Oleh : Bunda Hanif
Terjadi lagi kasus bullying di dunia pendidikan. Kali ini korbannya adalah seorang siswa MAN 1 di Medan. Korban dianiaya oleh teman dan alumni sekolahnya, lantaran tidak mau masuk geng motor. Di Jakarta, 12 siswa kelas X SMAN 26 Jakarta menjadi korban bullying kakak kelasnya. Salah satu korban dalam kasus ini, yaitu siswa berinisial AF (16), tubuhnya lebam hingga kemaluannya terluka akibat dianiaya belasan kakak kelas. Korban lainnya mengalami patah tulang rusuk. Belum lagi kasus bullying di daerah lainnya seperti Sukabumi dan Bekasi. (Muslimahnews.com, 16/12/2023).
Benar-benar menyesakkan dada manakala kita menyaksikan kasus demi kasus bullying. Lebih-lebih lagi terjadi di dunia pendidikan. Sungguh ini merupakan bencana dan malapetaka. Kasus bullying yang terjadi pun semakin mengerikan, mulai dari bullying verbal hingga penganiayaan fisik yang berakhir kematian.
Ada apa dengan generasi kita saat ini? Mengapa mereka tega melakukan tindakan tersebut? Mengapa mereka berubah menjadi generasi brutal dan kriminal?
Berbagai kasus bullying yang terjadi di kalangan pelajar, tidak muncul begitu saja. Pasti ada faktor pemicunya. Salah satunya adalah sistem kehidupan sekuler. Kurikulum yang diterapkan dalam kehidupan sekuler, tidak menempatkan penanaman akidah Islam sebagai basis membentuk kepribadian anak. Akibatnya, lahirlah generasi yang miskin akidah, niradab dan jauh dari aturan agama.
Bullying disebut-sebut sebagai dosa besar pendidikan. Semua ini dikarenakan sistem sekulerisme yang diterapkan di negeri ini. Sekulerisme ini telah menyemai ke dalam 3 ruang hidup tempat generasi tumbuh.
Pertama, keluarga. Keluaraga adalah lingkungan pendidikan pertama bagi anak. Namun saat ini, banyak orang tua yang lalai menanamkan keimanan dan ketaatan kepada Allah Taala. Alhasil, anak tidak memiliki contoh dan keteladanan sikap yang baik kepada sesama dan orang lain. Perhatikan kondisi generasi yang sangat jauh dari adab mulia. Sekulerisme telah menjauhkan mereka dari fondasi dan aturan Islam. Generasi yang hidup dalam sistem sekulerisme hanya mementingkan materi. Kehidupan mereka menjadi liberal (berperilaku sebebas-bebasnya) dan hedonis.
Kedua, lingkungan. Lingkungan menjadi tempat yang paling memengaruhi generasi. Lingkungan yang terbentuk dari nilai sekuler telah merubah sesuatu yang baik menjadi buruk. Budaya amar makruf nahi munkar hampir tidak terlihat. Masyarakat sibuk dengan dirinya masing-masing, tidak peduli dengan orang lain. Sikap individualis, egois dan apatis adalah ciri masyarakat sistem sekuler.
Ketiga, nihilnya peran negara menjaga generasi dari kerusakan yang dapat terlihat dari tiga indikator. Pertama, tidak berfungsinya perangkat hukum. Sudah banyak produk hukum yang diregulasi dalam rangka mencegah dan menangani kasus bullying, seperti UU Perlindungan Anak. Namun, perangkat hukum ini nyatanya tidak mempan mencegah bullying yang terus berulang.
Kedua, kurikulum yang diterapkan saat ini telah gagal mewujudkan generasi sholih dan sholihah. Sekolah yang menerapkan kurikulum yang sarat dengan nilai-nilai sekuler hanya dianggap sebagai tempat meraih prestasi akademik, tetapi kering dengan prestasi spiritual. Walaupun banyak sekolah agama, faktanya tidak mampu membendung gempuran sistem sekuler. Alhasil, perilaku generasi rusak dan kehilangan jati dirinya.
Ketiga, negara gagal dalam membendung segala tontonan yang merusak generasi. Banyak tontonan yang tidak layak bertebaran di media sosial maupun visual. Tontonan telah menjadi tuntunan bagi kehidupan mereka. Pengawasan orang tua yang longgar membuat generasi kebablasan dalam menggunakan gawai. Mereka bebas berselancar di dunia maya, akhirnya mereka menerima informasi yang seharusnya tidak layak mereka terima di usia yang masih labil.
Ketiga komponen tersebut, seharusnya saling bersinergi. Sinergisitas ini hanya bisa terwujud jika negara menjalankan perannya dengan baik. Seperti yang pernah terjadi saat Islam diterapkan. Tatanan kehidupan masyarakat Islam benar-benar teratur dan berhasil mewujudkan individu dan masyarakat berbudi luhur.
Solusi Islam Menangani Bullying
Islam memiliki langkah pencegahan dan penanganan untuk mencegah bullying. Pertama, peran negara. Kurikulum pendidikan didasarkan pada akidah Islam. Akidah islam harus ditanamkan sejak dini. Dengan demikian anak akan memiliki fondasi keimanan yang kuat. Mereka tidak akan melakukan hal-hal yang Allah haramkan. Media tidak boleh menayangkan tontonan yang berbau kekerasan, pelecehan, maksiat dan segala yang dilarang dalam Islam. Negara menutup segala akses yang menyimpang dari tujuan pendidikan Islam.
Kedua, peran masyarakat di sekolah. Masyarakat Islam terbiasa dengan budaya amar makruf nahi munkar. Mereka adalah pemantau dan pengawas perilaku masyarakat. Adapun sekolah juga menerapkan kurikulum berbasis Islam. Guru diberi gaji tinggi dan tidak disibukkan dengan beban kerja yang berat seperti rumitnya administrasi agar fokus mendidik generasi penerus dengan baik.
Ketiga, peran keluarga. Keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Orang tua fokus dalam mendidik dan mengawasi anak-anaknya. Mereka tidak dipusingkan dengan biaya pendidikan yang tinggi, karena negara sudah memfasilitasi pendidikan secara gratis bagi rakyatnya. Negara juga membuka peluang kerja seluas-luasnya bagi laki-laki. Karena laki-laki sebagai kepala keluarga, memiliki kewajiban dalam menafkahi anggota keluarganya. Kaum perempuan, menjalankan perannya sebagai ibu, tidak dibebani dengan kewajiban menafkahi anggota keluarga. Ibu sebagai madrasatul ula atau sekolah pertama bagi anak-anaknya. Jika ibu dan ayah sudah bisa menjalankan perannya dengan baik, tentu saja tidak ada lagi kerusakan generasi.
Demikianlah beberapa tindakan pencegahan dalam Islam. Jika terjadi bullying, negara menerapkan sanksi yang tegas dan memiliki efek jera. Tidak ada perbedaan antara pelaku kekerasan remaja dan dewasa. Di dalam Islam, tidak ada istilah anak di bawah umur. Ketika anak sudah balig, ia menjadi mukalaf yang sudah dibebani dengan taklif hukum yang berlaku dalam syariat Islam.
Dalam sistem Islam, seseorang yang sudah mukalaf, jika melanggar ketentuan syariat, ia harus menanggung sanksi yang diberikan. Berbeda dengan sistem sekulerisme. Anak yang sudah balig, jika masih di bawah usia 18 tahun tetap diperlakukan layaknya anak-anak. Paradigma inilah yang akhirnya membentuk anak kurang bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Mereka selalu dianggap anak-anak sehingga kedewasaan dirinya tidak terbentuk. Hal ini akan berbeda saat Islam menjadi landasan dalam kurikulum pendidikan keluarga dan sekolah. Mereka akan mendapat pemahaman mengenai fase usia balig terkait tanggung jawab, taklif hukum serta konsekuensi segala perbuatannya.
Demikianlah, bullying sebagai dosa besar pendidikan, hanya bisa dihentikan dan diakhiri jika kita mengubah paradigma pendidikan serta menerapkan sistem Islam secara kaffah. Hanya Islam satu-satunya yang memiliki lapisan pelindung terhadap bullying, yakni akidah, syariat dan sistem sanksinya.
Wallahu a’lam bisshowab
Post a Comment