Oleh : Bunda Hanif
Kewajiban adanya sertifikat halal bagi semua produk makanan dan minuman yang diperdagangkan di Indonesia disampaikan pemerintah melalui Kementerian Agama. Muhammad Aqil Irham, selaku Kepala Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) menyampaikan kewajiban mengurus sertifikat hahal dilakukan selambat-lambatnya pada 17 Oktober 2024. (Muslimahnews.com, 6/2/2024)
Peraturan ini tidak hanya untuk pelaku usaha makro, namun berlaku juga bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK). Sanksi akan diberikan bagi pelaku usaha yang tidak memiliki sertifikat halal. Berdasarkan PP No. 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, sanksi yang diberikan dapat berupa peringatan tertulis, denda administratif hingga penarikan barang dari peredaran.
Berdasarkan Undang -Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), terdapat tiga kelompok produk yang harus sudah bersertifikat halal seiring dengan berakhirnya penahapan pertama pada Oktober mendatang. Di antaranya : (1) pedagang produk makanan dan minuman; (2) pedagang bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman; (3) pedagang produk hasil sembelihan dan pemilik jasa penyembelihan. Ketiga kelompok tersebut harus sudah memiliki sertifikat halal pada 17 Oktober 2024.
Sertifikasi halal ini diberlakukan bagi semua pelaku usaha, termasuk pedagang kaki lima (PKL). Sungguh kebijakan yang kurang tepat. Mengapa dikatakan kurang tepat?
Pertama, pemerintah mewajibkan, tetapi tidak gratis. Sepanjang 2023, BPJPH sudah menyediakan 1 juta sertifikat halal gratis, padahal jumlah pedagang kaki lima yang tersebar di seluruh Indonesia mencapai 22,7 juta, sungguh jumlah yang tidak sebanding. Jika ada 1 juta pedagang kaki lima yang menerima sertifikasi halal gratis, bagaimana dengan 21 juta PKL yang tersisa?
Kewajiban untuk mengurus sertifikasi halal justru menambah beban PKL. Tentu semua tahu bahwa omset mereka tidak seberapa. Mungkin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Terlebih, pengurusan sertifikat halal tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, belum lagi dengan rumitnya administrasi.
Kedua, adanya unsur komersialisasi jaminan halal jika lihat dari berbagai tarif layanan sertifikasi yang diterapkan BPJPH. Setiap prosesnya dikenakan biaya yang tidak sedikit. Ini menunjukkan adanya komersialisasi jaminan halal untuk usaha rakyat oleh negara. Padahal seharusnya pemberian sertifikat halal merupakan tanggung jawab negara kepada rakyatnya yang memiliki usaha.
Beginilah jika kita hidup dalam sistem kapitalisme. Semuanya harus bisa menghasilkan keuntungan, meskipun itu untuk kepentingan rakyatnya. Yang namanya jaminan halal, seharusnya negara yang menjamin, bukan bertransaksi dengan rakyat. Sama seperti sektor lainnya, misalnya jaminan kesehatan melalui BPJS kesehatan. Pada akhirnya tidak ada yang gratis, baik jaminan halal, jaminan kesehatan, atau jaminan pendidikan.
Sungguh jauh berbeda pelayanan dalam sistem Islam. Dalam pandangan Islam, negara adalah pelayan dan pengurus urusan rakyat. Sebagai pelayan, maka negara harus memfasilitasi apa saja yang menjadi kebutuhan masyarakatnya. Negara benar-benar menjamin semua kebutuhan pokok rakyatnya terpenuhi. Tidak hanya memberikan jaminan halal terhadap produk, negara juga memberikan kemudahan bagi rakyatnya untuk mendapatkan pekerjaan, memperoleh tempat tinggal, pelayanan pendidikan dan juga kesehatan. Semuanya itu diberikan secara gratis.
Di dalam sistem Islam, negara harus memastikan setiap pelaku usaha memahami produk yang mereka jual adalah produk halal dan sehat. Jaminan kehalalan ini diberika jika negara sudah melakukan uji produk halal dan pengawasan secara berkala. Kalaupun ada ketentuan dan persyaratan yang tidak gratis, negara akan memberikan kemudahan administrasi yang cepat, murah dan mudah.
Semua ini hanya dapat terwujud jika sistem Islam diterapkan. Islam memiliki konsep baitulmal untuk memenuhi kebutuhan rakyat tanpa membebani mereka dengan pajak atau tarif. Di dalam baitulmal, terdapat bagian-bagian yang sesuai dengan jenis hartanya. Sedangkan untuk pemasukan negara, Khilafah memiliki berbagai jenis harta yang bisa dikelola sesuai koridor syariat, termasuk pelayanan jaminan halal kepada rakyat.
Wallahu a’lam bisshowab.
Peraturan ini tidak hanya untuk pelaku usaha makro, namun berlaku juga bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK). Sanksi akan diberikan bagi pelaku usaha yang tidak memiliki sertifikat halal. Berdasarkan PP No. 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, sanksi yang diberikan dapat berupa peringatan tertulis, denda administratif hingga penarikan barang dari peredaran.
Berdasarkan Undang -Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), terdapat tiga kelompok produk yang harus sudah bersertifikat halal seiring dengan berakhirnya penahapan pertama pada Oktober mendatang. Di antaranya : (1) pedagang produk makanan dan minuman; (2) pedagang bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman; (3) pedagang produk hasil sembelihan dan pemilik jasa penyembelihan. Ketiga kelompok tersebut harus sudah memiliki sertifikat halal pada 17 Oktober 2024.
Sertifikasi halal ini diberlakukan bagi semua pelaku usaha, termasuk pedagang kaki lima (PKL). Sungguh kebijakan yang kurang tepat. Mengapa dikatakan kurang tepat?
Pertama, pemerintah mewajibkan, tetapi tidak gratis. Sepanjang 2023, BPJPH sudah menyediakan 1 juta sertifikat halal gratis, padahal jumlah pedagang kaki lima yang tersebar di seluruh Indonesia mencapai 22,7 juta, sungguh jumlah yang tidak sebanding. Jika ada 1 juta pedagang kaki lima yang menerima sertifikasi halal gratis, bagaimana dengan 21 juta PKL yang tersisa?
Kewajiban untuk mengurus sertifikasi halal justru menambah beban PKL. Tentu semua tahu bahwa omset mereka tidak seberapa. Mungkin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Terlebih, pengurusan sertifikat halal tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, belum lagi dengan rumitnya administrasi.
Kedua, adanya unsur komersialisasi jaminan halal jika lihat dari berbagai tarif layanan sertifikasi yang diterapkan BPJPH. Setiap prosesnya dikenakan biaya yang tidak sedikit. Ini menunjukkan adanya komersialisasi jaminan halal untuk usaha rakyat oleh negara. Padahal seharusnya pemberian sertifikat halal merupakan tanggung jawab negara kepada rakyatnya yang memiliki usaha.
Beginilah jika kita hidup dalam sistem kapitalisme. Semuanya harus bisa menghasilkan keuntungan, meskipun itu untuk kepentingan rakyatnya. Yang namanya jaminan halal, seharusnya negara yang menjamin, bukan bertransaksi dengan rakyat. Sama seperti sektor lainnya, misalnya jaminan kesehatan melalui BPJS kesehatan. Pada akhirnya tidak ada yang gratis, baik jaminan halal, jaminan kesehatan, atau jaminan pendidikan.
Sungguh jauh berbeda pelayanan dalam sistem Islam. Dalam pandangan Islam, negara adalah pelayan dan pengurus urusan rakyat. Sebagai pelayan, maka negara harus memfasilitasi apa saja yang menjadi kebutuhan masyarakatnya. Negara benar-benar menjamin semua kebutuhan pokok rakyatnya terpenuhi. Tidak hanya memberikan jaminan halal terhadap produk, negara juga memberikan kemudahan bagi rakyatnya untuk mendapatkan pekerjaan, memperoleh tempat tinggal, pelayanan pendidikan dan juga kesehatan. Semuanya itu diberikan secara gratis.
Di dalam sistem Islam, negara harus memastikan setiap pelaku usaha memahami produk yang mereka jual adalah produk halal dan sehat. Jaminan kehalalan ini diberika jika negara sudah melakukan uji produk halal dan pengawasan secara berkala. Kalaupun ada ketentuan dan persyaratan yang tidak gratis, negara akan memberikan kemudahan administrasi yang cepat, murah dan mudah.
Semua ini hanya dapat terwujud jika sistem Islam diterapkan. Islam memiliki konsep baitulmal untuk memenuhi kebutuhan rakyat tanpa membebani mereka dengan pajak atau tarif. Di dalam baitulmal, terdapat bagian-bagian yang sesuai dengan jenis hartanya. Sedangkan untuk pemasukan negara, Khilafah memiliki berbagai jenis harta yang bisa dikelola sesuai koridor syariat, termasuk pelayanan jaminan halal kepada rakyat.
Wallahu a’lam bisshowab.
Post a Comment