Oleh : Sumiyah Umi Hanifah
Gerah dan tidak habis pikir, ini satu kalimat yang tepat untuk mewakili perasaan warga Jawa Barat, khususnya Kabupaten Bandung. Bagaimana tidak? di tengah krisis ekonomi yang makin menjadi-jadi, pemerintah Kabupaten Bandung mewacanakan pembangunan patung berukuran raksasa di wilayahnya. Pasalnya, masyarakat masih banyak yang membutuhkan beras sekarung, daripada seonggok patung. Terlebih dana untuk proyek pembangunan patung tersebut konon mencapai 10 triliun lebih.
Rencana pembangunan patung ini dinilai oleh sebagian masyarakat menunjukkan ketidakpedulian pemerintah terhadap kondisi rakyat. Maka tidak heran, jika sejak awal digulirkan wacana proyek besar tersebut, langsung mendapat penolakan dari berbagai kalangan. Salah satunya dari Forum Ulama Tokoh dan Advokat (FUTA) Jabar. Mereka menggelar aksi damai di depan Gedung Sate (Gesat) jalan Diponegoro, Kota Bandung. Aksi ini menolak pembangunan patung Soekarno di sejumlah daerah di Jawa Barat. Sebagaimana yang ramai diberitakan, rencananya pemerintah akan membangun 2 patung Soekarno yang akan dibangun di kawasan Kota Baru (Kota Mandiri), Taman Asia-Afrika dan di kawasan Walini kecamatan Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat.
Para ulama yang mengikuti aksi penolakan pembangunan patung tersebut datang dari berbagai wilayah di Jawa Barat. Suara mereka mewakili hati masyarakat yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah. Ustadz Budi Saefullah, salah satu tokoh ulama Jawa Barat yang turut berorasi menyebutkan, "Pembangunan patung mahluk bernyawa tidak sesuai dengan ajaran Islam, proyek ini bukan aspirasi dan kepentingan masyarakat Jawa Barat, terlebih dengan dana triliunan ini, sungguh merupakan perbuatan yang menghambur-hamburkan harta" ungkapnya. (detik.com, Jum'at 25/8/2023).
Penolakan yang sama datang dari salah satu anggota ikatan Da'i Indonesia (PW Ikadi) Jabar. Menurutnya pembangunan patung Soekarno dengan dana fantastis tersebut dapat menyakiti hati rakyat miskin. Menurutnya, sebaiknya pemerintah lebih fokus pada masalah yang lebih urgen, seperti: masalah pengentasan kemiskinan, pemerataan pendidikan, pembenahan infrastruktur, pembangunan lapangan kerja dan lain-lain. Dengan adanya pembangunan patung raksasa ini, dikhawatirkan akan menimbulkan kontroversi ideologi, terutama di kalangan para ulama. Selain itu dikhawatirkan akan mengganggu situasi dan kondisi masyarakat Jawa Barat, yang sejak lama terkenal toleran dan penuh persaudaraan.
Dikutip dari laman mediaumat.id, edisi 342, 1-14 September 2023, Ketua Umum DPP PDI, Megawati Soekarnoputri, mengklaim bahwa pembangunan patung Soekarno tidak dimaksudkan untuk mendewakannya, hanya sebagai simbol pahlawan Nasional, agar generasi muda tidak lupa sejarah. Menanggapi pernyataan tersebut, Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Islam (Jeje Zainuddin), berkomentar bahwa pembangunan patung-patung Soekarno justru dikhawatirkan oleh banyak orang. Pasalnya, dalam lintas sejarah Indonesia, ada noda hitam Soekarno saat menduduki jabatan sebagai presiden pertama Republik Indonesia, yaitu bahwasanya beliau adalah penggagas "nasionalis, agama, dan komunis (nasakom). Terlebih lagi bapak proklamator kemerdekaan Indonesia ada 2 orang, dan pahlawan kemerdekaan Indonesia juga banyak sekali jumlahnya. Pertanyaannya, mengapa pemerintah hanya membangun patung Soekarno? jika pembangunan patung-patung itu bertujuan menghormati pahlawan bangsa, tentu akan banyak sekali patung dibuat, "ucapnya.
Keganjilan yang dipertontonkan di hadapan rakyat ini, dinilai oleh sebagian kalangan bahwa pemerintah kurang cerdas dalam memahami persoalan rakyat. Apapun alasannya, pemerintah seharusnya tidak gegabah ketika akan mengambil kebijakan. Terkait dengan rencana pembangunan patung ini akan dapat menimbulkan dampak buruk bagi keharmonisan antar umat beragama.
Bagi sebagian orang, patung atau gambar dinilai sebagai karya seni yang bernilai tinggi. Tetapi bagi umat muslim, hukum membuat patung atau gambar mahluk bernyawa adalah haram. Apalagi mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Jangan sampai muncul polemik berkepanjangan gegara kebijakan yang sembarangan.
Ketika Rasulullah saw menjadi kepala negara di Madinah, Beliau pernah memerintahkan kepada Ali bin Abi Thalib dalam satu ekspedisi militer untuk menghancurkan patung-patung yang ditemuinya.
Sabda Rasulullah saw,
"Janganlah engkau tinggalkan patung kecuali engkau hancurkan, janganlah engkau tinggalkan gambar kecuali engkau hapus, janganlah engkau tinggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali engkau ratakan". (HR.Muslim)
Demikian pula dengan aktivitas melukis (menggambar) mahluk yang bernyawa, maka ini pun dilarang dalam ajaran Islam.
Sabda Rasulullah saw, "Sungguh orang-orang yang membuat gambar-gambar (makhluk bernyawa) ini akan diazab pada Hari Kiamat dan akan dikatakan kepada mereka, "Hidupkanlah apa yang kamu buat ini!" (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Sesungguhnya aktivitas membangun patung-patung bukanlah budaya Islam, melainkan berasal dari tradisi orang-orang kafir. Sehingga umat Muslim tidak boleh meniru perbuatan mereka. Demikian pula dengan pembangunan Soekarno ini yang disinyalir akan menjadi sarana "pengkultusan" bagi para pemujanya. Sementara ajaran Islam telah melarang pengkultusan kepada seseorang, sekalipun mereka adalah ulama, pahlawan, atau khalifah. Sebab, pengkultusan identik dengan kemusyrikan.
Seharusnya pemerintah (negara) bertanggungjawab untuk melindungi akidah umat, bukan menjerumuskan mereka kepada kemusyrikan. Apabila para penguasa yang diamanahi mengurus urusan rakyat ini tidak menjalankan kewajibannya, maka para ulama wajib menasihati mereka. Sebagaimana yang dilakukan oleh ulama warosatul anbiya (pewaris para nabi). Mereka berani tampil "memuhasabahi" penguasa yang lalai dari kewajiban dan tanggung jawabnya. Maka sudah sepatutnya dalam hal ini ulama berperan dan terjun di tengah masyarakat, berani tampil di garda terdepan dalam melaksanakan "amar ma'ruf nahi mungkar" kepada penguasa.
Inilah bentuk sinergitas ulama dan umara (penguasa) yang sesungguhnya. Dengan aktivitas ini, ajaran Islam akan mudah diterapkan disetiap aspek kehidupan. Sehingga menjadikan negara ini baldatun thoyyibatun warabbun ghafur.
Wallahualambissawab.
Post a Comment