus Demografi. Menariknya, hasil sensus 2020 menunjukkan komposisi penduduk Indonesia yang sebagian besar berasal dari Generasi Z/Gen Z (27,94%), yaitu generasi yang lahir pada antara tahun 1997 sampai dengan 2012. Ini artinya, keberadaan Gen Z memegang peranan penting dan memberikan pengaruh pada perkembangan Indonesia saat ini dan nanti.
Peran Penting Gen Z di dalam Pemilu 2024
Dalam acara talkshow "Gaya Politik Gen-Z" Yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH) Unesa r (7/6/2023), pakar komunikasi politik universitas negeri surabaya (UNESA), Muhammad Danu Winata S Sos MA MSi. Ia menjelaskan gen Z tidak hanya menjatuhkan hak pilihnya melainkan juga sebagai salah satu faktor penentu pemilu 2024. Dengan berbagai pemikiran dan kompetensi di media sosial, calon pemilih dari gen Z ternyata tidak bisa dipandang sebelah mata. Danu pun menjelaskan ada 3 alasan mengapa Gen-Z bisa jadi penentu di pemilu 2024.
Alasan pertama yang tidak bisa dihindari adalah aspek kuantitas. Danu menjelaskan jumlah anak muda saat ini lebih banyak daripada golongan dewasa dan tua. “Sebanyak 60 % pemilih itu dari generasi Z, ungkap Danu dari laman resmi Unesa, Sabtu (10/6/2023).
Tak hanya jumlahnya yang banyak, pemikiran gen Z tak bisa dipandang sebelah mata, narasi yang muncul belakangan ini bisa dibilang banyak dilempar oleh kaum muda ini. Terkait pemilu, gen Z mulai merespon dalam proses penentuan sosok pasangan calon presiden untuk tahun 2024 nanti. Danu menambahkan respon gen Z terhadap pemilu 2024 nanti tidak berujung dengan aksi golput atau tidak memilih. Mereka akan memilih untuk mengkritik secara terbuka dan diulas di berbagai platform media sosial.
Di akhir, Danu menyatakan berbagai calon legislatif yang mendaftar akan menjadi penilaian tersendiri bagi gen Z, termasuk tentang artis yang ikut daftar menjadi caleg. Terlebih mereka pasti memahami betul kriteria parpol yang tidak memiliki kaderisasi baik, lebih mementingkan popularitas dan elektabilitas ketimbang kualitas.
Terkait tahun politik 2024 dan Gen Z ini adalah sesuatu yang sangat menarik, hasil survei UMN Consulting menunjukkan ada 23,28% Gen-Z yang tertarik dengan politik, tapi di sisi lain ada 44,26% Gen Z tidak tertarik dengan politik, bahkan 29,05% Gen Z illfeel dengan politik, dan mereka mengatakan bahwa politik itu sesuatu yang ruwet dan sering bermain kotor. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi parpol-parpol dengan berbagai cara berebut untuk memenangkan hati Gen Z. Lalu bagaimana upaya parpol untuk menarik minat berpolitik dari gen Z ini? Tentu saja dengan mempelajari karakteristik Gen Z. Beberapa partai ada bagian yang dipersiapkan untuk mengemas kampanye-kampanye politik di media sosial. Misalnya dengan menggunakan media tiktok dan instagram yang sekarang sedang digandrungi oleh kawula muda terutama gen Z. Ada juga yang menggaet artis dari kalangan gen Z yang dijadikan jurkam, hingga kampus-kampus yang dijadikan sasaran.
Gen-Z Dijadikan Alat Politik Praktis bagi Demokrasi
Politik oportunis selalu berganti casing, membunglon. Hitung-hitungan politik menjadi dasar kebijakan. Undang-undang hanyalah alat legitimasi kepentingan politik pragmatis. Bagaimana tidak? Jumlah pemilih gen Z pada Pemilu 2024 diperkirakan 60% dari total suara pemilih (206.689.516 penduduk). Siapa yang tidak tergiur menaklukkan hati mereka?
Pengamat politik Endiyah Puji Tristanti menegaskan, bahwa generasi muda didorong untuk melek politik, memperoleh pendidikan politik bukan untuk menjadi subjek politik, tetapi hanya sebagai objek politik praktis yang pragmatis. Ini sangat mengkhawatirkan. Ada pamrih, ada ketidaktulusan dari parpol-parpol, pada saat mendekati generasi muda. Menurutnya, ini tampak dari semua parpol kontestan pemilu yang secara terang-terangan sedang berebut dukungan gen Z untuk kepentingan elektoral alias mendulang suara. Pelibatan gen Z dalam proses politik demokrasi elektoral lebih tepat dibaca sebagai eksploitasi dan pembajakan potensi generasi oleh oligarki. Disebut eksploitasi karena demokrasi itu sistem yang mahal, maka belakangan parpol dan pasangan capres membutuhkan banyak oligarki untuk menopang.
Kemudian, disebut pembajakan karena potensi pemuda muslim sebagai agen perubahan seharusnya mengarah pada fokus agenda utama umat, yakni melakukan amal perubahan. Namanya agen perubahan semestinya beramal untuk perubahan sistem. Bukan agen perubahan jika justru mempertahankan sistem batil dan fasad yang sudah terbukti gagal mensejahterakan dan mewujudkan keadilan.
Pelibatan media dan terjunnya banyak artis ke banyak parpol adalah hal bagus untuk menjadi penguat fakta bahwa politik dan pendidikan politik yang diberikan parpol itulah wujud pragmatisme politik. Dengan ketiadaan parpol shahih saat ini, maka tidak mampu menghadirkan konsep politik hakiki dan konsep politik sehat di hadapan generasi muda. Siapa yang pragmatis, padanya akan kehilangan daya kritis. Siapa yang tidak ideologis, padanya akan gagal melahirkan solusi fundamental.
Para pemuda diarahkan untuk menguasai dunia media sosial dan menarasikan sekularisme, liberalisme, feminisme hingga moderasi beragama. Kita dapat mengamati hasil dari program-program tersebut adalah pemuda yang moderat, yakni pemuda yang tidak mengambil Islam sebagai way of life alias Islam yang minus aturan berpakaian, minus ekonomi Islam, minus politik Islam, minus jihad, dan minus amar makruf nahi mungkar. Islam hanya diambil dari segi ibadahnya, bahkan simbol Islam dipakai oleh parpol-parpol saat ini hanya untuk kepentingan politik identitas.
Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, para politisi tentu ingin mendapatkan citra sebagai orang yang saleh, bertakwa, dan peduli Islam. Oleh karena itu, kini mulai ramai di berbagai media, posting berita terkait aktivitas mereka. Ada yang mulai rajin mengunjungi pesantren sambil ikut pengajian dan menyalurkan infak, lengkap dengan aksesoris keislaman, seperti peci, sarung, sorban, dan kerudung.
Berbagai aksesoris keislaman tersebut merupakan alat pembangun citra dan identitas. Tentu tujuannya agar masyarakat tertarik untuk memilihnya atau minimal memuji dirinya. Bahkan, sebagian mereka menyewa tim buzzer untuk kepentingan pencitraannya. Padahal, aksesoris dan buzzer politik itu sangat berpotensi digunakan untuk menghipnotis hingga menipu masyarakat, alih-alih mendidik generasi muda untuk mengkritisi kebijakan politik rezim, parpol justru larut dalam kepentingan rezim, sibuk menentukan koalisi berhitung persentase pembagian kue kekuasaan. Pada akhirnya, semua rakyat termasuk gen Z gigit jari.
Islam Mengatur Arah dan Sikap bagi Generasi (gen Z) dalam Berpolitik
Politik atau siyasah mempunyai makna mengatur urusan umat, baik urusan dalam negeri maupun luar negeri. Politik dilaksanakan baik oleh Negara (pemerintah) maupun umat. Negara sebagai institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat mengoreksi (muhasabah) pemerintah dalam melaksanakan tugasnya.
Politik bukan hanya sekedar nyoblos dan mencelupkan jari ke dalam tinta atau hanya sekedar meraih kekuasaan. Masalah politik ini adalah mengurus urusan umat. Bila ini diabaikan oleh rakyat atau rakyat tidak paham terhadap hak yang harus dipenuhi dan tidak paham peraturan apa saja yang harus diterapkan kepadanya berarti kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Ketidakpedulian rakyat terhadap politik ini mengakibatkan kontrol terhadap penguasa akan melemah. Lemahnya kontrol ini membuka peluang akan terjadinya pengabaian terhadap urusan rakyat, ujung-ujungnya adalah kezaliman yang merajalela.
Keterlibatan dalam politik merupakan kewajiban bagi kaum muslimin. Begitupun bagi muslim gen Z. Mengurus urusan umat sama artinya dengan mengurus kepentingan hidup umat. Mengurus kepentingan mereka berarti mengurus mereka dan mengetahui bagaimana penguasa mengatur umatnya. Allah menuntut kaum muslimin untuk mengurus urusan umat, yaitu dengan melibatkan diri dalam aktivitas politik.
Dengan demikian, setiap keputusan dalam hidup yang diambil generasi harus mampu mereka pertanggung jawabkan di hadapan Penciptanya. Jujur, amanah, adil, manusiawi, saling mengasihi, pemberani, teguh dalam kebenaran, kritis dan politis, menjadi karakter generasi muslim. Hasil dari kesadaran hubungan dengan Pencipta dan Pengatur kehidupan akan mewujudkan sosok generasi muslim yang melek politik.
Proses pendidikan politik bagi generasi muslim diberikan sejak dalam keluarga, lalu melalui kurikulum sekolah dan perguruan tinggi, di masjid-masjid, juga melalui aktivitas partai politik Islam di tengah masyarakat. Penerapan syariat secara kaffah di seluruh bidang, semuanya secara langsung memberikan pendidikan politik kepada generasi muslim. Semua kembali pada makna hakiki politik, yakni pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri dengan hukum yang berasal dari Pembuat hukum (Allah Ta'ala). Maka, selama generasi berhasil disterilkan dari sekularisme, pendidikan politik bukanlah jargon kosong.
Sudah semestinya generasi muda termasuk gen Z hari ini mendekatkan diri pada politik Islam, mempelajarinya dan mengembannya agar doktrin generasi muda sebagai agent of change, iron stock, social control, guardian of value, ataupun moral force dapat terealisasi. Begitu pula, semua itu sebenarnya merupakan konsekuensi logis bangunan karakter generasi yang berideologi Islam.
Generasi muda pun butuh partai politik Islam yang hakiki. Parpol Islam yang berjuang di tengah umat tanpa pamrih, Yang tulus membimbing generasi muda memahami ideologi shahih, memberikan pendidikan politik Islam yang mencerdaskan, menstimulasi daya kritis generasi, dan membangun militansi para agen perubahan.
Peran Gen Z dalam Kebangkitan Umat
Hari ini kita melihat bahwa potensi para pemuda khususnya pemuda muslim dari kalangan gen Z sebagai “Agent of Change” menghadapi berbagai problematika yang amat serius. Terlebih mereka dijadikan alat politik praktis di dalam alam demokrasi ini karena potensinya yang sangat besar dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Gen Z mampu bergerak dan menggerakkan perubahan ke arah yang lebih baik, yakni Islam. Karenanya, potensi gen Z ini perlu kembali dibangkitkan agar terwujud kebangkitan umat yang hakiki didambakan oleh seluruh umat. Generasi Z pun harus melek politik, jangan mau dijadikan objek politik praktis yang pragmatis.
Islam mempunyai konsep kehidupan yang khas dan berbeda dengan konsep kehidupan lain yang ada di dunia, maka memahami Islam dengan kaffah membutuhkan kesungguhan dan keseriusan Generasi muda saat ini termasuk Gen Z. Generasi muda perlu menjauhi pola pikir sekuler, pluralisme dan pola sikap pragmatis hedonis. Generasi muda harus meluangkan waktu terbaik untuk membedah kesempurnaan sistem Islam.
Berharap kebangkitan yang hakiki dengan tetap menggunakan mekanisme sistem demokrasi hanyalah harapan kosong. Para oligarki lokal akan selalu disokong oleh korporasi global untuk membeli kedaulatan rakyat. Boneka hanya akan berganti boneka. Berbeda dengan perubahan dengan menggunakan mekanisme sistem Islam. Oligarki dan korporasi global tidak akan mampu membeli kedaulatan syariat.
Wallahua'lam Bishowab
Post a Comment