Oleh : Evi Wijayanti (Aktivis Pergerakan Muslimah)
Salah satu pemikiran barat yang digunakan untuk menyesatkan Muslimah adalah kesetaraan gender. Perempuan dianggap sebagai pihak yang paling ‘’dikalahkan’’ oleh penerapan syariat islam yang ‘’kaku’’ di berbagai tempat di dunia. Barat selalu menarasikan kesetaraan gender sebagai ide yang dapat membebaskan Muslimah dari kungkungan aturan Islam yang mendiskriminasi dan merendahkan perempuan serta membatasi gerak dan kesempatan mereka.
Muslimah muda yang mencari jati diri tentu menjadi sasaran empuk pemikiran-pemikiran barat. Upaya ini makin sistematik ketika kurikulum pendidikannya adalah kurikulum sekuler. Tak heran jika kemudian banyak ditemukan Muslimah muda yang berkepribadian ganda. Islam terwujud hanya dalam kehidupan privatnya tetapi hilang dalam kehidupan umumnya, bahkan mereka enggan untuk mengemban peran mulia sebagai ibu generasi.
Berikut beberapa jebakan kesetaraan gender pada Muslimah muda :
1. Pemberdayaan ekonomi perempuan sebagai jalan kesejahteraan perempuan.
Barat selalu menarasikan bahwa perempuan terpenjara dalan tugas perawatan dan pekerjaan domestik sehingga berlomba-lombalah mereka bekerja untuk menambah pendapatan hingga mereka bisa mandiri secara ekonomi.
Padahal faktanya perempuan dieksploitasi dengan upah murah. Sementara itu keluarga menjadi rapuh dan anak-anak terabaikan sehingga terjerumus ke dalam persoalan baru. Di sisi lain mereka juga dijadikan sumber pundi-pundi bagi korporasi melalui berbagai produk barang dan jasa yang dikonsumsi. Alih-alih sejahtera perempuan-perempuan justru menjadi korban konsumerisme. Gaya hidup hedonis pun menjajah perempuan karena dianggap dapat mengangkat status sosial mereka. Inilah dampak ketika materi menjadi ukuran utama dalam kehidupan.
2. Tingginya partisipasi politik dan kepemimpinan perempuan menjadi jalan terwujudnya regulasi yang berpihak pada perempuan.
Barat selalu menarasikan bahwa makin banyak anggota parlemen atau penguasa perempuan, maka berbagai persoalan perempuan akan mudah diatasi. Oleh karena itu ditetapkanlah kuota 30% perempuan dalam keanggotaan parlemen sebagai syarat verifikasi partai politik.
Perempuan juga didorong untuk maju menjadi penguasa atau kepala daerah, bahkan kepala negara demi terwujudnya kesetaraan politik, serta melahirkan regulasi dan anggaran responsif gender. Realitasnya, kebijakan negara dan regulasi bukanlah di tentukan oleh individu pejabat. Dalam sistem demokrasi, penguasa adalah oligarki dan sekadar alat stempel kebijakan. Kebijakan yang dilahirkan pun untuk kepentingan oligarki sekalipun anggota parlemen didominasi perempuan atau penguasanya adalah perempuan.
Bukan hanya jebakan kesetaraan gender saja yang menjadi ancaman kaum hawa saat ini, namun ide feminisme juga sudah sejak lama di gaungkan di negri ini. Sekilas ide feminisme ini menguntungkan bagi kaum perempuan, namun faktanya ide ini adalah awal dari kehancuran perempuan. Bagaimana tidak, dengan adanya ide feminisme ini kaum perempuan menganggap dirinya sama dengan kaum laki laki. Alhasil mereka bisa keluar rumah dan berkarir di mana saja, dari mulai pemberdayaan ekonomi hingga kepemimpinan dalam jabatan publik.
Tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan memang cenderung lebih teliti dan telaten dalam beberapa hal dibanding laki-laki, memiliki empati yang lebih tinggi, lebih detail dan sebagainya. Akan tetapi di sisi lain tidak dipungkiri bahwa laki-laki pun memiliki kelebihan yang di butuhkan dalam kepemimpinan, misalnya dalam hal keberanian atau kemampuan berfikir.
Dalam ranah ekonomi, perempuan sebagai pelaku ekonomi memiliki potensi besar dalam berkontribusi membangun ketahanan ekonomi. Mereka banyak berkiprah dalam usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Di sisi lain pemberdayaan ekonomi perempuan dan kesetaraan gender juga membuat perempuan diaruskan untuk terjun dalam dunia kerja sebagaimana laki-laki.
Dalam jabatan public kepemimpinan perempuan juga dipandang memberikan nuansa yang berbeda dengan kepemimpinan laki-laki. Pada umumnya, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk aktif secara politik dan dalam membuat berbagai keputusan dan kebijakan. Namun apakah benar demikian?
Kita semua sesungguhnya telah sama-sama tahu bahwa ketika negeri ini dipimpin oleh laki-laki maupun perempuan, kondisi rakyatnya sama-sama tidak sejahtera. Alih-alih membawa kebaikan bagi perempuan, yang terjadi justru makin menderita. Lebih dari itu perempuan sebagai pemimpin dalam jabatan publik, sesungguhnya merupakan aktivitas kekuasaan karena berkaitan dengan penentu kebijakan. Telah kita pahami bahwa aktivitas ini diharamkan dalam islam. Dalam sebuah hadist Rasulullah Saw. dijelaskan ;
‘’Tidak akan pernah menang/beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (kekuasaan) kepada perempuan.’’(HR Bukhari).
Hadist ini memberikan peringatan kepada umat Islam agar jangan menjadikan perempuan sebagai penguasa. Hanya saja ketika perempuan tidak diperkenankan berkecimpung dalam aktivitas kekuasaan bukan berarti perempuan tidak berperan dalam memajukan atau membangun bangsa. Bahkan Islam mewajibkan perempuan memperhatikan urusan umatnya.
Dari kedua pemaparan di atas jelas bahwa kesetaraan gender dan peminisme memaksa perempuan untuk disamakan dengan laki-laki dan menunaikan tanggung jawab laki-laki serta melupakan kodratnya sebagai perempuan. Alhasil tersibukkannya perempuan baik dalam dunia kerja maupun dalam jabatan publik akan menjadikan perempuan mengabaikan perannya sebagai ibu generasi serta kewajibannya mencari ilmu.
Islam Memuliakan Perempuan
Islam menetapkan perempuan sebagai istri dan ibu generasi bukan pemilik kewajiban untuk mencari nafkah. Islam juga memiliki mekanisme untuk menanggung nafkah perempuan dan anak-anaknya dalam kondisi tertentu, sehingga perempuan tetap dapat menjalankan perannya sebagai ibu generasi. Islam memberikan keleluasaan untuk menuntut ilmu. Islam juga membolehkan perempuan untuk bekerja, namum tidak mewajibkannya sebagai penanggung jawab nafkah, meski untuk dirinya sendiri.
Islam tidak pernah meminggirkan kaum perempuan dalam semua aktivitasnya selama itu ada dalam koridor syara. Perempuan memiliki kewajiban utama sebagai ummu wa robbatul bait. Akan tetapi di sisi lain, ia juga bagian dari masyarakat yang berkewajiban untuk memajukan masyarakatnya. Islam memandang bahwa keberadaan perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laki-laki, keduanya diciptakan untuk mengemban tanggung-jawab yang sama dalam mengatur dan memelihara kehidupan ini sesuai kehendak Allah ta’ala.
Demikianlah, sesungguhnya Islam tidak pernah memandang sebelah mata kepada perempuan sekalipun ia hanya rakyat biasa atau ibu rumah tangga. Benar bahwa perempuan harus berperan dalam kehidupan dan membangun negeri. Akan tetapi pengaturannya tidak diserahkan kepada feminism dan kesetaraan gender yang lahir dari sistem sekuler kapitalisme buatan manusia, akan tetapi wajib menyerahkannya kepada syariat Islam, aturan yang datang dari Allah Swt., yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal, dan pada akhirnya membawa pada ketentraman.
Post a Comment